HEADLINE

Semarak Puisi Malam Minggu (Edisi ke-54)


SEMARAK PUISI MALAM MINGGU (edisi ke-54)

DARI REDAKSI
Kirimkan puisimu minimal 5 judul dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Puisi, biodata, foto bebas dalam satu file. Tidak boleh terpisah. Pada subjek e-mail ditulis SEMARAK PUISI MALAM MINGGU_edisi ke-55  (malam minggu selanjutnya). Redaksi akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 1 bulan puisimu tidak dimuat maka puisi dinyatakan ditolak. Salam segenab redaksi.


SEMARAK KARYA BERSAMA

PUISI PUISI ENDANG A

KERAGUAN LANGKAH KAKI

Jantung serasa mau pergi, saat kaki kecilku masuk kota ibu, ribuan gundah menghantui, Raja malam mengikuti gerutuku meniti jalan.

Entahlah-

pasrahkan saja pada takdir, biarlah aliran rindu berpadu, walau gontai akan sebuah dilema, majulah menghampiri gemuruh api rasa.

Tik tok tik tok ....
debar naik level dan lebih kencang, ini bukan tentang cinta pada kasihku, itu karena senyawa ion yang bergejolak, antara ingin dan kabut.

Mama ....
simpuhku penuh derai, bukan karena baringmu di ujung napas, tetapi rutukan akan sebuah kisah yang terbungkus oleh masa.

Pontianak, 1 Maret 2017.


KENANGAN

Masa itu .... derainya lebih dalam
kisahnya menciut, nyali melepas
rintik tak terbaca kata.

Indahnya, hanya rasa dan wujud air
hening, lamunan senja di ufuk cemara
tetes mengalir, berharap terulangnya kisah
takjub akan awal maret, pendobrakan rasa.

Sedang-

aku, serupa batang kering, dahaga rindu
mengukur percikan hati, di ujung sajadah
semua bimbang, meluruh dalam Dedoa.

Pontianak, 1 Maret 2017.


ATMOS

Dia datang, dari siklus tangga nada mayor bersama minor, membentuk irama, menghaluskan intonasi mimik wajah sebuah lagu.

Juga-

susunan balung balung, reranting patah, dedaunan kering, persenyawaan sampah sampah busuk ibukota.

Entah-

apakah pergerakannya, adalah benih benih harga pati, sebuah kehidupan, atau ilusi belaka?.

Jawaban tak terbaca oleh penjabaran kata.

Kemudian-

berangsur-angsur menghilang, bersembunyi dalam wadah ilusi, hingga wajah wajah alam serupa bayangan.

Ya ... dialah Atmos, pengibar seni di atas lamunan ombak yang menghempas perahu.

Dan-

aku hanya menikmati lantunan Ayat-ayat Allah bergema.

Sudut bumi, 28 Februari 2017


Atmos : suasana perasaan yang bersifat imajinatif dalam naskah drama.

TENTANG PENULIS: ENDANG A Tinggal di Jakarta Timur
JLN DUKUH 4 Penyaringan MEH jagorawi, ia mempublikasihkan puisinya di media online



PUISI PUISI ANDI IDENG


CINCIN PERMATA TAMPANING

Rentang waktu yang sudah lama terlewati, berpulangnya ayah di pangkuan-Nya.

Masih terkenang masa itu, saat-saat kuterima tanda mata terakhir darimu.

Adalah cincin permata tampaning yang melingkar di jari manisku hingga kini. Nalar kujaga sebagai kenangan terindah dalam hidupku.

Di atas sajadah!
Dalam tiap sujudku, doa-doaku senantiasa mengumandang untukmu yang di sana.

Terima kasih ayah!
Cindera mata darimu ada di sini, kutatap lembut kala bulir-bulir rindu hadir menyapa sepi tentangmu

Soppeng Makassar, 27 Februari 2017

Keterangan:
Permata tampaning merupakan batu, yang di olah menjadi batu permata akik, yang asalnya dari desa Tampaning, kabupaten Soppeng Makassar.


