Semarak Puisi Malam Minggu (Edisi ke-50)
SEMARAK PUISI MALAM MINGGU (edisi ke-50)
DARI REDAKSI
Kirimkan puisimu minimal 5 judul dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Puisi, biodata, foto bebas dalam satu file. Tidak boleh terpisah. Pada subjek e-mail ditulis SEMARAK PUISI MALAM MINGGU_edisi ke-51 (malam minggu selanjutnya). Naskah yg dimuat akan dishare oleh redaksi ke group fb Silaturahmi Masyarakat Lampung Barat (SIMALABA), SASTRA KORAN MAJALAH. Redaksi juga akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 1 bulan puisimu tidak dimuat maka puisi dinyatakan ditolak. Salam kru redaksi.
LEMBAR KARYA BERSAMA
PUISI PUISI ANIK SUSANTI
BINASA
Tentang denyut jantung saat didetakkan, pula gerak kedip mata. Pada napas, bukan kuasa insan.
Yang lindap, yang desau, pun berdesir. Rasa-rasa itu menggelincir, kami semakin pasir. Perjalanan fana menguasai binasa.
Adalah tak utuh, pada kesempurnaan mata. Inderawi hanya pembatas saja. Dan hakiki sama sekali bukan kebendaan, ketika masuk merasuk dalam sajak Tuhan Yang Kasih. Tiada rintih.
Musim tak pernah berkelana, kita yang musafir. Waktu adalah usaha, dalam 'dunia binasa'.
Gunungkidul, 3 Februari 2017
BINASA II
Angin bukan lagi udara, tetapi makhluk yang sedang bercerita. Kepada pintu-pintu. Sering aku lupakan, tentang malam kerinduan telah kuintip dari jendela.
Ada hati yang membakar kesempatan sendiri. Karena kelindan nafsi. Waktu juga adalah skenario. Retorikanya sangat indah. Tapi pejalan menulikan diri. Ia takut kehilangan, penilaian yang menurutnya berharga. Pada setitik nan tampil bercahaya. Dan Tuhan menyebutnya rumah api.
Pejalan bermata telanjang hendak mengintip isi langit. Dia berceramah di mimbar-mimbar.
"Rumah Allah, berada di Mekah!"
Tapi, lupalah satu hal. Tuhan menunggu dalam hati yang dekat. Niat indah makhluknya. Seorang pejalan tersesat, mencampakan lurus arah. Memuja nama-nama fatamorgana. Alam binasa.
Gunungkidul, 3 Februari 2016
Tentang Penulis: Anik Susanti, lahir di Gunungkidul, Yogyakarta. Seorang karyawati yang hobby menulis. Beberapa karyanya dalam antologi bersama. Belajar sastra di KOMSAS SIMALABA. Aktif mengirimkan karya di www.wartalambar.com.
PUISI-PUISI RIRI ANGGREINI
SAAT MALAM MENDEKAP
Saat malam mendekap semesta, aku pun terhanyut dalam pelukan sang pujangga. Adalah Ia. Aksara cinta, yang dirangkum dalam bait, pondasi awal sebuah istana puisi.
Adalah Ia, yang buat sesuatu jadi bermutu
bisa jadi rindu, termanggu di penghujung malam yang kian sendu.
Bekasi, 03 Februari 2017.
DAUN PISANG
Sederhana, sejukkan kerlingan kala panas menyapa tanpa jedah.
Anggun melambai kala semilir membelai.
Tulus menghijau hiasi hamparan taman hati semesta.
Melegenda dalam syair dan nada.
Memori daun pisang kata sejagat bersuara.
Bekasi, 31 Januari 2017.
SINABUNG
Masih jelas, terpajang di ruang ingat, tentang amarahmu pada semesta.
Hawamu bergulir, menyapa sesakan dada dunia.
Dan-
saudaraku, terkapar di sana. Sementara aku, bermandikan air mata, di Sumatra bagian Barat.
Bekasi, 28 Januari 2017.
KUSULAM KASIH
Tuan, pinjam aku jarum hati, aku punya benang rindu. Ingin kusulam di malam minggu, jadi rajutan kasih yang bertepi.
Bermuara di dermaga pasangan abadi, ala Rama dan Shinta.
