HEADLINE

Cerpen Nanda Dyani Amilla "TUTUP CANGKIR"


DARI REDAKSI
Kirimkan Cerpenmu dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas dalam satu file ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Redaksi akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 1 bulan  Cerpenmu tidak dimuat maka dinyatakan belum layak. (Mohon maaf sebelumnya laman ini belum dapat memberikan honorium). Salam segenab redaksi.

Cerpen Nanda Dyani Amilla
TUTUP CANGKIR
    

 ****

“Abiiiii…” teriak seseorang dari arah belakang.

Abi baru saja keluar dari perpustakaan. Kepalanya segera menoleh ke asal suara itu. Abi hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Rin berada dua meter di depannya, tengah melambaikan tangan dengan sebuah senyuman. Kepala Abi tiba-tiba berdenyut. Kejutan apa lagi ini? Kenapa gadis itu seperti jamur saja? Dimana-mana ada. Rin berjalan mendekat ke arah Abi. Abi menggaruk tengkuknya.

“Nggak nyangka ya ternyata kita satu kampus,” suara Rin terdengar mengerikan di telinga Abi.

Bagaimana tidak, ia mengira siang kemarin adalah pertemuan pertama dan terakhirnya dengan gadis itu. Dia tidak mau lagi bertemu atau bahkan berbicara basa-basi lagi dengannya. Namun semua terjadi di luar kendalinya. Bagaimana bisa Rin berkuliah di sini juga? Rutuknya dalam hati. Itu artinya, dia akan semakin sering bertemu dengan gadis itu. Dan Giska akan semakin salah paham. Ini benar-benar gawat.

“Hmm.. aku buru-buru. Sorry!” Abi segera berbalik, menjauh dari gadis itu.

Tanpa sadar seorang anak laki-laki yang tampak terburu-buru juga, menabrak lengan Abi. Tabrakan itu cukup membuat tubuh Abi sedikit oleng. Buku tulis yang ada di pelukannya terjatuh. Abi tidak menyadari itu. Dia langsung pergi dan menghilang di balik kerumunan mahasiswa lainnya. Rin memungut buku tulis itu. Menatap punggung Abi yang semakin menjauh. Dia hendak memanggil Abi, namun sepertinya anak laki-laki itu memang tengah berusaha menjauhinya. Rin menatap buku tulis itu, lalu membawanya. Dia berniat akan mengembalikannya di jam istirahat nanti.

Lunch time! Kantin kampus tengah ramai. Hampir seluruh siswa memenuhi kantin itu untuk mengisi perut. Giska duduk di meja kecil di ujung kantin bersama Abi dan Yoana. Mereka menikmati pizza mini dan sebotol cola. Ketika tiba-tiba seorang gadis mendekat ke arah mereka bertiga. Yoana yang lebih dulu menoleh, sementara Abi dan Giska tengah asik menyeruput colanya. Masih jelas diingatannya, gadis itu adalah gadis yang sama saat di café kemarin siang. Yoana menyikut lengan Giska pelan. Giska menoleh, lantas mengikuti arah mata Yoana. Sedikit terkejut, mata Giska terbelalak. Benarkah dengan apa yang dilihatnya?

“Hai semua..” sapa Rin.

Abi langsung menoleh. Rin lagi? Abi memutar bola matanya. Dilihatnya air muka Giska sudah berubah sejak tadi. Yoana sendiri sudah tersenyum kaku.

“Boleh aku gabung disi…”

“Nggak!” sergah Abi cepat. Ucapan Abi sontak membuat Giska dan Yoana terkejut. Bahkan mulut Yoana sedikit terbuka. “Kenapa?” tanya Rin pelan, nyaris tak terdengar.

Raut wajah Abi jauh dari kesan bersahabat. Dia menatap tajam ke arah Rin. Hening menelingkup sejenak di antara mereka. Sementara Giska memilih diam, hanya memperhatikan. Dia benar-benar dibuat bingung oleh kemunculan Rin. Semakin bingung ketika menyadari bahwa gadis itu satu sekolah dengannya, juga Abi. Namun dia bersyukur melihat sikap Abi yang tegas seperti tadi. Bukan maksudnya dia bahagia melihat Abi memperlakukan Rin seperti itu, tapi lebih kepada Abi menepati janjinya.

Seperti yang diketahui, Rin adalah seseorang dari masa lalu Abi. Kemunculan Rin sempat membuat Giska berang. Bagaimana tidak, gadis itu muncul disaat Abi telah sah menjadi kekasihnya. Menurut cerita Yoana, gadis itu telah meninggalkan Abi untuk sesuatu yang terlihat lebih. Dan ketika sekarang Abi memilih dirinya, gadis itu tanpa perasaan menunjukkan batang hidungnya. Benar-benar menyebalkan, rutuk Giska dalam hati.

“Kalian udah selesai makan, kan? Kita balik sekarang!” Ajak Abi seraya melirik Giska dan Yoana.

