HEADLINE

Cerpen Q Alsungkawa "KACAMATA PEREMPUAN HIJAB"


DARI REDAKSI
Kirimkan Cerpenmu dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas dalam satu file ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Redaksi akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 1 bulan  Cerpenmu tidak dimuat maka dinyatakan belum layak. (Mohon maaf sebelumnya laman ini belum dapat memberikan honorium). Salam segenab redaksi.

Cerpen Q Alsungkawa
 KACAMATA PEREMPUAN HIJAB

Kalimat yang disayangkan, bahwa Ia selalu mengingatnya hingga saat ini, selepas menyelesaikan pendidikan tingkat 'SMA' Ia tidak berselang menghabiskan ukuran satu tahun dan tidak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, bahkan beberapa alasan klasik, yang menyimpulkan untuk memutus jenjang pendidikan sederajat, setelah melewati berbagai pertimbangan. Sebaris masa muda yang terbilang suram, juga tidak seperti kebanyakan remaja zaman sekarang yang menghabiskan masa muda dengan duduk di boncengan ketika segerombolan bujang yang selalu memamerkan sesosok di belakang punggungnya untuk melunasi gaya hidup yang mereka anggap modereninasi.
Ia sesosok perempuan dari kalangan yang menganut norma norma kehidupan, nilai nilai agamais selalu dipertunjukan dalam pementasan keluarga, betapa tidak seorang ayah yang begitu gigih membangun keluarga dari kesederhanaan menjadi kesenjangan dan seorang ibu yang begitu mengutamakan arti sebuah kebahagiaan sehingga sang ibu berinisiatif untuk mencarikan pasangan hidup untuk putri sulungnya, seorang lelaki yang bijak menurut kacamata seorang ibu. Namun seorang ibu hanya menjalani peranannya, bukti kepedulian, memilihkan pendamping hidup bagi sang anak. Tetapi niat baik itu menemukan jalan buntu, sebab karena gadis Cirebon yang baru mekar waktu itu dengan paras yang begitu memikat kaum Adam, selalu menggunakan hijab yang menjuntai, menutupi lebih separuh tubuhnya, gadis itu, ia telah menetapkan pilihan hatinya pada sesosok pemuda dari tetangga kampungnya, dan mau tak mau, suka atau tak suka kedua orang tua, Nina Faradilla (Nama lengkapnya) Harus menurunkan restunya untuk mereka melangsungkan cintanya dalam ikatan suci 'Pernikahan'. Tak selang beberapa lama, setalah segala perhitungan menurut adat-istiadat, kepercayaan turun-temurun, akhirnya segala persiapan resepsi di atur sedemikian rupa.

"Ina!" Seru ibu memanggil.
"Injeh maaah," saut Nina singkat.
Sebuah diskusi kecil di sela kegiatan ibu yang lagi asik mengamati sebuah majalah SIMALABA terbitan terbaru yang memuat berbagai rancangan busana pengantin.
"Lihat deh busana pengantin yang warna putih ini sangat bagus, semuanya tertutup juga hijabnya panjang memenuhi kaidah Islam," ujar  mamah begitu semangat.
Nina langsung menghampiri mamahnya, meneliti dengan cermat, tiap tiap lembar majalah SIMALABA dari berbagai judul berita dan bagian bagian halaman terus diperiksa, hingga sepasang mata gadis usia sembilan belas (19) tahun itu,  hinggap di halaman SASTRA BUDAYA, makin bersemangat, sebab jiwa seni yang bersarang di tubuhnya terasa terpanggil, sebab semasa masih di bangku 'SMP' pernah menjuarai lomba baca puisi. Ia meneliti puisi puisi yang mengisi halaman tersebut, ada beberapa nama penulis puisi yang baru baru ini bermunculan, di antaranya para penulis: Q Alsungkawa, Neni Yulianti, Aan Hidayat, Nuriman N Bayan, Mala Febriyani, Riri Angreini. Yang baru muncul ke permukaan, tapi cukup diminati para pembaca:

[SASTRA BUDAYA SIMALABA]
KEPADA AYAH DAN IBU
Karya Q Alsungkawa

Ada galisah yang menggigil di sini, di rumah ini
ketika beranjak dewasa
satu-per-satu tenggelam
menjelma kenangan.