Bekasi, 28 Januari 2017.
BIARKAN BERKUNJUNG
Adalah rindu! yang membawa bungkusan rasa.
Berisikan kisah lalu
tentang kasih yang tak bertepi
yang menghujam halus hulu jantung, mencair, membulir hingga mendarat ke wajah, sedih!
Biar semua bertamu, menghiasi langit kenang, jadi teman kala sunyi, di akhir senja.
Bekasi, 29 Januari 2017.
Tentang penulis : Riri Angreini lahir di Padang Panjang, Kambang, Sumatra Barat. Masa kecil aktif di sanggar Randai Kambang Kunango. Selain itu juga senang mengisi waktu senja bersantai manja dengan sang Ayah, sembari menunggu tegukkan terakhir dari sisa kopi sang Ayah. Saat ini, menikmati hari di tanah rantau, Bintara Jaya, Bekasi, Jawa Barat.
PUISI PUISI ANDI IDENG
PELANGI TERSIPU MALU
Masihkah engkau ingat, pohon asam yang berdiri kokoh, di tepi jalan desa kita?
Aku saat ini bersandar di pohonnya, sambil bermalas-malasan sejenak, dari seharian, memungut kepingan rupiah yang berserakan.
Dulu, tiap hari minggu sore, kita sering mampir di tempat ini, ada banyak kenangan, dan cerita tentang cinta kita, sesekali waktu ada tawa menggema, menghiasi di sela candaan.
Hingga pelangipun tersipu malu melihat tingkah kita, beranjak pergi, seiring bias senja beransur buram terlumat petang.
Soppeng Makassar, 29 Januari 2017
LISTRIK PADAM BERGILIR
Gelap menjelma di kesunyian malam, kala giliran kena padam bergilir, alih-alih hemat daya, cegah beban membengkak, mengendap, merambah pelan, menuju dinding posisi lentera bergelayut.
Rahasia umum dana siluman mengalir, hampir dari empat penjuru dunia, entah dimana bermuara kini, namun terang masih kerap terusik gulita panjang, yang setiap saat bertandang buyarkan selera makan.
Gali lubang tutup lubang, sudah tradisi para punggawa, dengan hutang menggunung, negeripun berkembang dalam bayang morgana.
Sampai kapankah semua ini akan segera berakhir?
Rakyat bisa tersenyum manis, saksikan negeri berdaulat penuh, tanpa tekanan dari para cukong lintah darat.
Soppeng Makassar, 30 Januari 2017.
PILIH AKU JADI KEKASIHMU
Lidah-lidah lihai bertutur kata, dari mulut manis terdengar suara indah getah-getah penjerat.
Adalah aku!
Sang musang berbulu ayam, senantiasa rajin menyusuri pemukiman kumuh, demi untuk tebar pesona.
Bukankah seperti aku, yang engkau inginkan nona?
Ramah sikapku, segudang janji-janji siap aku ikrarkan untukmu, maka tepislah segala keraguanmu terhadapku.
Dan ... pilihlah aku jadi kekasihmu, agar di kemudian hari, tidak ada kecewa serta penyesalan yang mendalam, jika kelak aku khilaf dan mengingkari kicau prenjak yang pernah kuperdendangkan.
Soppeng Makassar, 30 Januari 2017.
TANGGALKAN KERAGUANMU
Buanglah rasa mindermu!
Bukankah kita semua sama dan bersaudara?
Jangan pernah takut dengan kesalahan, karena itu wajib di awal proses belajar mengepak sayap-sayap yang rapuh.
Dan ... jika ada keinginan pecahkan kerasnnya karang, maka tanggalkanlah segala keraguan, yang hanya akan menjadi pembunuh karaktermu.
Mulailah melangkah dan kobarkan api semangat, galilah potensi yang ada dalam diri, agar dimensi bakat yang terpendam akan segera terungkap, untuk perisai hidupmu di masa akan datang.
Soppeng Makassar, 31 Januari 2017.
KEMBALI MERINDUKANMU
Mengalun syahdu tembang kenangan, di sela bayangmu hadir mengusik sepiku.
Seakan ingin menyinari kalam hati yang gersang, ketika kukembali merindukan canda tawamu seperti dulu, yang mampu damaikan jiwa.
