HEADLINE

Cerpen Devian Amilla "Catatan Rindu Si Sulung"


DARI REDAKSI
Kirimkan Cerpenmu dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas dalam satu file ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Redaksi akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 1 bulan  Cerpenmu tidak dimuat maka dinyatakan belum layak. (Mohon maaf sebelumnya laman ini belum dapat memberikan honorium). Salam segenab redaksi.

Cerpen Devian Amilla
CATATAN RINDU SI SULUNG

Kenapa ada sang hitam bila putih menyenangkan? Kenapa harus ada perpisahan jika pertemuan itu indah? Lantas kenapa harus ada yang pergi jika menetap menjadi dambaan setiap orang? Sama seperti pertanyaanku yang belum terjawab hingga saat ini. Kenapa harus ibuku yang pergi menemui Allah dari sekian banyaknya ibu di dunia?
Aku tak pernah bisa bilang “Aku sayang padamu” secara langsung. Aku terlalu pengecut. Terlalu egois. Aku tak pernah bisa bilang betapa aku sangat bangga menjadi anak perempuanmu. Bangga menjadi anak yang terlahir dari rahim perempuan yang sangat mulia sepertimu. Bu, entah kenapa malam ini aku sangat merindukanmu. Tiba-tiba aku merindukan suara tawamu. Aku tahu ibu tak akan pernah membaca tulisanku ini. Kalaupun ibu membacanya, aku yakin ibu tidak akan membalasnya. Aku hanya ingin menuliskannya saja. Seperti ada desakan dari dalam dada untuk menuliskan ini semua.
Sebenarnya aku tak ingin menangis. Tapi entah kenapa aku menangis ketika menuliskan ini. Apa karena aku masih belum ikhlas melepas kepergianmu? Ini sudah tahun ke tujuh kepergianmu. Tapi kenapa rasa kehilangan ini masih terasa begitu nyata? Masih terekam jelas di ingatanku. 15 Juni 2010 pukul 02.00 dini hari, ibu pulang ke pangkuan Allah dengan tenang. Ibu meninggalkan aku, ayah, Nanda dan si bungsu kita; Ilham. Bu, taukah kau rasanya seperti apa? Tiba-tiba aku merasa menjadi orang yang paling sedih sedunia. Aku belum siap kehilangan teriakanmu di setiap pagi karena memangunkanku, aku belum siap kehilangan suara tawa yang paling kencang dirumah kita, aku belum siap kehilangan aroma nasi goreng buatanmu yang selalu mengganggu tidurku di Minggu pagi, aku belum siap kehilangan nasihatmu yang menenangkan saat aku berkelahi dengan teman sebangkuku. Aku belum siap untuk tidak melihatmu dan mencium punggung tanganmu ketika pergi ke sekolah. Aku belum siap untuk itu semua. Dan mungkin aku tak akan pernah siap. 
Malam itu, perasaanku memang sedang tidak karuan. Aku ketakutan. Entah apa yang kutakutkan saat itu, Bu. Aku merasa akan berada jauh sekali denganmu. Malam itu entah atas dasar apa aku ingin tidur dirumah saja. Firasatku mengatakan ibu akan segera pulang. Sulit sekali mencari kantuk ketika itu, tak bisa kupejamkan mataku barang sedetik. Berulang kali paman menghubungiku meminta agar menginap dirumahnya saja. Tapi aku tak mengindahkan permintaannya. Aku tetap ingin tidur dirumah malam ini.
Tepat pukul 00.00 dini hari, ayah menghubungiku. Degup jantungku semakin tak karuan. Oh Allah, semoga bukan kabar buruk yang kudengar dari ujung telepon ini. Kuhembuskan napas berkali-kali sebelum menjawab telepon dari ayah. Taukah ibu, dengan nada yang sangat ceria ayah mengatakan bahwa ibu sudah berhasil melewati masa-masa kritis itu. Tak henti-hentinya aku mengucap syukur pada Allah, inikah penyebabku tidak bisa tidur malam ini? Aku bahagia sekali, Bu. Setelah menerima kabar baik itu, aku mencoba untuk memejamkan mata.
Kulihat Nanda di sampingku sudah pulas. Malam itu, aku berhasil tidur, Bu. Tapi dua jam setelah kabar baik itu, aku kembali menerima panggilan masuk dari ayah. Tanpa mengijinkan nada deringku berbunyi, aku langsung menjawab teleponnya. Berulang kali aku memanggil ayah tapi hanya suara isakan tangis yang kudengar. Tak sepatah kata pun yang keluar dari bibir ayah.