Sebab di hadapanmu: Ibu
aku tetaplah si mungil yang selalu ditimang.

Jarak ini-

mungkin tak sepantasnya ada
tapi, aku tak kehilangan keyakinan
bahwa doamu tidaklah menjauh.

Izinkan aku mencium restumu: Ayah-ibu
dan 'Riddhoi' aku menjemput bahagia.

Lampung Barat, 3 Mei 2017.


DI KAKI LAUT AKU BERDIRI

NENI YULIANTI

Sungguh, telah kulepaskan rasa yang lindap di hati
dengan birunya laut, sejukkan pandangan. 

Angin laut menyentuh ujung hijabku
perlahan berbisik dalam sisi naluri, menyapa tiang kenang yang berlabuh. 

Lalu-

sepenggal kisah yang belum usai
memanggil  sebuah nama yang bergema di dinding tebing
berkali kali taburkan rasa asin

Ya-

sudah kukemasi namamu, tuan
biarkan ombak menggulung derai rindu 
mengikis karang cinta kita. 

Ya,  ya di sini kutitipkan kembali aroma tubuh pada camar.
Dan sampaikan pada angin, aku masih berdiri. 

Cirebon, 5 April 2017.


DI BAWAH TEMARAM BINTANG TIMUR

Karya Aan Hidayat

Mendekatlah ke wajahku, dan akan kugambarkan tentang bayangan yang menghantui hari.

Tentang dia yang berkelebat, menari di bawah cahaya Bintang Timur, bercahaya namun tak nampak, sunyi di antara yang ramai. 

Mendekatlah! 
dan akan kubisikkan arti hijrah, lalu lihatlah api yang kugenggam, ia bara yang tak akan padam, kerena hari ini dalam penantian. 

Karena di bawah temaram Bintang Timur ada raut rindu kandungan Ibu, gelombang cinta yang kian meradang, dan saat melahirkan sudahlah dekat.

Lampung Barat, 5 Mei 2017


MEMBACA SIMALABA

Karya Nuriman N Bayan

Untuk malam ini,
kita bicara yang ringkas ringkas saja, Man
sambil membaca puisi puisi 
di halaman Simalaba.

Jangan lupa putarkan segelas kopi
untuk kita seruput di atas meja puisi
dan ajak juga teman temamu di luar sana
karena halaman ini 
cukup memberi kaca mata bagi mereka.

Ternate, 03 Mei 2017.


CATATAN DI SIMALABA 

Mala Febriyani 

Ingin menulis sajak.
Dan mengemasnya ke sekumpulan penikmat kata.

Biasa saja, belum menjadi baik
sebab ada lelah 
berusaha, untuk tidak terputus
dari semangat di tubuh ini.

Kutulis satu demi satu wajah
pikirku kedalam puisi karyaku
di Simalaba.

Aku terbelalak,
di antara barisan penulis ada terselip namaku.
Sungguh tak kusangkakan puisiku mendarat di dinding Majalah Simalaba.

Jakarta, 2 Mei 2017.


AKU TERLAHIR SEKUNTUM PUISI

Karya Riri Angreini

Pagi ini di Ranah Minang
menuai kasih di sebatang rindang
setiap titiknya melukis keindahan

Sejurus tatap, rasa
berbuah damai
jauh di dalam ruang qalbu, merindu
eloknya Desaku.

Di sini tumbuh imaji
tersemai sajak-puisi
tentang kuntum masa kini.

Ranah Minang, 02 Mei 2017. 

Dan masih banyak lagi nama nama penulis yang selalu mengisi halaman SASTRA SIMALABA di antaranya: Muhammad Sarjuli, Nanang R, Bunda Swanti, Titin Ulpianti, Fahlefi Futra, Zham Sastra, Apin Suryadi R Tia. Dll Juga para  cerpenis: Novri Irawan, Yuliyani Farida, Diah Febriani. Dll. Yang cukup menarik pandangan Nina ada sebaris kata yang ditulis oleh seorang redaktur majalah simalaba, sekeligus redaktur wartalambar: (SESUNGGUHNYA SENIMAN SEJATI ITU BUKAN YANG NAMANYA MENTERENG DI KORAN, MAJALAH DAN LAIN SEBAGAINYA, TETAPI YANG SETIAP DETIKNYA MENETASKAN BIBIT BIBIT PENULIS DAN SELALU MERAWATNYA) Kalimat sederhana tetapi cukup bijak yang ditulis (Riduan Hamsyah)

*********

"Ina!" Seru ibu memanggil.