Namun, semuanya tinggal masa lalu yang menyisahkan beribu ilusi tentangmu, yang tak mungkin lagi terengkuh kembali dalam penyatuan hati.
Biarlah, kunikmati kesendirianku, walau ada segelintir rasa yang mengganjal, namun tetap aku panjatkan doa-doa terindahku untukmu.
Semoga senyum manismu, senantiasa tetap merekah dan bahagia di sana, walau bukan lagi bersama dengan diriku.
Soppeng Makassar, 2 Februari 2017.
Tentang penulis: Andi Ideng tinggal di Jalan Watanlipu, di samping SD negeri 35 Tajuncu, no 59, kabupaten Soppeng.
PUISI PUISI ROMY SASTRA
SAJAK JEJAK MEMORI
Wahai angin nan berhembus lirih membawa rindu pada daun-daun kering, di sini bisu menatap gemulainya ayunan layangan, hampir saja debu menutup netra nan layu, hanya cicitan sriti menyapa di ketinggian, kembalilah pulang wahai rama-rama menari, hari telah petang.
Siulan camar di pantai memanggil gelombang riak bergoyang menepi, dia yang ingin kembali mencari jejak memori, ambai-ambai tenggelam tertinggal pada kenangan silam, bahwa pasir tak lagi putih.
Sinopsis kasih nan usang menitip seuntai sajak lara, pada tinta yang hampir pudar warnanya.
Kepada senja di bukit cemara, bulan enggan titipkan pelita menerangi mayapada, dada langit masih mendung menyapa malam,
ironis, rinai telah jatuh duluan basahi pipi, bahwa kehadiran asmara nan berlalu hanya fatamorgana.
Dik, Januari terakhir tahun ini
sisakan harapan pada Pebruari,
jikalau bianglala tak lagi berwarna pada senja, bukan berarti lembayung tak disinari aurora cinta.
Lihatlah dik, gugusan kasih masih menari pada senyuman rindu yang terabaikan, ketika kasih berbunga mesra kembali di jemari ini jangan lengahkan, tatap mataku! Masih ada diary kita merupa, dan
sentuh juga dada ini, masih berdebar menyebut namamu.
Jika Pebruari nanti masih mendung, hujan turun kembali. Jangan embun ditumpahkan di daun nan layu, biarkan kearifan alam menyuburkan dendam rindu tak kunjung sudah untuk kita, menyirami gersangnya laju yang pernah kita lalui.
Dikau yang ingin kembali pada noktah hati yang tersisih, oleh cabaran nan pernah kau hidangkan, kau memilih aku dan dia, kembalilah dik! Ke jalan yang pernah kita rintis berdua, tautkan hati, genggam erat jemari kita, tak ingin berpisah kedua kalinya.
HR RoS
Jakarta, 28/01/2017
#Quotes
Jangan takut dalamnya lautan
jika mau tahu mutiara yang asli
maka, harus berani meninggalkan ragu.
Sebab, mutiara yang asli
ada di dasar laut
kalau ingin melihat mutiara yang asli, telanjanglah!
Hidup harus berani basah menyilami meninggalkan perahu itu.
HR RoS
Jakarta, 29/01/2017
#Patidusa
KENDURI ZIKIR HATI
Kepada wali nan bersembunyi
Detak nadi memuji
Nyanyian jiwa
Tasbih
Pesta panggung kerlip cahaya
Santri sufi hening
Dimabuk tuak
Illahi
Zikir
Majelis hati
Kenduri hakikat diri
Musyafir dahaga mencari cinta
Syariat tarikat hakikat makrifat
Jenjang fana tajali
Dari takhali
Tahalil
HR RoS
Jakarta, 31/01/2017
Tentang penulis: Romy Sastra, Putra Berdarah Minang Sumatera Barat. Tinggal di Pesing Koneng RT 8/2 No: 55 Kelurahan, Kedoya Utara, Kecamatan, Kebon Jeruk-Jakarta Barat.
PUISI-PUISI ABI N. BAYAN
NAMAKU
Bolehkah, aku mengintip
ke dalam dadamu
melihat namaku saja.
Sebab, purnama bilang
aku tinggal kenangan.
Ternate, 30 November 2016.