BULIR RINDU

Ada rasa menyentuh hatiku, dalam tebaran bintang kecil di langit pekat.

Bungkam hasratku tak mampu lagi bicara saat ini.

Hanya angan yang menari mengusik jiwa meratap rasa, senarai kata memintal diksi bertemu di titik mimpi.

Ketika bayangmu bulirkan rindu pada sosokmu yang tak bisa kusentuh dengan jemariku.

Soppeng Makassar, 2 Maret 2017


Tentang Penulis: Andi Ideng tinggal di Jl watanlipu, di samping SDN 35 Tajuncu, no 59, Soppeng Makassar, karya-karyanya di media online Wartalambar.



PUISI PUISI AAN HIDAYAT

BUMI GERSANG 

Belajar dari sebuah sajak, benahi cerita di pinggir jalan. Membaca rambu-rambu yang kian memudar, seakan enggan menunjuk arah.

sajak beranjak menggores hitam pada lembar putih hamparan, melukis bayangan dalam racauan gundah.

Dalam sekelumit cerita, terkadang memori singgah di persimpangan, lalu jiwa bertikai tentang langkah.

Panjang berkisah, gontai tanpa Laluan, perjuangan di ujung  napas kebangkitan.

Lalu hujan dan badai menggetar seantero bumi, mengguncang keyakinan dan melarung sampah kehidupan. 

Biarkanlah kawan... 
yaa biarkanlah hujan deras genangi Nusantara, dan biarkanlah tumbuh rerumputan seusai reda tetesnya, karena sejatinya bumi ini telah gersang.

Lampung Barat, 25 Pebruari 2017.


HILANG INGATAN 

Kemana pergi ingatanmu kawan, tentang mentari yang membakar langkah. 

Selaksa badai telah kau taklukkan, jalan terjal mampu kau lalui, namun tak jua kau mengerti tentangnya.

Lihatlah!! 
kini kau berdiri tanpa bayangan, sedang mentari terik di atas kepala. 

Tidakkah kau simpan kenangan, tentang jalan setapak?
lalu di balik lipatan senja kau harus tersenyum.

Hai-hai... 
sejatinya hidup sungguh pertikaian urat saraf, mengapa kau biarkan amnesia mencuri imaji. 

Lampung Barat, 3 Meret 2017.

Tentang penulis: Aan Hidayat adalah seorang wiraswasta mebel, di Pekon Gunung Sugih Liwa Lampung Barat, dia juga intens mencurahkan kegelisahan hatinya melalui puisi, karya-karyanya di muat di www.wartalabar.com.
WA : 0822796.8762



PUISI PUISI FARHAN ARYA 

SECAWAN RINDU 

Telah kunikmati helaian salju, sesaat wajahmu hadir lukiskan raut malam.

Kemudian-

membaur cerita basi, rintihan seni di ujung tanduk, kemalangan rasa menciutkan pikir, tunas aksara mati rasa, jenuh puisi melanda sastra.

Lantas-

Kemarau hidup di hati pemirsa, gersang hawa kikir bersemayang, pucuk ilalang tertawa riang, kerinduan semakin dalam.

Kemudian-

Cahaya masuk pada celah kecil, sedikit, penuh arti, sebabnya asa mengikat, poin itu selamat, kini bukan hanya andai, tapi logika.

Secawan rindu menanti pulang, membawa bingkisan alam.

Jepang, 24 Februari 2017.


AKU

Aku adalah pemusnah sepi, namun terjebak sunyi, yang hadir di sudut bisu, sulit untuk keluar dari ikatan hitam yang membelenggu.

Ya, lahirnya datang dari kepunahan hati, merangkak tertatih-tatih, mencari sebuah mimpi, namun terdiam di dinding lara.

Menuju kehampaan dunia, jatuh tersuruk, dan mati ketiadaan harap.

Jakarta, 12 Februari 2017.


KICAUAN PAGI 

Hai cacat nekat!
sudahkah kau rapihkan sajadah?

Lihatlah wajahmu!
penuh kutu-kutu busuk dan kotor

jauhi pagar besi yang menghancurkan
buatlah damai antara napas biji bola mata.