"Injeh maaah," saut Nina, tanpa menoleh. 

"Sudah ada pilihan belum gaun pengantinnya?" Tanya ibu penasaran.

Nina masih sibuk dengan halaman sastra yang dimuat MAJALAH SIMALABA. Ia begitu asik membaca puisi puisi terbitan perdana.

"Yang mamah pilih, Nina juga setuju maaah, dan tinggal pesan aja secara online, biar gak ribet," jawab Nina, di sela keasikannya membaca.

"Memangnya bisa dan pesan kemana?" timpal ibu.

"Di toko Simalaba Mah!, biar Nina yang urus soal ini," balas Nina menimpali pertanyaan ibunya.
"Ooh, yo wes nek ngono." Saut ibu dengan logat medoknya.
"Apa benar sudah bulat niatmu untuk menikah sama si Ramdani itu?" Gumam ibu, kembali bertanya.
Tentu pertanyaan itu membuat Nina kaget dan sedikit heran, ia menerawang jauh ke dalam pemikiran ibunya, sambil membetulkan letak kaca mata yang sebenarnya tidak berubah Nina menatap ibunya, sejenak suasana hening, hingga akhirnya terlontar juga kalimat dari mulut Nina.
"Ko mamah nanyanya gitu?" Jawab Nina penuh penasaran.
Ia terus menatap ibunya penuh kecemasan.
"Yo gak popo tho ndho, mamah mung takon tok!" Timpal ibu, dengan logat khasnya yang medok itu.
Kemudian ibu bergegas meninggalkan kamar anaknya.
"Hmmm shuuuh, kirain ada apa mamah nanya begitu." Gerutu Nina dalam hatinya.
Tibalah di penghujung kebahagiaan di mana hari akad nikah dilangsungkan, sepasang mempelai yang sudah dirias sedemikian rupa, dengan menggunakan busana pengantin rancangan desainer Diah Febriani, perancang khusus busana pengantin yang cukup berpengalaman selama 12 tahun menekuni dunia fashion. Dengan perasaan yang cukup sulit untuk digambarkan sepasang pengantin itu duduk bersimpuh di hadapan bapak penghulu juga wali nikah: Bagus Sutarji, ayah dari Nina Faradilla, dan dikerumuni para saksi serta hadirin, sanak handai-toulan yang mana tak ingin melewatkan untuk menyaksikan moment kebahagiaan itu, setelah memeriksa bukti-bukti kelengkapan persyaratan nikah, bapak penghulu memulai membacakan tata cara ijab-kabul menurut Syariat Islam.
Setelah 'Pak penghulu mengajari kalimat yang wajib di ikrarkan kepada wali nikah dan kepada mempelai pria. Sambil menjabat tangan sang wali mengucapkan:
"Saya nikahkan dan kawinkan engkau Ramdani bin Supona kepada Nina Faradilla binti Bagus Sutarji dengan mas kawin perhiasan  10 gram emas 24 karat dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" Ucap sang wali cukup lancar.
Walaupun baru pertama kali ia menikahkan putrinya. Tetapi jauh sebelum menikahkan sang ayah pernah meminta catatan kepada penghulu ketika mendaftarkan anaknya ke kantor urusan agama (KUA) untuk ia hafalkan sekiranya demi kalancaran pernikahan putri kesayangannya itu.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Nina Faradilla binti Bagus Sekali dengan ... " (Stop!) Ujar 'Pak penghulu memutus kalimat yang Ramdani ucapkan.
Tentu saja Ramdani merasa heran sebab ia merasa tidak ada yang salah atas pengucapannya.
"Fokus nak Ramdani! Ujar 'Pak penghulu, memberikan arahan.
Tetapi Ramdani tetap merasa tak bersalah meskipun para hadirin di ruangan itu serentak tertawa, ketika Ramdani belum selesai mengucapkan lafal nikahnya sampai tuntas.
"Binti Bagus Sutarji, jangan binti Bin Bagus Sekali, nak Ramdani!" Timpal 'Pak penghulu, menunjukan letak kesalahan yang diucapkan oleh Ramdani.
Kelepaak...! Ramdani menepuk keningnya sendiri, ia baru sadar ternyata betul memang salah pengucapan akad nikahnya.
"Oh hmm maaf pak ustadz!" Jawab Ramdani sedikit grogi, ia mencoba bersikap tenang.
Setelah beberapa saat memberikan lagi arahan dan penjelasannya, bapak penghulu melanjutkan lagi prosesi pernikahan itu yang sempat terhenti beberapa saat.
"Mari kita lanjutkan." Ucap 'Pak penghulu dengan penuh wibawa.
Kembali wali nikah berjabatan tangan dengan mempelai pria dan membacakan lagi kalimat yang telah lama ia hafalkan, lagi lagi kelucuan terjadi, dari salah mengucapkan nama, atau kalimat yang terputus-putus, tentu itu hal yang terbilang wajar bagi para calon calon mempelai, mungkin di situlah sebuah momentum yang takkan pernah bisa dilupakan semasa hidupnya.
"Saya nikahkan dan kawinkan engkau Ramdani bin Supono kepada Nina Faradilla binti Bagus Sutarji dengan mas kawin perhiasan 10 gram emas dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" Ucap bapak Bagus Sutarji.
Seperti yang sudah biasa menikahkan anaknya, padahal baru pertama kalinya.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Nina Faradilla binti Bagus Sutarji dengan maskawin perhiasan 10 gram emas dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" Jawab Ramdani dengan lancar.
Akhirnya setelah beberapa kali di berikan arahan dan penjelasan sampai kepada klimaksnya yang artinya cukup memenuhi syarat dalam pengucapan ijab kabul pernikahannya. Selesai Ramdani mengucapkan lafal ijab kabul. Bapak penghulu menoleh  para saksi.
"Bagimana saksi?" Tanya 'Pak penghulu, Sambil menatap para saksi.
"Shaaah...!!" Jawab para saksi serentak menyatakan: (Shah!)
Kemudian mempelai pria membacakan janji janji nikah, lalu menyerahkan seperangkat maskawin, kemudian menandatangani buku nikah, yang terakhir ditutup dengan pembacaan doa bersama, dalam linangan air mata kebahagiaan, dilanjutkan dengan sujud sungkem kepada para orang tua dari sepasang pengantin itu yang tentunya diabadikan pemotretan dan lain sebagainya pernak-pernik yang hanya sekali dalam hidup mereka.

