HEADLINE

Editorial - Senin, 31 Oktober 2011

Persoalan bahan bakar minyak (BBM), utamanya jenis premium dan solar, selalu saja menjadi masalah hampir setiap waktu. Terlebih akhir-akhir ini, meningkatnya jumlah kendaraan roda dua (R2) dan roda empat (R4) secara signifikan, ternyata tak diimbangi dengan ketersediaan BBM di Stasiun Pengisian Bahan-bakar Umum (SPBU) yang ideal atau memadai. Belum lagi ekses yang sangat merugikan konsumen karena ulah segelintir oknum warga (baca: pengecor) yang diduga kuat kerap melakukan penimbunan untuk kepentingan pribadi, semakin menggurita dan merajalela.

Mirisnya lagi, ada dugaan kuat oknum petugas atau pengelola SPBU juga ikut bermain, apakah dengan modus menarik uang tip dari pengecor, memainkan tera, atau bermain mata dengan penjaga keamanan yang memelihara praktik ilegal tak terpuji pada matarantai distribusi dimaksud. Semua itu menjadi satu manakala juga ada semacam pengejawantahan atau legalitas dari pemerintah. Peratin memberlakukan surat saktinya, pengecor yang bisa membeli BBM hanya yang mengantongi surat rekomendasi dari peratin. Maka itu, sebaiknya pemerintah selaku regulator juga aktif memainkan perannya menjalankan fungsi pengawasan bersama petugas dari instansi terkait.

Disadari atau tidak, ini juga menjadi salah satu pemicu kelangkaan BBM tersebut. Bahkan ada indikasi surat sakti dimaksud betul-betul dimanfaatkan oleh segelintir pengecor demi menangguk keuntungan sebanyak-banyaknya. Siapa yang bisa menjamin surat peratin itu dipergunakan sebagaimana mestinya. Satu surat dipergunakan oleh lain orang atau banyak orang, nampaknya menjadi bagian dari permainan itu. Singkatnya, keberadaan rekomendasi peratin hanya memperpanjang masalah distribusi itu sendiri, melagalitas praktik curang yang hanya menguntungkan pihak tertentu. Karenanya rekomendasi atau kebijakan itu layak dipertimbangkan untuk tidak dilanjutkan.

Dan yang paling kasat mata adalah pengemudi angkutan umum tak lagi memainkan perannya sebagai salah satu faktor yang ikut meregulasi antar-jemput penumpang dan atau barang ke titik-titik distribusi atau tujuan tertentu. Angkutan tersebut tampak sibuk juga menjadi subjek multiperan, tidak hanya mengangkut penumpang atau barang saja, tapi juga ikut ngecor. Di si terlihat peran sesunguhnya yang diharapkan masyarakat, antar jemput penumpang-barang, justru dikesampingkan. Ternyata, jenis pekerjaan baru bagi supir angkutan umum ini lebih menguntungkan, sekitar tiga sampai lima kali lipat keuntungannya daripada mengangkut penumpang-barang dengan waktu yang relatif singkat.

Anehnya, semua kepincangan dalam hal pendistribusian itu tak kunjung menemukan titik terang. Sebab, semua pihak merasa berkepentingan melanggengkan perannya demi untuk menikmati keuntungan dari praktik tersebut. Maka tak heran kalau kemudian konsumen harus rela bersabar untuk antre berjam-jam demi mendapatkan BBM sesuai kebutuhannya. Sementara pihak pengecor (termasuk angkutan umum) hanya berputar-putar beli-bongkar di sekitar SPBU. Para pihak terkait pendistribusian ini ternyata belum bisa membuktikan perannya sebagai bagian dari regulator sebagaimana dimaksud.

Beruntung, di balik semua kesemrawutan pendistribusian tersebut, di Lambar utamanya, masih terdapat satu SPBU yang sampai saat ini tak pernah menemukan kendala dalam hal penditribusian ini, yakni SPBU Bangunnegara Kecamatan Pesisir Selatan. Di SPBU itu semua kendaraan yang masuk terlayani dengan aman, nyaman, dan puas. Kendaraan tidak pernah terlihat antre, apalagi sampai berjam-jam. Maka tak berlebihan jika SPBU tersebut adalah terbaik dalam hal pelayanan terhadap konsumen. Pertanyaannya, kenapa pengelola SPBU lain tak meniru sistem kerja dan pendistribusian di SPBU itu? Jawabannya tergantung keinginan pengelola memperbaiki citra dan pelayannya. (*)

Senin, 31 Oktober 2011

Tidak ada komentar