NARASI KAMPUNG SEBELAH
Setelah menghitung sengatan matahari siang tadi
aku teringat berjumlah cerita dari kampung sebelah
tentang pupeda yang kuseduh dengan ikan kua kabur
juga pisang goreng yang terlampir di meja setiap pagi.
Aku ingat betul siang itu
di mana kami sekeluarga duduk berhadapan
menyeduh serangkaian makanan dengan perasaan yang damai.
Dan di sore hari, aku ke pantai
menghitung butir-butir pasir
yang bertebaran di Teto Babao hingga ke Kampung Tengah.
Di sore itu
satu demi satu ombak-ombak pecah
menyapu bibir pantai.
Tetapinya, berjumlah waktu mesti kusisakan di kota tua
menghabiskan kertas-kertas bermargin yang masih menumpuk.
Menunggu masa akan menuai.
Ternate, 13 Januari 2017.
Kutipan : (Ikan kua kabur dan pupeda) adalah salah satu jenis makanan khas Maluku Utara. (Teto Babao) adalah (Batu Timbul), di pesisir pantai Desa Supu, Kec. Loloda Utara, Kab. Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara.
IZINKAN NARASI INI MENGALIR
Jika kata-kata habis memakan rasa
apakah kau masih ragu?
Bahwa seekor merpati, yang terpelihara di kampung itu
adalah milikmu.
Baiklah,
bila ada ini-itu di dadamu
tapi izinkan, narasi ini mengalir
mendamba lautmu
dan mengeja butiran pasir yang singgah di hulu itu
sebagai pelengkap perjalanan, menuju kepada-Nya
sebab kau, adalah kata yang hilang dari puisiku.
Kutunggu jawabmu, di biografi kata
walau aku mesti bertarung, dengan sengatan matahari
tapi ingatlah, segala rasa membutuhkan kehendak
meski takdir sudah dibentangkan di jalan itu.
Maka, sewaktu-waktu, duduklah di meja puisi
kita bertukar mata rasa
dan mengusung bahasa, pada roma yang lebih jauh
karena ini alam kecil, pengukuh rumah kita
demi mental yang tangguh
karena pecah-belah, adalah efek mental
yang tak kuat dilindung badai.
Ternate, 01 Februari 2017.
TERIMA KASIH JANUARI
Selamat datang Februari
semoga kebaikan dan kasih sayang selalu menyertai kita
walau terkadang dilindung badai.
Tetapi, mari kita merebah diri sejenak
dan menghitung berapa anak tangga
yang akan kita jejaki
juga berapa biji-biji kalender
yang telah kita tuai air kebaikan
sebab membenahi diri dan meluruskan pori-pori yang kusut itu lebih indah dari sebuah cita-cita tanpa pijakan dan rencana yang tepat.
Moga-moga, Yang Maha Indah
selalu mempuisikan hidup kita
walau tak seperti pantun dan gurindam.
Terima kasih Januari!
Pulanglah sayang
dan rapikan selimut tidurmu
agar malammu lebih nyenyak dari sebelumnya.
Ternate, 1 Februari 2017.
PETIK FAJAR DI LANGIT FEBRUARI
Apa kabar Februari?
Baik.
Alhamdulillah, setelah sekian lama kita berpisah
dan berjumlah purnama angkat kaki
akhirnya, kita dapat bersua kembali.
Baiklah-
sepertinya, aku harus jujur
bahwa di hari-hari yang lalu
aku hanya bisa bersua dengan rindu
dan kata-kataku habis dimakan puisi
hingga beranda hatiku dipenuhi
tumbuhan yang maha puisi.
Tetapinya, aku belum bisa memetik fajar di langit Ternate
maka ijinkan aku, memetiknya di langit-langit hatimu
karena Januari sudah kutidurkan, di ranjang sajak, dengan nyanyian Negeri Pertiwi.
Ternate, 01 Februari 2017.
ADA APA DENGAN NEGERI INI
Pancasila ditanam berpohon kumbang
UUD disemai mengakar tumbang
NKRI dirawat berbunga mandul
Bhinneka Tunggal Ika digarap berbuah tapal.
Ada apa dengan negeri ini?
kebenaran ditanam berbulu androgini
keadilan disemai yang lain berkelahi
kedamaian ditegakkan gunjingan menganga
kesejahteraan diminta penindasan menyangga.