Tak bisa di elakkan lagi, bahkan bukan untuk dihindari, limpahan Rahmat yang Allah curahkan kepada keluarga bapak Bagus Sutarji, beserta keluarga besar dari ke dua belah pihak, namun Allah melimpahkan karunianya berupa nikmat, bukan berarti kita harus lalai untuk melupakan kalimat syukur, dan mengabaikan kerja keras, tetap saja segala yang terjadi: 'Ada sebab, karena alasan' yang tidak serta-merta diperoleh bim-sala-bim, seperti halnya yang terjadi pada pasangan muda: Nina Faradilla dan Ramdani, setelah dipersatukan dalam ikatan suci, pernikahan, dan telah melewati batas waktu yang sewajarnya, kemudian tuntutan hidup mulai menerapkan konsekkuensinya, nafkah hidup yang tak mungkin digantungkannya kepada punggung orang tua mereka. Sedangkan Ramdani bukanlah seorang yang mempunyai pekerjaan tetap dengan gaji yang cukup, akan tetapi hakikatnya hidup juga roda yang ditumpangi tanggung jawab sebuah tampuk kewajiban, mencukupi urat nadi yang mereka bangun, hingga tercetus satu niat di dalam hati Ramdani, untuk mencoba peruntungan di kota, tepatnya 'Jakarta' hingga suatu malam, ketika duduk di terlas rumah menikmati rintiknya hujan dalam keadaan menunggu seseorang yang mengantarkan pesanan mangga muda, sebab Nina sedang dalam keadaan hamil muda, sebuah sifat nyeleneh dari seorang wanita yang sedang ngidam, banyak keinginan yang di luar logika akal sehat, tetapi itu sudah merupakan ciri khas dari tabiat bawaan hamil.
"Umi...?" Tanya Ramdani, dengan sebutan yang mereka poles sendiri, sebuah panggilan yang mengekspresikan kamesraan di sela rintik hujan.
"Ya Abi!" Jawab Nina singkat.
"Dalam dua atau tiga hari ini Abi mau berangkat ke Jakarta, bersama teman, yang nawarin Abi bekerja di sana." Ujar Ramdani sambil menatap istrinya.
"Kerja apa Bi...?" Saut Nina balik menjawab singkat.
"Kerja di bangunan Mi!" Jawab  Ramdani menegaskan!
Terus bergulir pembicaraan di teras rumah banyak hal yang didiskusikan dan Ramdani terus memberikan pengertian pada sang istri untuk tetap tenang sewaktu ditinggalkan.
"Abi sudah bicarakan sama mamah, dan memberikan kepercayaan sama mamah untuk menjaga umi." Ucap Ramdani lagi, panjang lebar menceramahi istrinya.
Hingga tiba hari keberangkatan rombongan Ramdani ke Jakarta, dan keluarga melepasnya dengan penuh keharuan.
Hari terus bergulir, minggu berganti bulan. Nina makin merasa kesepian dan naluri seorang wanita, tentu masih ada kecanggungan sebab masih menetap di rumah orang tua dari suaminya.