Aku bukan gadis kecil yang berusia lima tahun, aku sudah mengerti apa yang terjadi jika ayah sudah tak sanggup lagi untuk berbicara. Kuputuskan untuk menutup telepon dari ayah. Setengah mati aku menahan tangisku agar tidak pecah di malam buta itu. Kulirik Nanda di sampingku masih tertidur dengan pulasnya. Aku tak tega untuk membangunkannya. Belum sepenuhnya aku sadar dengan apa yang baru saja terjadi, pintu rumahku sudah diketuk berulang-ulang. Suara bibi dan paman terdengar dari luar. Segera aku bergegas membukakan pintu untuk mereka. Baru saja pintu terbuka, bibi langsung memelukku sambil menangis. Kulihat wajah paman yang juga sudah sembab seperti habis menangis.
Di usiaku yang sudah bukan anak-anak lagi, aku tahu apa yang terjadi, Bu. Bibi memelukku erat sekali. Saat itu yang keluar dari bibirnya hanya kalimat “Ibu, kak.. ibu…” Ibu, aku tak tahu harus bagaimana. Aku juga tak bisa menggambarkan bagaimana perasaanku saat itu. Kurasakan kakiku sudah tak berpijak lagi di lantai, semuanya terasa berputar. Gelap. Nanda menangis sejadi-jadinya. Ilham yang saat itu sedang demam tinggi ikut menangis. Aku tahu, Bu. Ilham menangis karena melihat kami menangis. Saat itu usianya baru 6 tahun, ia tak mengerti jika ibu sudah tidak bisa lagi berada di sisi kami seperti biasanya. 
Pukul 04.00 pagi jenazah ibu sampai dirumah. Aku melihat ayah turun dari ambulan dengan dipapah oleh paman. Sakit sekali rasanya melihat ayah menangis. Ayah melihatku hanya sekilas. Ayah berusaha menyembunyikan air matanya di hadapan kami. Sekuat apapun usaha ayah menutupi tangisnya, aku bisa merasakannya. Aku tahu ayah sangat terpukul. Bagaimana tidak? Ayah kehilangan sosok wanita lembut yang setiap pagi membuatkan kopi untuknya, menyiapkan pakaian dan segala keperluan kantornya, ayah juga kehilangan senyuman wanita yang paling ia cintai.
Cukup. Aku sudah tak kuat lagi menahan tangisku. Kulepaskan rengkuhan bibi di pundakku dan berlari ke pelukan ayah. Aku menangis sejadi-jadinya. Tak kuhiraukan lagi orang-orang yang menatapku iba, tak kuhiraukan orang-orang yang memanggil-manggil namaku. Hanya satu yang bisa membuatku kuat saat ini. Berada dipelukan ayah. Orang-orang di sekelilingku hanya bisa menangis. Memberikan wejangan agar aku ikhlas, agar aku sabar menerima kenyataan yang sudah digariskan Allah. Semua wejangan dari mereka hanya sebatas angin lalu. Tak satu pun yang masuk ke hatiku. Mereka bilang kalau aku harus ikhlas melepas kepergianmu. Agar kau bisa pergi dengan tenang. 
 Untuk perempuan yang sudah meminjamkan rahimnya untuk kutinggali selama sembilan bulan sepuluh hari, aku rindu. Aku rindu suara melengkingmu membangunkanku pagi hari. Aku rindu suara mengajimu. Aku rindu sayur “daun ubi tumbuk” buatanmu. Maafkan aku, Bu. Aku tak pernah bilang kalau aku sangat mencintaimu. Sudah kukatakan di awal, aku terlalu egois dan malu untuk mengungkapkannya langsung di hadapanmu. Sebenarnya, ingin sekali bilang kalau aku sayang padamu. 
Maafkan aku ya, Bu. Aku juga tak pernah memujimu. Tapi seandainya kau tahu, aku selalu membanggakanmu di depan teman-temanku. Bilang pada mereka bahwa ibukulah yang paling cantik dari ibu mereka. Hingga tak jarang aku berkelahi dengan teman sebangkuku hanya karena ia tak terima ibunya kubilang jelek. Sekali lagi aku minta maaf, Bu. Aku tak bisa menuliskan kata-kata yang indah seperti Nanda. Aku bukan penulis. Aku cuma anak perempuan ibu yang suka nangis.