Ada apa dengan negeri ini?
orang kaya tertawa sinis
orang miskin membelah tangis
orang besar kebesaran
orang kecil kekecilan.
Ada apa dengan negeri ini?
pejabat kebejatan
rakyat kelaparan
kebun ditanam penggusuran berjalan
krisis menari kritisi berpelarian.
Ada apa dengan negeri ini?
janji diumbar kebohongan menjalar
agama dibenarkan sekuler bernyanyi
Tuhan disembah di istana terkapar
tuan duduk rakyat diduduki.
Ada apa dengan negeri ini?
presiden terpilih insiden menyengit
gubernur tersenyum rakyat menggiur
bupati kurang hati tangis rakyat memengat
kepala desa ingin duit rakyat tersindir.
Ada apa dengan negeri ini?
Supu-Ternate, 10 November 2016.
SEJAK MEDIA MELIPAT KATA
Aku belajar menelan api
membelah-belah dada kata
mengunyah-ngunyah omong kosong.
Dan-
berhati-hati memakan fakta
juga, pandai-pandai meniup asap.
Sebab, jika kejujuran sudah dipandang unsur kebodohan
dan kebohongan sudah bertakhta di atas besarnya rupiah
lidah di mulut, tidak lebih berbisa, dari mulut media.
Ternate, 12 Desember 2016.
SUDAHLAH NONA
Berhentilah! Kita bertikai Nona
hari terlalu sore, untuk kita saling menyalahkan
sementara masih banyak butir-butir mimpi yang mesti kita pungut.
Sudahlah Nona! Jangan ribut lagi, tenanglah. Dan mari kita mencari burung keadilan yang hilang di batas udara.
Ayolah Nona!
Sebelum sepasang gagak datang mencabik-cabik tubuh kita
sebab, menunggu tidak lebih baik, dari sebuah pertikaian
yang dapat kita selesaikan.
Ternate, 14 Januari 2017.
INDONESIA MENANGIS
Aku datang kepadamu
di kala ombak tak lagi bersahaja dengan buihnya
untuk melepas sebumi rindu yang lama tersemai
di sebuah hulu yang tak bernama.
Maka genggamlah, tanganku erat-erat!
Dan jangan lepas sebelum terang
sebab di bumi gelap dan terang sedang bertengkar
hingga ada yang menindas dan ada yang tertindas
ada bejat dan yang lelap
ada yang duduk dan ada yang diduduki.
Indonesia menangis!
Jiwa dan raga terpecah-belah.
Dan-
di Maluku Utara, ramah menyulam bara!
Ketika laut dan tanah
terjerat kong kali kong.
Gane Raya bersaksi!
Morotai menjerit!
Tetapi, aku tak sudih terserat gombalnya angin asing
sebab puisi akan pulang pada hulunya
dan cermin akan memukul wajahnya sendiri.
Ingin apa tuan!
Ternate, 30 Januari 2017.
Kutipan: (Gane Raya) adalah pemukiman/sejenis desa yang di Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara.
MUSIM HUJAN DI NEGERI KAMI
Di musim hujan kali ini
berapi-api rindu disusun
gerimis dihitung
melengkapi pori-pori yang bolong.
Adalah Ia, yang menunggu ayah memberi kecup manis, pada suara yang paruh, meminta roti keadilan.
Bukannya tanah kita subur dan kaya?
Biji dibuang tumbuh emas
tapi tak sekaya tuan di istana.
Biarkan angin bertanyalah kepada Iayang,
ingin menggadaikan pulau.
Hai tuan, lalu berkuasa mencari apa?
Sepertinya Ia tuli, sebab telinganya masih tertutup daun pisang.
Baiklah, sekedar tertawa tiga pukulan
untuk merapikan senyum yang ingin layu.
Ternate, 02 Februari 2017.
Tentang Penulis: Abi N. Bayan tinggal di Supu, Kec. Loloda Utara, Kab. Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara. Abi N. Bayan, Pembina Komunitas Parlamen Jalanan Maluku Utara (KPJ MALUT), dan tergabung di Gerakan Mahasiswa Pemerhati Sosial (GAMHAS-MU). puisi-puisinya dipublikasikan di media www.Wartalambar.com.