Selang memasuki tiga bulan kepergian Ramdani ke Jakarta, ia sempatkan pulang ke Cirebon, di mana alamat ia tinggal dan keluarga yang setia menanti di kampung halaman.
Waktu terus mengalir hingga ke hilir jauh. Kini kehamilan dari perempuan yang ditinggal suaminya merantau ke Jakarta, sudah memasuki masa sembilan bulan, detik-detik di mana persalinan bisa terjadi kapan saja, tinggal menghitung titimangsa saja. Sedangkan Ramdani belum juga kembali dari perantauan, sebuah keresahan, kesedihan  dari naluri seorang wanita yang sedang hamil tua, tentu cukup beralasan. Lagi lagi Nina menghubungi suaminya melalui via telepon, menanyakan kapan suaminya kembali, sedangkan usia kehamilan sudah diperkirakan tak lama lagi. Tetapi jawabannya kembali tidak memuaskan seorang istri yang begitu butuh pendamping dalam prosesi persalinan.
"Halo Abi,  kapan Abi pulang, jangan lupa ini untuk anak kita, setidaknya cari cara untuk bisa pulang!" Tanya Nina, dengan nada yang sedikit kesal mengingatkan suaminya.
"Iya Umi, Abi pasti pulang doakan saja semoga lancar!" Jawab Ramdani di seberang telepon.
Berlanjut pembicaraan di via telepon, dan lagi kalimat yang serupa yang Nina dengar dari mulut Ramdani di setiap Nina bicara melalui telepon.
"Ada apa dengan suamiku, seperti ada yang ditutup-tutupi." Gerutu Nina di lubuk hatinya.
Sesekali ia menghela napas panjang.
Hingga suatu malam, hujan turun begitu derasnya seolah ingin menghabiskan stok perairan di atas sana, hujan yang turun dari mulai magrib belum juga reda. Selepas isya tiba tiba Nina merasakan perutnya melilit begitu luar biasa, sampai ia menjerit menahan rasa sakit, tentu saja ibu mertua Nina kaget dan bergegas menuju kamar menantunya yang sedang hamil tua.
"Ada apa nak...?" Tanya ibu mertua Nina, dengan wajah cemas.
"Perut Nina sakit maaah...!" Jawab Nina, sambil memegangi perutnya.