Kemudian-

kaji kembali lembaran Ilmu Islam
rangkai dalam dedoa, sujudmu perbaiki, buat manis lambaian pagi.

JAKARTA, 27 FEBRUARI 2017.

Tentang penulis: Farhan Arya tinggal di jln dato tonggara 2
Kramat Jati Jakarta Timur, ia pelajar SMPN 24 KRAMAT JATI
JAKARTA TIMUR. Puisi puisinya dipublikasikan di www.wartalambar.com



PUISI PUISI NANANG R

SATU NAMA BELUM TERBACA

Sepertinya,
masih kau simpan
kenangan, di saat hilang jalanmu
dan angin laut yang seolah
memahamimu dalam duka.

Sehingga kau
namai dirimu camar,
yang sebenarnya laut masih berkecamuk
dihiasi gerimis yang kian mencekam,
lalu kau sempat menuliskan sebuah nama 
sebelum kembali kejejakmu semula.

Dan nama itu habis dalam sekejap
dilumat ombak,
sebelum kau sempat membacanya lagi.

Adakah kau sadari sebelumnya,
semua di luar batas angan-angan
dan semua di luar nalar,
aku tau sungguh kau tak akan lupa
meskipun terperas waktu.

Banjarnegara, Jawa tengah 27 Februari 2017.


BIOGRAFI MASALALU

Ia adalah senyuman,
yang terkadang mengundang percikan embun menganak sungai.

Hai, iya hanya namamu
dalam silamnya dan menjelma
pesona potret sekilas anggun
berbalut busana.

Dan aku yang kau lucuti
hingga menyakiti tumit,
rancu seolah memutar balik emosi di luar nalar.

Dan kini debarannya
masih tersisa,
meski telah menjelma masalalu.

Banjarnegara, Jawa tengah 02 Maret 2017.

Tentang penulis: Nanang romadi tinggal di Banjarnegara  Jawa tengah. Nanang R bergabung aktif dalam sekolah sastra ( KOMSAS SIMALABA)
Hp: 081519180004
Wa: 0815 19180004



PUISI PUISI SWANTI

TANYAKU

Sahabat ...
pernahkah kamu rasakan, berdiri di simpang jalan
Jelas arah yang terhidang, keduanya begitu menggoda.

Jalur kiri penuh pesona, wangi kesturi merebak
hingga terpikat selalu tawarkan candu dan permata

Sahabat ...
bolehkah daku minta petuah, jalan manakah yang harus kutempuh
sementara sudah begitu erat kupeluk salah
Ingin sudahi tapi tak berdaya.

Sahabat ...
kutahu langkahku salah, tolong bantu tuk kembali, ke jalan Robbku yang satu.

Rokan Hilir, 1 Maret 2017


TAMU ISTIMEWA

Padamu rasa tiada pernah kupinta
Hadir tanpa tepaslira
Masuk tepat di palung jiwa

Meronta coba melawan, menangkis dengan jurus pamungkas
Tetap saja tidak bergeming

Di belahan dada kiri, bersemayam mimpi dalam lena panjang
Tiada habis nikmati pijar rasa pun terpatri

Engkau datang tanpa diundang, berbekal roncean    
Paduan rasa sukar dicerna, semakin hanyut hingga ke muara

Ketika lautan menanti di akhir kisah
Akankah ia kembali ?

Rokan Hilir, 1 Maret 2017.


PUPUS

Langit begitu pekat membungkus bumi
Kilat menyambar seluruh ranting, patah lantas hangus

Belumlah tua rasa tercipta, semena - mena porandakan asa

Berjuang hempaskan suka, bunuh kuncup terindah
Sayang tetap tak kuasa
Hingga pupus.

Rokan Hilir, 1 Maret 2017


Tentang Penulis: Swanti, Spd. AUD adalah Kepala Sekolah TK  Mardhotillah
Jln Pelita Km 22   Bangko Lestari  Kecamatan : Bangko  Pusako  Kabupaten :  Rokan Hilir RIAU



PUISI-PUISI MALA FEBRIYANI

BAHTERA KITA

Maaf-
aku tidak pandai merangkai kata
Juga tak sempurna
di matamu.

