Puisi Karya Achmad Hidayat Alsair
SEMARAK PUISI MALAM MINGGU (edisi ke-63)
DARI REDAKSI
Kirimkan puisimu minimal 5 judul dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas dalam satu file ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Pada subjek e-mail ditulis SEMARAK PUISI MALAM MINGGU_edisi ke-64 (malam minggu selanjutnya). Redaksi akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 1 bulan puisimu tidak dimuat maka puisi dinyatakan belum layak. (Mohon maaf sebelumnya laman ini belum dapat memberikan honorium). Salam segenab redaksi.
PUISI PUISI ACHMAD HIDAYAT ALSAIR
Sakit Kepala oleh Tembakau dan Demonstrasi
Preambule :
Kemarin aku pening karena mendongak terlalu lama
menebak-nebak isi pesawat dan hati penumpangnya
mereka jauh dari rumah, terdampar di hampar awan
sebagian pura-pura pulas sembari belajar duduk terlelap
Isi :
Bunga tembakau tumbuh dari mulut dan telingaku
tetangga mengajaknya berkencan di alam mimpi tengah malam
sedikit lagi, sebelum temanku curiga aku melamun terlalu lama
tidur kembali, kucari anak-anak bermain tebak nama orang tua
Intermezzo :
Berita pagi ini perihal sekelompok laki-laki berbusana setelan lengkap
menuntut pemerintah mengesahkan cinta dan pelukan pasangan
sebagai obat mujarab penghilang lelah setelah seharian mencari upah
demi daftar liburan sebagai bentuk tunai janji pada kekasih
Penutup :
Aku berselimut, menggigil karena angin yang seruak di celah spanduk lusuh
milik iklan layanan masyarakat buatan organisasi orang-orang patah hati
tidak ada televisi di sini, aku semakin pening, kebingungan
memeriksa kembali apa kenanganku ikut mengacau di jalanan ibu kota
(Makassar, November 2016)
Belajar Jenis Warna
Kau birukan lautku, maka padanya kuapungkan risau
pengantar menuju cangkir kopi sebelum jam kerja datang terlalu cepat
Kau merahkan kamarku meski malam bahkan terlalu hitam
tetap saja aku membatu, melihat peta angin dan berita cuaca sekali lagi
Kau kuningkan soreku sebelum mendung melanun
rambat keladi bekerja terlalu keras, di kakinya menggenang kenang
Kau putihkan rindu, warna paling nyala di matamu
garansi kereta pengantar untuk segera menuju dekapmu
(Makassar, Desember 2016)
Museum Berwarna Biru
Kuregangkan otot-otot, berusaha rileks sebelum masuk pelataran temaram
di mana dinding-dindingnya penuh kalender lama berkulit lusuh
Aku melangkah, kemudian terantuk pena yang kau berikan untuk menulis
rasa pahit-manis perjalanan kita pada permukaan purnama
Aku bangkit, namun tanganku meliar ke harpa yang sering dipetik untuk melagukan
elegi hari demi hari perjelajahan dalam sebuah labirin panjang
Aku tengadah, terlihat sarang laba-laba yang selalu ingin kau gusur dengan paksa
karena lembut ayunannya seringkali membuatmu lelap tak sengaja
Aku tunduk, di lantai kulihat sebuah bakiak yang kau belikan
agar aku tetap bersuara kala diam dan malam gerayangi jenjang kakiku
Aku lalu melangkah ke depan, di dinding terpajang sebuah potret buram
saling berangkulan, pura-pura bahagia, di atas bukit untuk menjamu matahari terbit
Aku mundur ke belakang, dan tiba-tiba tanganmu erat mendekap
sembari bisik hangatnya tungku tua ruang tamu
Mari kuterbangkan dirimu menuju sebuah gedung dalam kobaran
di sanalah nanti kita rela untuk rubuh
(Makassar, April 2016)
Sabana Malam Kota
Kita sejenis keliaran yang tidak mungkin dikandangkan
bertugas kacaukan antrian panjang para penjemput malam
di sebuah kota terasing bernyawa kesepian
sayup menangkup pancar purnama tidak sempurna
Deru dan lampu bergulir begitu cepat, perburuan
lalu hanya ada resik jemari membentuk satu kepalan
sengaja diacungkan, sinyal sebuah tantangan
bertanya ke mana arah menuju rumah sakit
Bedeng tanpa penghuni, terusir oleh sirene
aku meringkik di hadapan para pengelana
pamerkan kejantanan, direkam dalam ingatan paling pendek
fajar menanggalkan suraiku, sembap kehabisan jumawa
(Makassar, Juni 2016)
Tiga Ayat Laporan Cuaca
Yang gerak menari sayu kemayu hanya musim
bergelayut dan membelai kepala meski enggan mukim
jemarinya sibuk menggelitik sekat-sekat angkasa
simbol moleknya kehadiran dan genggaman kuasa
Kepada terang dia bernazar untuk tetap abai
jika amuk, mampu lelehkan gigil si semampai
perintahkan seluruh jenis angin menerjang
dan di bumi daun-daun rubuh menjelma genang
Membujuk tanpa henti hujan guna mencumbu bumi
kisah asmara paling palsu, dengan diri sendiri
malam datang, tubuh jenjangnya lalu bersebaran
usaha menolak tamu bernama kerentaan
(Makassar, Mei 2016)
Malam Ruang Tamu
Teras rumahku menjadi sarang ramai percakapan
diwartakan belasan remaja penuh rasa ingin tahu
Ada penasaran seorang wanita pada pelabuhan terakhir
di bentang wajah dan jenjang betis
Dari kamar, seseorang berbicara
kenangannya belum lekang benar
terendap di mata terlampau lama
Ditimpali suara nyanyian
niatan mengundang bising atau sakit hati?
aku menghindari semua jawaban
Telingaku rekah malam ini
mendengar sakit selembar puisi
(Kaluppini, Juli 2016)
Pulang ke Rumah Sementara
Aku terjaga sembari menembak peluh menuju cahaya purnama
sebuntal lelap kugantung di jendela, sisa benih mimpi beranda
bila ada yang ikut begadang, itu hanya ritual jalan menyambut roda
pungkiri tujuan pulang, khayal singgah membuang peta dari jembatan
Aku lemah oleh tikaman ilalang dan dedaunan gugur sepanjang amatan
selimut hanya tameng tak kokoh, sembunyi dari rindu tanpa boncengan
(Enrekang-Makassar, Agustus 2016)
Penulis Penulis: Achmad Hidayat Alsair. Mahasiswa tingkat akhir Universitas Hasanuddin Makassar, FISIP, jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Karyanya pernah dimuat sejumlah media seperti Fajar Makassar, Go Cakrawala Gowa, Rakyat Sultra, Jurnal Asia Medan, Analisa Medan, Tanjungpinang Pos, Lombok Post, Radar Surabaya, ReadZone, Litera, NusantaraNews, FloresSastra, NusantaraNews, Sediksi, KalaLiterasi, Tatkala serta beberapa buku antologi puisi bersama. Bisa dihubungi melalui sur-el ayatautum95@gmail.com.
Tidak ada komentar