Nina meronta-ronta, lalu sang ibu memanggil-manggil suaminya.
"Pa-eee... iki anakmu wetenge sakit, embokan arep lahiran paaa..., mbok cepet teleon rumah sakit tho!" Seru ibu mertua Nina, memanggil bapak mertuanya
"Iyo bu-eee kie bapak arep telepon rumah sakit kaleh pesen ambulan!" Jawab bapak Supono, dari dalam kamar sebelah.
Sekitar 20 menit lamanya menunggu, mobil ambulan datang dalam keadaan masih hujan lebat, Nina langsung diusung dengan alat bawaan dari mobil ambulan, dan langsung meluncur ke rumah sakit HARAPAN KITA. Setibanya di rumah sakit Nina langsung dibawa ke ruang persalinan.
"Bapak dan ibu juga kerabat yang lainnya, silahkan tunggu di luar." Ujar suster Yulyani Farida, yang menangani pasien, sambil menutup pintu ruangan.
Tidak lama kemudian munculah bapak Bagus Sutarji, yang diikuti keluarganya. Ternyata sudah dikabarin via telepon oleh mertuanya Nina.
Sebab jarak yang lumayan jauh, sehingga keluarga bapak Bagus Sutarji sedikit terlambat.
Setelah 2 jam lebih Nina dalam ruangan, akhirnya proses persalinan berjalan dengan baik, tidak banyak mengalami kendala yang berarti dan Nina melahirkan seorang bayi perempuan yang sangan cantik.
Ke-esokan harinya Nina beserta bayinya sudah bisa dibawa pulang dan setelah bapak Bagus Sutarji mengurus biaya rumah sakit akhirnya mereka bergegas meninggalkan tempat itu.
Cukup banyak menyimpan tanda tanya di benak keluarga bapak Bagus Sutarji, betapa tidak kelahiran cucu pertamanya tanpa didampingi suaminya Nina.
Begitupun halnya Nina, ia merasa malu kepada pihak keluarganya, tetapi Nina lebih memilih memendamnya di dalam hatinya sendiri.
Hari hari terus dijalaninya tanpa didampingi suami, ia harus mengurus bayinya dan sesekali suaminya hanya mengirimkan sejumlah uang yang masih jauh dari kata cukup untuk ukuran zaman yang serba penuh persaingan, tetapi Nina adalah sosok perempuan yang jiwanya tertata rapi oleh norma norma agamais, yang diwariskannya dari kedua orang tuanya.
Hingga suatu ketika di sela himpitan kebutuhan yang semakin hari makin menyerang seluruh persendian ekonomi. Nina memberanikan diri untuk meminjam sejumlah uang kepada orang tuanya dan ia ingin memulai buka usaha kecil kecilan.
Dengan pertimbangan yang cukup matang bapak Bagus Sutarji memberikan sejumlah uang yang Nina ajukan.
Berbekal pendidikan setingkat SMA Nina membuka bisnis kecil dan memasarkannya melalui media online.
Cukup memuaskan, laba yang didapat cukup membantu perekonomian yang dialami Nina.
Nina terus mengembangkan usahanya, hingga ia tidak perlu lagi menggantungkan hidupnya kepada suaminya, ia cukup mahir menjalankan bisnisnya yang berbasis online.

Tiiit... tiiit... tiiit, tiba tiba sebuah mobil berhenti tepat di halaman rumah.
Sontak keluarga Nina yang berkumpul di serambi rumah menoleh ke arah suara tersebut. Dan betapa kagetnya mereka, setelah yang turun dari mobil adalah teman teman Ramdani juga menggotong seseorang. Dan betapa terkejutnya Nina setelah jelas menatap, ternyata Ramdani yang digotong.

"Itu kenapa anakku!" Tanya ibunya Ramdani.

"Nganu bu hmmm," jawab Udin (teman Ramdani) gugup.

"Nganu pie tho?" Timpal ibu dengan cemas.

"Nganu, hmm, Ramdani kecelakaan jatuh dari sepeda motor." Jawab Udin, terbata-bata.

"Oalaaah, ko ono-ono wae nasib sing nimpa awakmu nak!" Ujar ibu penuh kawatir.

Lalu Ramdani dibaringkan di tengah ruangan beralaskan kasur, ternyata kecelakaan Ramdani cukup parah, ia mengalami patah kaki sebelah kiri dan banyak luka luka di sekujur tubuhnya.

Hari demi hari Nina, begitu telaten merawat suaminya juga anaknya yang masih kecil, dengan penuh kesabaran ia tetap menjalani tanpa sedikitpun mengeluh. Beberapa bulan kemudian kondisi Ramdani berangsur membaik. Genap satu tahun Ramdani dirawat keluarganya, ia sudah mulai bisa berlatih berjalan lagi walau dengan bantuan tongkat penyangga.
Nina di sela kesibukannya mengurus usahanya sendiri ia tidak pernah lupa untuk melayani suami, memberikan obat, membawakan makanan, bahkan membantu suaminya untuk mandi, ia jalani dengan penuh keikhlasan hingga suatu hari ketika dokter yang menangani pengobatannya Ramdani menyatakan bahwa Ramdani telah sembuh total.