Yang kutahu hanya berusaha
menjadi pengisi jiwamu kelak.

Lewat samudera mana? Aku
berlayar
agar kapal berlabuh di satu 
dermaga.

Setiap musik yang berdesis
tak seindah lantunan Ayat-ayat
Suci
yang kau baca di keheningan
malam.

Saat bersama menyelami hidup rumah tangga.

Jakarta, 3 Maret  2017.


MENJEMPUT MALAM 

Tidak terasa, hari menjelang petang angin berhembus dengan indah dan senja pun hadir bersama awan hitam di celah malam yang akan datang.

Kemarilah!
Temani aku, mengukir aksara di langit harapan. 

Jemariku seakan tak pernah lelah,
menulis bait-bait indah tentang kita.

Jakarta, 3 Maret 2017.


Tentang penulis: Mala Febriyani tinggal di Jakarta utara, pluit penjaringan.



PUISI PUISI Q ALSUNGKAWA

SALAM BUKIT SAJAK
(Teruntuk Nanang R)

Lalu---

sepucuk pesan itu
menusuk manusiaku, hingga kedalaman. Kalimat yang patah-patah dari sekeping hati yang resah.

Engkau yang membawa pergi perih. Tetapi bersambut aral melintang
lengkap sudah lembar hidupmu, bertuliskan cemeti bernada alarm kelana.

Tetapinya, engkau tidak sendiri Puisi.

Lihatlah kupu kupu itu
mengantarkan senyum untukmu
menepiskan warna sendirimu
yang menjerat hingga engkau sesak.

Dan dari bukit sajak, teriring kesejukan, sekedar ucapkan selamat jalan
dan bertilam bait-bait puisi, tentunya agar engkau bicara pada kalimat pulang.

Lampung Barat, 21 Februari 2017


SAJAK DARI DAHULU

Hai ... apakah kita masih dahulu
yang menghitung biji terang di langit
dan yang terlibat pada gejolak, ketika usia belasan?

Lalu---

entah dari mana, sepercik api, yang membakar jarak
hingga sebaris kata percintaan begitu terluka.

Hai
yang dahulu.
Padahal kita tida sepakat, untuk mengoleksi catatan yang di juluki kenangan.

Namun---

pustaka bermerek: Terkadang. Yang, tiba-tiba menghampiri, untuk memeriksa aliran hidup paling hulu.

Baiklah, Peri Dahulu. Tanpa pamit, aku menyunting lagi impian itu
mengeja lagi kekunang angkasa
dan memecahkan warna cahaya yang bertebaran.

Lampung Barat, 22 Februari 2017


ANGGITARIA AN NURRIDA GUMILAR

Terlalu muda pucuk senja, untuk disebut malam
dan
masih kita tunda narasi sajak, tentang kalimat pulang.

Tetapi di pintu magrib
engkau tinggalkan terompah sebelah, yang meng-isyaratkan penghujung jalan.

Sejenak, bahasa takdir terabaikan, syarat, bahwa engkau hanyalah miliku, bintang kecil yang menggemaskan.

Tetapinya, sebutir yang tercetus di manusiaku, lupa, bahwasannya--- ada pemilik dari hak
yang utama mencintaimu
hingga bunga terindah
dipetik
untuk menghiasi tamania surgawi.

Selamat tidur panjang kekasih.
meskipun percintaan kita belumlah usai.

Maka---

jarak yang engkau buat
adala
kerinduan, untuk kita sambung, pada Nirwana, impian para hamba.

Tugu Mulya, Lampung Barat, 24 Februari 2017.


Tentang Penulis: Q Alsungkawa, bergiat di komunitas sastra di Lampung Barat (KOMSAS SIMALABA), ia mempulikasikan puisi-puisinya di media online www.wartalambar.com, Saibumi.com dan Lampungmediaonline.com



PUISI PUISI NENI YULIANTI


BUKAN KALIMAT PULANG

Bukan kalimat pulang!
kata mengakar dan membakar. Disulut tangis, pada wajah sajak sisa kemarin.

