HEADLINE

Tajuk - 10 Agustus 2011

Kata “tandang” memaknakan pengertian cari-pencarian—untuk mendapatkan sesuatu. Dalam istilah lokal kata itu juga kurang lebih bermakna sama. Kaitannya dengan musim kampanye (baca: sosialisasi) memunculkan banyak avonturir atau petualang politik mendekati calon bupati (cabup) atau calon wakil bupati (cawabup) yang bersosialisasi.

Kebanyakan pada kelompok ini yang menjadi subjek atau pelaku adalah yang mengklaim dirinya sebagai tokoh, atau ditokohkan masyarakat setempat. Bisa juga dari kelompok masyarakat yang membagi waktu lebihnya untuk kepentingan pribadi yang selalu mengatasnamakan lembaga atau organisasi nonpemerintah lainnya.

Tidak heran kalau kemudian petualang ini muncul bak jamur di musim penghujan, banyak sekali model dan bentuknya. Hanya beda pada cassing atau topeng yang dikenakan. Mereka, tokoh-tokoh tersebut selalu mencari tahu tentang cabup-cawabup atau tim suksesnya, lalu didekatinya.
Intinya mereka berjanji bahwa ada sejumlah calon pemilih yang diklaimnya bisa dikendalikan untuk memenangkan si calon. Biasanya, petualang ini bermodalkan pintar bercerita dan pembicaraannya meyakinkan orang.

Di samping itu selalu membawa secarik catatan atau bahkan buku tebal berisi catatan nama-nama yang bisa diapakan saja oleh dia. Sudah bukan rahasia lagi jika seorang tokoh, misalnya, mengklaim bisa mengendalikan sekolompok masyarakat untuk diarahkan agar memilih calon tertentu.

Imbalannya sudah pasti uang atau bentuk lain yang sifatnya menguntungkan bersangkutan. 1.000 suara, 2.000 suara, bahkan lebih dari itu diyakinkannya bisa diarahkan kepada calon yang  berminat. Itu adalah sekelumit potret dinamika sosial politik di tengah masyarakat menjelang perhelatan pesta demokrasi pemilukada 2012 mendatang.

Intinya, tokoh dadakan itu lahir karena momentum, bukan sebaliknya kehadiran mereka melahirkan momentum baru. Terhadap kelompok minoritas cerdik yang cenderung licik dan munafik ini sebaiknya berhati-hati. (*)

Tidak ada komentar