Waktu berjalan terus sebagaimana mestinya. Ramdani tidak pergi lagi merantau, ia memutuskan untuk usaha di kampungnya sendiri sebagai buruh yang tentunya penghasilannya jauh di bawah standar, tapi Ramdani sudah tidak ambil pusing dengan pekerjaannya, sebagai seorang anak yang biasa dimanjakan sama kedua orang tuanya, tentu sifat arogansinya tidak serta-merta bisa dilupakan.
Belakangan ini ia sering keluar malam, menghabiskan waktu dengan berkumpul sama teman teman lamanya.

"Dani, kui paling enak lek urip neng dunyo iki!" Celetuk Udin di sela obrolannya.

"Enak opone?" Jawab Ramdani.

"Iyalaaah, wes bojone uaayu, sabar, pinter usahane!" Celetuk Basir juga menimpali omongan Udin.

"Sing jelas wanita idaman, soleha, hhhhheee...." Timpal Kuncoro menambahkan obrolan mereka.

Gelak tawa begitu hangat, segala macam mereka bicarakan di warung kopi 'Pak Nurdin.

"Yo iyo no, golek bojok kui koyo aku, okeh untunge!" Jawab Ramdani, sambil nyengir.

"Gakgakgakgakkkkkkk..." Serentak semua kawan kawan Ramdani tertawa.
Semakin hari Ramdani semakin terlena dalam pergaulan bebasnya, ia mulai tidak perduli lagi pada nasehat kedua orang tuanya, apalagi saran dari istrinya Nina, ia selalu pergi malam bahkan jarang pulang untuk beberapa hari. Rupanya di luaran Ramdani sudah menjalin hubungan gelapnya dengan wanita lain seorang single perents beranak tiga, seorang wanita pengusaha batu kapur, tentu saja Ramdani semakin jarang pulang ke rumahnya dan sering marah marah tanpa sebab. Tentunya naluri seorang istri tidak bisa dibohongi, Nina selalu menanyakan kepada Ramdani tentang apa aktivitas yang suaminya kerjakan di luaran sana, sementara anak-istrinya terabaikan. Namun lagi lagi Ramdani berdalih dengan beragam alasan yang dibuat-buat. 

Waktu terus berlanjut, tak ayal pertengkaran antara Nina dan Ramdani terus terjadi, hingga Ramdani mengambil keputusan untuk menceraikan Nina, tentu hal itu mengejutkan untuk keluarga Bagus Sutarji, setelah beberapa waktu kedepan Nina Menerima surat cerai yang resmi dan bertanda tangan Ramdani.

Dengan perasaan berat hati di sela tangisnya ia meminta pamit kepada kedua mertuanya, memohon diri untuk pulang ke rumah orang tua Nina, sambil menggendong anaknya Nina pergi meninggalkan rumah mertuanya dengan berjalan kaki, diikuti tatapan kedua mertua Nina yang berlinang air mata tanpa mampu berkata-kata, tercengang serasa tidak percaya tetapi nyata, bahwa menantu kesayangannya telah diceraikan oleh anaknya.
Setibanya di jalan raya Nina berdiri di tepi jalan menunggu angkot jurusan rumah orang tuanya. Tak selang beberapa lama, angkot yang ditunggu Nina muncul juga dan Nina melambaikan tangannya memberi isyarat kepada angkot tersebut yang seketika berhenti tepat di samping Nina berdiri, lalu pak sopir turun membantu menaikan koper bawaan Nina, kemudian melaju dengan penuh perhatian menengok kanan kiri berharap ada penumpang lagi menyetop angkotnya. Setelah 30 menit angkot melaju, tibalah di sebuah gang dan Nina menekan bel yang terpasang di atas pintu angkot.
Lalu sang sopir menghentikan angkotnya tepat di arah gang, kemudian supir angkot turun dan membantu menurunkan koper bawaan Nina.

"Terima kasih bang." Ucap Nina, sambil menyerahkan selembar uang pecahan Rp2000.

"Sama sama mbak." Jawab sang sopir, lalu bergegas masuk ke mobil, terus berlalu.

Nina menyambar kopernya terus berjalan dengan gontai menyusuri sebuah gang, sekitar 100 meter dari jalan raya, akhirnya tiba juga di depan pintu rumah orang tuanya dan ia mengetuk pintu.