Sebab--

Jalan yang kita ukur, saat kilau emas mendekati, belumlah tunai.

Masih menatap jendela, jeda kata kata di kolam ilusi, mengoyak sepi.

Bukan kalimat pulang!
berbaris di ujung pelangi meruncing, pepohonan, kaku raut Februari tapi bukan kalimat yang pergi.

Cirebon, 1 Maret 2017.


PRAMUDHITA PALAPA

Adalah Ia!
yang tumbuh dalam desah hujan, menyelipkan harap di tengah cahaya yang meredup, di antara sisa puing yang runtuh.

Sementara---

butir doa di sepertiga menyiram tunas, menguas warna putih belulang yang retak, sejengkal napas memburu, berharap menghirup udara, dalam pekatnya dunia.

Ya---

Tetaplah tumbuh bunga, hingga tubuh menjelma puisi, memberi warna dalam sisa usia ibu.

Cirebon, 25 Februari 2017


Penulis : Neni Yulianti, tinggal di kota Cirebon, ia bekerja di perusahaan swasta. karya karyanya dipublikasikan Warta Lambar.



PUISI PUISI ELLINTA NURAINI

TENTANG RASA

Tak perlu kau tanyakan,
tentang sungai yang mengalir di dadaku
meliuk liuk lalu bermuara pada laut di hatimu
Sebab-
Rahim hujan selalu melahirkan,
gemericik rindu, hingga musim berlalu

Lihatlah
Angin itu mengawininya
Hingga lahirkan bayi bayi rindu
Dengan pipi gembul dan mata bulat Melukis sebuah harap di ujung malam yang hampir sekarat

Hongkong 3 februari 2017


LAUT DI DADAMU

Bolehkan aku pinjam pelampung?
Agar tak tenggelam,
Dalam laut yang berdebur di dadamu
Dengan ombak ombak batu,
dan karang tajam di tepian

Haruskah kuikuti aliran jeram?
Yang bermuara di dadamu,
agar dapat kureguk secangkir asin dari rasamu yang telah basi sejak hari sebelum kemarin.

Hongkong 3 Februari 2017

Tentang penulis. Ellinta Nuraini pemilik akun fb Ell El lahir di jambi 1 november 1995. Ia tinggal di rt 01 rw 01 desa Joho Pule Trenggalek. Aktif mengirim cerpen dan cerbung di beberapa media online. Kini ia bekerja sebagai buruh migram di Shatin Central Hongkong. Puisi puisinya di muat di Wartalambar.com



PUISI PUISI ANIK SUSANTI

PERSADA PERAK

Aku yang setia, terpana di depannya
persada perak bernama televisi
tapi Ayah selalu bilang begini-
jadilah bangsa yang berbobot
jangan kalah dengan para robot
juga remot-remot.

Sawah membentang panca indera semesta
kata Ayah pematangnya tempat segala kisah
lebih indah, mewah dan penuh hikmah
mendidik amaliah segala penjuru ilmu
mendidik kreatif
tak melulu konsumtif
terhindar dari hingar bingar negatif.

Hari semakin berjalan
memulangkan dasar cipta kisah manusia
yang diperintah untuk membaca.
Pesan dari Sang Rahman.

Gunungkidul, 1 Maret 2017


SECARIK KERTAS ASA

Yang pernah tercecer di beranda fajar
mengejar terik mentari yang menyengat
abjad itu masih setia semangat
meski ditali jerat.

Secarik kertas asa
membentang lautan jiwa
seribu puisi mengudara
kecil arti tapi bernyawa
membumbui selinting sajak petani.

Bangkitlah aksara berpencar 
ke atas mendekati sinar
membentuk bulan--bintang
merangkul keajaiban benderang
tercapai mimpi-
yang pernah mencari pemilik.

Gunungkidul, 1 Maret 2017


SENYUM SUMRINGAH RERUMPUTAN

Adalah kami yang rumput
penuh senyum sumringah
sederhana mengulas mimpi
cukup; kembang lalu bersemi
memuliakan hidup yang lain.