Bu, saat ini usiaku sudah 23 tahun. Aku sudah sarjana dan sudah bekerja. Aku mencintai pekerjaanku. Meskipun ayah dan Nanda sering kali menggodaku tentang gaji yang kudapatkan. Cita-cita ayah dan ibu untuk melihatku sarjana sudah terwujud. Sekarang ayah sedang berusaha untuk menamatkan kuliah Nanda. Nanda sudah duduk di semester enam. Mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 
Anak perempuan ibu yang paling keras kepala itu sekarang sudah menjadi seorang penulis. Ia sudah berhasil menelurkan satu novel, Bu.  Sudah banyak prestasi yang ia terima. Ibu ingat lemari hias dirumah kita? Sekarang, lemari itu sudah penuh dengan piala-pialanya. Dia tumbuh menjadi gadis keras kepala yang menawan. Menjadi kebanggaan keluarga atas prestasinya, Bu. Doakan gadis keras kepala ibu agar cepat menyelesaikan studinya, ya. 
Si bungsu kita kian hari makin besar dan tampan, Bu. Sekarang Ilham duduk di bangku SMP kelas dua. Tinggi badannya melebihi tinggi badanku. Cepat sekali pertumbuhannya. Ilham tumbuh menjadi lelaki tampan yang tidak cengeng. Lelaki yang taat pada agama dan nurut sama ayah. Meskipun terkadang ia tidak mau nurut sama kakaknya. Seringkali aku jengkel melihat ulahnya. Ibu tahu tidak? Ilham suka malas belajar, lebih memilih kegiatan ekskulnya daripada belajar. Sekarang, Ilham juga sudah bisa kujadikan sebagai teman curhat. Tapi, setiap aku bercerita tentang perasaan pasti dia akan bilang kalau aku terlalu berlebihan mengungkapkan isi hati. Ilham memang sangat menyebalkan, Bu. Tapi, jika aku ditanya apakah aku ingin bertukar saudara dengan yang lain, akan kukatakan “Tidak” dengan tegas. Karena aku sangat beruntung mempunyai rekan tumbuh bersama sepertinya. Terlepas semenyebalkan apapun dirinya, dia sudah menjadi bungsu kebanggaan kami, Bu.
Sekarang aku sudah memiliki kekasih. Pria ini sangat baik, Bu. Dia begitu menyayangiku. Dia adalah lelaki yang ikut menangis ketika aku menangis, lelaki yang sangat bahagia mendengar aku mendapat pekerjaan, lelaki yang marahnya mirip dengan ayah jika aku males makan, dan lelaki yang mau belajar menjadi apapun yang kuinginkan. Satu hal yang paling penting, dia tidak merokok. Bagaimana menurut ibu? Nanti, jika ada waktu, akan kuajak ia bertamu ke makam ibu. Akan kukenalkan pria yang kucintai ini padamu.  
Biar kuceritakan sedikit tentangnya pada ibu. Aku sering memanggilnya dengan sebutan Tuan Penyemangat Hati. Karena memang ia adalah penyemangatku, Bu. Ia anak bungsu dalam keluarganya. Tapi bukan berarti karena ia anak paling kecil, ia paling manja. Ia juga bisa menjadi dewasa. Meskipun terkadang naluri anak bungsungnya tidak bisa hilang. Usianya lima tahun lebih tua dariku. Sama seperti ayah dan ibu. Aku sangat menyayanginya. Ayah juga sudah kenal dengan beberapa keluarganya.  Ibu tahu tidak? Aku ingin pria ini yang menjadi calon imam dalam hidupku. Pria yang saat bersamanya aku tahu kemana arah dan tujuanku. Aku ingin melangkah bersama dengan pria ini. Pria yang tidak menghakimiku ketika aku berbuat salah, pria yang selalu mendukung hobi menulisku.  
Sebenarnya masih banyak yang ingin kuceritakan padamu, Bu. Tapi sepertinya mataku sudah tak kuat jika harus terjaga lebih lama lagi. Ayah,  Ilham dan Nanda sudah terlelap beberapa jam yang lalu. Kini giliranku untuk mengistirahatkan hati dan pikiranku yang sudah babak belur dihajar kenangan dan rindu tentangmu. Esok akan kutuliskan lagi catatan rinduku untuk ibu. Semoga ibu tidak mual membacanya, karena terlalu banyak unsur perasaan di dalam tulisanku. 
Sehat-sehat di surga ya, Bu. Titip salam buat bidadari-bidadari surga yang menjadi teman ibu sekarang. ☺


(Penulis adalah Alumni FKIP MATEMATIKA UMSU, 2016, Beberapa karyanya pernah dimuat di media online, lokal maupun luar daerah )

Tidak ada komentar