"Assalammualaikuuuum!" Ucap Nina.

Hening sejenak, belum ada jawaban.

"Assalammualaikuuuum!" Ucap Nina kembali mengulang salam.

"Waalaikum salaaam." Jawab seseorang dari dalam rumah.

Dan Nina kenal, itu suara ibunya.

"Oalaaaah, cucu embah rupanya yang datang!" Ujar mamah, sambil meraih cucunya dari gendongan Nina.
Tak kuasa Nina membendung lagi air matanya, dari balik kacamata mengalir tangisan yang selama ini ia sembunyikan di balik penampilannya yang selalu anggun seorang perempuan berhijab dengan khas berkacamata.

"Lo lo lo, ada apa 'Ina, ko tiba-tiba menangis!" Tanya ibu, penasaran.

Ibu Anida, langsung menuntun Nina masuk dan menuju ruangan tengah.

"Gak apa apa maah, ini sudah nasib Nina." Jawab Nina di sela tangisannya.

"Gak apa apa pie tho, gak ada gugur, gak ada angin, kok moro moro geluduk tibo, ono opo tho iki?" Timpal ibu tambah penasaran.

Akhirnya Nina menceritakan segalanya kepada ibu, dari hal terkecil hingga yang terbesar, dan menunjukan surat cerai yang bertandatangan Ramdani.
Tentu saja ibu terkaget-kaget, bagaimanamungkin selama ini ibu tidak mendengar kabar yang tidak baik seputar rumahtangga anaknya. Tetapi pada kenyataannya Nina begitu tersiksa.
Di sela pembicaraannya, munculah bapak Bagus Sutarji, tentu dengan wajah heran.

"Ada apa ndo...?" Tanya bapak sedikit heran.

"Ikilo pak...!" Jawab ibu ....

Dan ibu kembali menceritakan apa yang diceritakan Nina barusan. Tentu saja bapak Bagus Sutarji, hanya menarik napas panjang dan sedikit memberi wejangan kepada Nina untuk lebih tabah menghadapi hidup dalam keadaan apapun dan bagaimanapun.
Hari hari dijalani Nina dengan penuh kesedihan, tetapi ia mencoba bangkit dan mengubur segala pahit dan getir, ia menatap bola mata putri kecilnya, dari pancaran mata bening itu, membuat Nina harus kuat dan bangkit. Ia tak ingin melihat buah hatinya bersedih.

Sebatang pena di tangan Nina mulai menari di atas buku harian, ia ingin menulis dan mengucapkan selamat tinggal masa lalu dalam lembaran putih bertinta hitam.

(SAJAK NINA FARADILLA)

KACAMATA PEREMPUAN HIJAB

Lalu apa lagi yang tersisa?
Tidak terniat untuk menyebutnya luka
tetapi begitu perih
saat kutuliskan.

Karena aku wanita, yang masih ingin menangis
apalagi ketika api melumat jantung
denyutnya berhenti, degubnya menabuh dada.

Karena aku masih ingin menangis
di balik kacamata
biarlah menggelinding menemui nasibnya sendiri.
Sesekali atau setiap catatan itu kembali membaca tubuhku
maka-
biarkan aku menangis.

Karena aku perempuan
yang melihat di balik kacamata.
Dan aku mendapati bening, bayangan pelangi
di sepasang mata tunas tubuhku
yang mampu membuat kokoh kaki ini.

Dan, aku akan mengantarkan biji kelopakmu
menjemput matahari
sejauh apapun itu
karena engkau adalah sajak
di balik kacamata perempuan hijab.

Alamat Sunyi, 2017.

Lalu Nina menutup lagi buku diary dan ia berucap: Terima kasih sahabatku: Buku. Engkau yang setia menyimpan curahan hati ini.

- TAMAT -

Lampung Barat, 11 Mei 2017.


Tentang Penulis: Q Alsungkawa, bergiat di komunitas sastra di Lampung Barat (KOMSAS SIMALABA), ia mempulikasikan puisi-puisinya di media online www.wartalambar.com, Saibumi.com dan Lampungmediaonline.com. Puisi puisinya juga tergabung dalam buku antolog EMBUN EMBUN PUISI, EMBUN PAGI LERENG PESAGI, dll.

Tidak ada komentar