Tak banyak bicara soal pinta
bagaimana takdir, lega rela menerima
indah hijaunya aku
bangsa yang bawah
miliki hati lembah.

Buat apa kami sombong
kita jauh dari kesombongan
tapi dekat dengan air rahmat
dengan tanah anugerah
dan lumpur nan berkah.

Gunungkidul, 1 Maret 2017

Tentang penulis: Anik Susanti, seorang karyawati. Ia tinggal di Gunungkidul, Yogyakarta. Beberapa karyanya dalam antologi bersama. Belajar sastra di KOMSAS SIMALABA. Aktif mengirimkan karya di www.wartalambar.com.



PUISI-PUISI NURIMAN N BAYAN

CATATAN DI PELABUHAN SUNYI

Aku tahu, pagi adalah tempat kau menjemput senyum
mencatat langkah matahari
dan menyimpan peluhmu di selokan petang.

Dan--- 

aku pun tahu, sore adalah waktu kau munutup senyum.

Tetapi bertilam maaf, aku lupa
kalau perahu pelayaranmu lebih cepat
menyembunyikan manis tawamu
hingga hanya kata-kata angin
menampar telingaku
bahwa Lautan Maha Luas telah merangkulmu.

Ternate, 27 Februari 2017.


MATAHARI DI PERADUAN

Bulan telah mendarat 
semalam
menikam dada tanah 
hingga terpecah menjadi dua.

Dan- 

di siang ini, matahari di peraduan
menguatkan ingatan pada kisah kisah silam
tentang ranjang sandiwara
yang melukis tragedi tak berklimaks.

Sungguh manusia
kalau terlalu dipercaya
siasatnya membinasakan keyakinan.

Ternate, 27 Februari 2017.


PAGI DI GAMALAMA

Semenjak matahari mengintip tubuh Gamalama
embunpun melompat-lompat
mencari tempat persinggahan
sementara aku, duduk manis
menyeduh kopi pagi 
dan menarik batang pikir di tangan.

Di balik pintu pagi, ada ingat 
pada hari hari yang pulang
ketika pandangan memetik
langkah kecil para pelajar
berkepergian ke roma.

Ternate, 27 Februari 2017.


PAGI DI TANAH MIRING

Masih pada tatapan kemarin
perjalanan ini
bertandang di tanah miring.

Ada denyut menjejaki kepala
mendengkur memukul
hilang pagi
entah berapa utas lagi tergiling
tapi lautan maha luas.

Ternate, 24 Februari 2017.


MATAHARI DI BUKIT PERSINGGAHAN

Selepas malam membuka mata
sore pun pulang ke pembaringan
sedangkan lelaki berbaju merah itu
tetap duduk di bukit persinggahan
menghitung langkah matahari.

Ada gelisah terlampir di wajahnya
entah cerita apa
kaki Gamalama menjadi saksi
berjumlah purnama melukis habis.

Sementara aku, laksana angin
hanya rasa pada aroma.

Ternate, 25 Februari 2017.


SELAMAT JALAN PUISI

Walau berjuta kali, kau menanak luka
kau tetap puisi terbaik
yang tak sekedar hidup di dunia kenangan.

Sebab kau telah mengajariku putaran kipas angin 
dan laptop yang kucumbui setiap waktu.

Ya, kaulah puisi terindah
yang pergi, seusai aku menyeduh segelas teh manis
dan merapalkan luka Halmahera.

Selamat jalan puisi!
Semoga mimpimu lebih damai
dari dongeng tuan dalam antologi permisi.

Ternate, 24 Februari 2017.


CATATAN GERIMIS

Ketika gerimis tumpah membasahi gigilmu
aku tersadar, berjumlah nikmat yang
telah Tuhan turunkan dari langit.

Maka biarlah, sekali-kali aku lebih ramah memelukmu,
walau kadang kadang kita tak seirama.

Ternate, 24 Februari 2017.


