Komisi D Panggil Lisia 19 Maret
Balikbukit, WL-Komisi D DPRD Kabupaten Lampung Barat (Lambar) menjadualkan memanggil oknum Kepala Puskesamas Pajarbulan Kecamatan Waytenong, dr. Lisia Indrawati, 19 Maret mendatang. Demikian dikatakan Ketua Komisi D Zeplin Erizal, S.H., M.H., kepada Warta Lambar, Senin (5/3).
Sebab kini, waktu komisi yang bermitra kerja dengan Dinas Kesehatan (Diskes) kini cukup padat, sehingga pemanggilan terhadap oknum kepala puskes tersebut baru dilangsungkan 19 Maret mendatang. “Kami akan memanggil Lisia pada hari sidang paripurna pengesahan ranperda retribusi. Sebelum atau sesudah digelar sidang paripurna. Karna saat ini semua anggota masuk pansusu ranperda retribusi. Jadi waktu juga cukup padat,” kata Zeplin.
Diketahui pada tanggal 29 Januari lalu, pasien bernama Yunita sebelumnya ditangani bidan desa setempat Desma yang berdomisili Pekon Tanjungraya. Karena telah dua hari ditunggu dan tak kunjung melahirkan, akhirnya pasien dirujuk ke puskesmas yang dikepalai dr. Lisia.
sebelum mendapat tindakan medis, pasien terlebih dahulu diminta untuk mengambil paket umum, suami korban diminta menandatangani surat yang telah dipersiapkan.
Meski sebelumnya, keluarga pasien telah menyodorkan berkas agar mendapatkan tindakan medis melalui program Jampersal.
Ironisnya, Lisia pun tidak memperbolehkan pasien pulang pasca melahirkan sebelum meyerahkan sejumlah uang yang dimintanya dengan berdalih pasien dimintai bayaran karena tergolong sulit melahirkan.
Menurut kerabat Yunita, Asra, Minggu (26/2), awalnya suami Yunita dimintai biaya persalinan sebesar Rp1,5 juta. Karena kondisi perekonomian, hanya disanggupi keluarga sebesar Rp800 ribu. Untuk diketahui, sejumlah dana dimaksud pinjaman dari saudara pasien.
Dikonfirmasi terpisah, dr. Lisia Indrawati, tidak membantah sedikitpun bahkan dirinya mengakui telah dipanggil Kadinkes Martin Karokaro, untuk dimintai keterangan. Dia juga menjelaskan jika uang yang telah diterimanya sudah dikembalikan kepada keluarga pasien.
Dia juga mengatakan bahwa pihaknya telah berdamai dengan keluarga pasien, dirinya juga berdalih bahwa petugas di puskesmas tersebut banyak yang berstatus Tenaga Kerja Sukarela (TKS), dan tidak mendapakan insentif. “Pegawai saya banyak yang berstatus TKS, jadi mereka mau makan apa,” kelit Lisia. (nop/esa)
Sebab kini, waktu komisi yang bermitra kerja dengan Dinas Kesehatan (Diskes) kini cukup padat, sehingga pemanggilan terhadap oknum kepala puskes tersebut baru dilangsungkan 19 Maret mendatang. “Kami akan memanggil Lisia pada hari sidang paripurna pengesahan ranperda retribusi. Sebelum atau sesudah digelar sidang paripurna. Karna saat ini semua anggota masuk pansusu ranperda retribusi. Jadi waktu juga cukup padat,” kata Zeplin.
Diketahui pada tanggal 29 Januari lalu, pasien bernama Yunita sebelumnya ditangani bidan desa setempat Desma yang berdomisili Pekon Tanjungraya. Karena telah dua hari ditunggu dan tak kunjung melahirkan, akhirnya pasien dirujuk ke puskesmas yang dikepalai dr. Lisia.
sebelum mendapat tindakan medis, pasien terlebih dahulu diminta untuk mengambil paket umum, suami korban diminta menandatangani surat yang telah dipersiapkan.
Meski sebelumnya, keluarga pasien telah menyodorkan berkas agar mendapatkan tindakan medis melalui program Jampersal.
Ironisnya, Lisia pun tidak memperbolehkan pasien pulang pasca melahirkan sebelum meyerahkan sejumlah uang yang dimintanya dengan berdalih pasien dimintai bayaran karena tergolong sulit melahirkan.
Menurut kerabat Yunita, Asra, Minggu (26/2), awalnya suami Yunita dimintai biaya persalinan sebesar Rp1,5 juta. Karena kondisi perekonomian, hanya disanggupi keluarga sebesar Rp800 ribu. Untuk diketahui, sejumlah dana dimaksud pinjaman dari saudara pasien.
Dikonfirmasi terpisah, dr. Lisia Indrawati, tidak membantah sedikitpun bahkan dirinya mengakui telah dipanggil Kadinkes Martin Karokaro, untuk dimintai keterangan. Dia juga menjelaskan jika uang yang telah diterimanya sudah dikembalikan kepada keluarga pasien.
Dia juga mengatakan bahwa pihaknya telah berdamai dengan keluarga pasien, dirinya juga berdalih bahwa petugas di puskesmas tersebut banyak yang berstatus Tenaga Kerja Sukarela (TKS), dan tidak mendapakan insentif. “Pegawai saya banyak yang berstatus TKS, jadi mereka mau makan apa,” kelit Lisia. (nop/esa)
Tidak ada komentar