HEADLINE

Tajuk - 21 Juli 2011

Ketegasan mutlak diperlukan sebagai upaya menyaring sekaligus menyikapi ekses atau dampak negatif akulturasi budaya asing yang notabene tidak bisa disamakan dengan tradisi atau adat ketimuran yang santun dan religius. Itu untuk menunjukkan jatidiri sebagai masyarakat beradab yang kental dengan nuansa budaya warisan nenek moyang. Contoh kasus, saat ini di wilayah pesisir Lampung Barat (Lambar) banyak kedatangan turis mancanegara—yang sudah pasti membawa kebiasaan termasuk cara berpakaian yang tidak sama dengan warga lokal.

Misalnya, saat berkendara di jalan raya yang sama sekali tak melengkapi diri dengan kelengkapan berkendara, seperti helm muapun kaca spion, termasuk juga surat menyurat kendaraannya. Belum lagi aktivitas yang menyangkut etika dan moral, misalnya. Dalam konteks tersebut, belum lama ini pasangan turis mengendarai sepeda motor (boncengan) mengenakan pakaian minim.

Persoalannya, mereka seolah show of force, dengan bangganya pamer aurat di jalan raya di tengah kehidupan masyarakat dengan tatanan sosial tinggi dibalut terjaganya adat istiadat budaya warisan nenek moyang yang utuh. Masyarakat pun terusik atas kecerobohan yang secara tidak langsung telah menginjak-injak kedamaian dan kenyamanan warga pesisir itu.

Sayangnya, kecaman ternyata tak bersinergi dengan upaya penegakan hukum ketetanegaraan. Pihak yang berkewenangan mengatur masalah lalulintas, misalnya,  yang secara tidak langsung memosisikan turis mancanegara begitu istimewa. Buktinya, turis ketika berkenda dan tidak dilengkapi kelengkapan berkendara, seperti helm, ternyata tak disanksi pelanggaran.

Ketentuan berlalulintas pun dilanggar. Belum lagi masalah etika kesantunan saat berkendara.
Misalnya memakai pakaian yang sopan, minimal memakai sandal, bercelana pendek dan baju, dan yang pasti mengenakan pelindung kepala atau helm, sama sekali tak dihargai. Pertanyaannya, kenapa harus ada pembedaan pelayanan. Bukankah ketika berada di jalan raya statusnya sama sebagai pengendara atau pengguna jalan.

Pihak kepolisian nampaknya terlalu longgar menerapkan aturan main yang ada. Selalu berkutat pada simpul devisa atau pendapatan dari kedatangan para turis itu ke tanah air. Dengan begitu, atas nama devisa, haruskah harga diri dan aturan yang dijunjung tinggi tergadaikan? Jalan tengahnya, agar hal serupa tidak terjadi lagi, para pihak terkait, yakni pemerintah dan stake holder lainnya duduk semeja membicarakan masalah ini.

Intinya, bagaimana agar turis mancanegara tetap datang ke Lambar tanpa harus mencederai tatanan adat istidatat yang bersemi subur dan terpelihara di bumi religius ini. Langkah kongkret pemerintah sebagi regulator tatanan yang ada harus dikedepankan sebagai upaya penyelamatan sekaligus pemberian ruang bagi potensi pemasukan ke kas daerah. Tentu saja hal ini tidak berarti mengorbankan jati diri, kepribadian, adat istidat, terlebih akidah. (*)

Tidak ada komentar