Giska hanya menatap Abi datar. Yoana sendiri sudah bangkit. Abi segera menarik lembut tangan Giska dan mengajaknya kembali ke kelas. Kejadian itu jelas tertangkap oleh kedua mata Rin Abi menarik tangan gadis itu? Hatinya terasa sakit. Tiba-tiba ada gemuruh di dalam dadanya, ingin rasanya dia menangis saat itu juga. Giska.. gadis itu benar-benar telah merebut posisinya.

Langit kembali menangis. Gemuruh petir membuat Giska ngeri, gelegarnya seperti melucuti nyali. Awan hitam jelas terlihat di atas sana. Dalam keadaan seperti ini rasanya tak mungkin ia nekat untuk menerobos hujan. Di sudut kanan kelas itu, Abi menatapnya datar. Giska yang saat ini duduk di meja sudut kiri kelas, meliriknya sekilas lalu membuang muka. Keadaan selalu menjadi tidak enak setelah mereka bertemu Rin. Ada pikiran dan dugaan-dugaan tertentu yang tidak bisa dienyahkan Giska dari dalam hatinya. Ketakutan akan Abi yang akan berpaling darinya, membuatnya semakin hari semakin mudah marah. Untungnya Abi paham akan hal itu. Itulah sebabnya mengapa dia memperlakukan Rin seperti saat di kantin tadi.

“Ngambek mulu, sih?” celetuk Abi di antara suara hujan.

Giska diam saja. Dia merebahkan kepalanya di atas meja.

“Aku baik sama dia, salah. Aku jutek sama dia, lebih salah. Benernya itu gimana?” tanya Abi lagi.

Giska menoleh, menatap pemilik mata indah itu beberapa detik. Ada perasaan bersalah dalam dirinya. Sikapnya seperti ini yang akan justeru membuat Abi lelah. Separuh hatinya membenarkan pernyataan Abi barusan. Lalu sekarang apa? Bahkan dia sendiri tidak tahu apa yang dia inginkan. Duh, wanita!

“Aku cuma takut,” Giska akhirnya bersuara.

“Takut aku tergoda dengan dia lagi?” Abi beranjak dari duduknya, berjalan mendekat ke arah tempat duduk Giska.

Abi menatap Giska sambil nyengir. Giska membuang muka, dia paling benci ditatap seperti itu. “Dengar baik-baik, Dear, yang perlu kamu ingat saat ini adalah hatiku serupa gembok. Dan kamu adalah kuncinya. Kita, dua tubuh yang selalu ingin menjadi satu,” Abi mengusap lembut kepala Giska. “Aku tahu, ketampananku sulit ditolak banyak gadis. Tapi percayalah, aku cuma bisa jatuh cinta pada satu orang gadis yaitu kamu,” tambah Abi lagi sambil tertawa.

Giska menyikut lengan Abi. Dia ikut tertawa. “Karena lelaki baik selalu tahu perihal mana yang diinginkannya dan mana yang dibutuhkannya. Dan aku lebih memilih membutuhkanmu, Dear. Gimana? Sekarang udah percaya?” Abi tersenyum puas. “Oke, aku percaya,” Giska membalas dengan senyum yang tak kalah puas. “Bersikaplah dewasa, Giska-ku. Besok atau lusa, mungkin kita akan bertengkar lagi. Namun teruslah berusaha mencintai tanpa letih. Teruslah menyetia tanpa alpa,” Abi menyentuh pipi Giska lembut.

Giska tertunduk. Ucapan Abi benar-benar menyadarkannya betapa dia masih terlalu childish untuk gadis seusianya. “Seberapapun kamu ingin pergi, semoga kamu tak lupa kembali. Seberapapun kamu ingin menjauh, semoga kamu selalu mengingatku, seseorang yang akan selalu menjadi tutup cangkirmu,” Ucap Giska tersenyum.

“Kamu bisa mempercayaiku, Dear..” Abi menarik tubuh Giska. Lantas memeluknya. Keduanya tersenyum, membayangkan panggilan sayang yang disematkan Giska pada Abi. Tutup cangkir; ia yang akan selalu menjadi pasangan cangkir. Ia yang akan selalu menghangatkan isinya. Ia yang akan selalu menjaga suhunya. Dan Giska, adalah tutup cangkir bagi Abi yang kedinginan.

Ingin rasanya dia berbisik pada gadis itu, bahwa saat ini dia telah menemukan yang tepat. Giska adalah gadis luar biasa yang pernah ditemuinya. Perasaan sayang sejak pertama kali bertemu dengan gadis itu masih bertahan sampai detik ini. Dia memang tak sebaik yang Giska pikirkan. Namun Giska perlu mengerti, Abi yang bersamanya kini adalah Abi yang ingin selalu memperbaiki diri. Abi yang selalu ingin melindungi. Dan Abi yang selalu ingin menyembuhkan perih.


Tentang Penulis: Nanda Dyani Amilla tinggal di Jl. Serayu 3 Dusun V, Medan-Sumatera Utara. Saat ini ia berstatus Mahasiswi Semester VI, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP UMSU. Karya Novelnya berjudul Kejebak Friendzone, Bentang Pustaka, 2017)

Tidak ada komentar