SATU PUISI YANG PULANG

Sebab kendaraan rasa kita
mengadu pada setapak yang berbeda.

Maka pergilah
ke langit bahagiamu
biarkan doaku mengiringi perjalananmu.

Ternate, 24 Februari 2017.'


Pentang Penulis: Abi N. Bayan tinggal di Supu, Kec. Loloda Utara, Kab. Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara. Abi N. Bayan. Ia Pembina Komunitas Parlamen Jalanan Maluku Utara (KPJ MALUT), dan tergabung di Gerakan Mahasiswa Pemerhati Sosial (GAMHAS-MU). Mempublikasikan puisi puisinya di media online www.Wartalambar.com.



PUISI PUISI SUYATRU SP

GARUDAKU MENANGIS


Kita baru tersadar saat ujian berat menerpa 
Kita baru mengerti arti luka mendera
Kita baru memahami arti syukur sesungguhnya
Kita baru mengetahui hakikat kebersamaan

Kita seperti tangan bukan seperti mata
Kita saling mengingatkan bukan menghujat
Kita saling berpegang tangan bukan mendorong ke jurang
Kita saling menjaga bukan meluka

Langit masih belum berat selimut mendung
Hujan belum tertumpah curah mengguyur bumi
Badai belum datang memporak-porandakan negeri
Kita perbaiki wajah silaturahmi

Lambang negara masih burung garuda
Pancasila melekat erat di dadanya
Bhinneka tunggal ika tertulis di pita dalam cengkeramannya
Falsafah tertinggal kesedihan ibu pertiwi menyapa

Patriotisme kembali pahami negeri bukan mencaci bangsa sendiri
Nasionalisme makna sejati bukan menghancurkan negeri 
Dwi warna maknai kibarannya nan suci bukan hanya sekadar hiasan di angkasa
Kekayaan alam Indonesia untuk dinikmati semua rakyat bukan hanya konglomerat

Ujungbatu-Riau, 21 Februari 2017


DIKSIKU TELAH KEMBALI

Hujan telah berhenti menghajar bumi
Cerita duka sirna berselimut kabut. 
Bayu tak berbisik sendu
Tiada luka menggores jiwa.

Senyum rembulan di langit pekat, 
membawa kabar segenggam harapan. 
Cerita bintang kerlip berbisik lirih, 
jemput titik cahaya di ujung asa.

Jangan ragu lewati kerikil tajam 
Cinta tak pernah jeda di pelataran rindu
Jerat Diksi tiada mengikat rasa
Mengalir pelan menyentuh larik kata

Menafsir makna menumpah tanda
Bercanda menuju mimpi jejak aksara
Genggam asa agar tiada ragu meniti koma 
Menuju tanda titik cita

Aksara berserakan bebas
Memungut diksi di antara sunyi di kaki langit larikku.  
Menata kekata dalam sejumput syair yang terurai. 
Aku kembali tenggelam di secangkir kopi makna. 

Ujungbatu-Riau,  24 Februari 2017


KRITIK YANG KUNANTI

Lemas jiwaku tanpa sentuhan argumenmu. 
Harapanku satu kritik bersarang pada tingkah kekataku. 
Saranmu memberi makna pada tubuh larikku  memvariasikan tafsir rindu di kalbu.  

Netraku bersitatap setiap diksi yang tercurah di bumi sajak.  
Aku mengagumi tuas larikmu yang terus bergerak. 
Denyut nadi mengalirkan darah syair menyeruak
Hingga laku mengimla garis lurus nada menegak 

Aku ingin satu coretanmu menjejak tanya memoles wajah polos puisiku
Bukan menuai pujian simpati yang memagari hening aksaraku. 
Curah rasa sajian hambar duka menggigit jiwaku
Beri aku waktu bergumul manis menata sajak di meja puisi 

Ujungbatu-Riau,  24 Februari 2017


Tentang Penulis: Suyatri Yatri DP Lahir di Padang Siminyak  tanggal 24 Agustus 1979. Bekerja di SMP dan aktif di PKBM. Tinggal di Ujungbatu Riau 


Tidak ada komentar