PUISI PUISI KHALIS
SURATAN
Memacu harap selangit
Jiwa raga semampu berjuang
Takdir berkata lain, kesuksesan tiada bertandang
Segala yang dicita roboh dan tumbang
Nasib malang bukan pilihan
Namun semua sudah suratan
Musnah segala yang diimpikan
Pahit hidup dirasakan
Andaikan tiada sinaran, sudah kubuang nyawa di badan
Realita ternyata tak secantik hayalan
Untung masih ada iman, pasrah seluruh serah pada Tuhan
Semoga diberi kesabaran dalam menghadapi segala kegagalan pun cobaan
@Borneo 30-12017
BAGAI MAJNUN DAN LAILA
Sepanjang jalan yang ditempuhi berdua
Setia sentiasa resmi di dada
Dalam talian yang sejati
Pada sebuah janji yang terucap sakti
Cinta temali dua jiwa
Meski berjauhan raga, hakikatnya dekat jua
Tersebab dalam cinta tiada jarak pun waktu yang dapat memisahkannya
Cahayanya mampu memadukan dua sukma
Meski cobaan bertandang
Walau pedang tajam menghadang
Cinta di hati kan selalu berdendang
Walau hinaan dan fitnah membahana
Tiada surut setia di jiwa
Seperti Majnun dan Laila
Hancur dunia, kita akan tetap utuh dalam cinta
@Borneo 30-1-2017
DEWI
Dewi
Kau alamat cintaku
Aku memuja seluruhmu
Matamu nan kejora
Parasmu yang purnama
Acap kali membuat jiwa terlena
Bibirmu yang delima selalu menyulam senyum paling madu
Menitipiku berjuta rindu
Rambut hitammu indah tergerai
Membuat degup jantung berderai
Kau pesona yang nirmala
Anggun tiada tara
Dewi, aku mencintaimu, hanya namamu bersultan di kalbu
Suaramu nan merdu bak alunan Harpa, lembut membelai sukma
Aku mendambamu yang Terpuja
@Borneo 30-1-2017
KOPI
Di malam yang lusuh
Rasa dingin meraba tubuh
Kau kuseduh
Kehangatan menyeluruh
Seketika kedinginan menjauh
Pada pagi kunikmati secangkir kopi
Aroma yang istimewa, sehangat pandang pertama
Amboi! Nikmatnya
Kau penyemangat di saat kerja
padumu satu lukisan pahit manisnya kehidupan
@Borneo 31-1-2017
LILIN
Putih dan kecil
Dia, demi memberi terang
Direlakan dirinya dinyala api
Dan, dia tulus berbagi
Meski cedera diri
Serupa pengorbanan yang ikhlas, tanpa meminta balas
Bagai cinta sejati memberi sepenuh hati
Tanpa syarat
@Borneo 31-1-2017
PUISI PUISI ENDANG
FEBRUARI MANIS
Telah datang dia, biji kalender yang meretas senyum, juga cinta di tiap tetes sentuhan hari.
Manisnya, terbingkai oleh kelopak bunga yang mekar dan mewangi.
Dan ombakpun menyambut, dengan penuh irama tarian hati,
Senandung cerita singkat tentang kita dan rasa.
Cahaya purnama menjadi saksi Febuari terbungkus indah.
Rumkit polri, 1 Februari 2017.
SELAMAT TINGGAL JANJI
Ikrar hanya sampah, biusnya menekan jiwa, pada hamparan hati, penyatuan hasrat, kala itu.
Tarian alam sempoyongan, nada sumbang kabur, pepohonan tumbang tersapu badai.
Makin ternisan sebuah kata, pencuri hati, di sudut bisu.
Lantas untuk apa air mata tahta ini membentuk?
Ilalang terpaku, diam membisu, kisah alam menjadi abu.
Jakarta, 1 Februari 2017,
JANUARI MERATAP KATA
Masih tersimpan kata, pada bulir biji puisi, menelan habis semangatku, terlindas tak ampun.
Ujung kematian kemarin masih basah, lantas haruskan aku kembali ke titik awal ?
Koma panjang, menguras air mata, terkuliti hawa kuburan, bukan penyakit, tapi pintalan kata tuan, menghempas aku dalam jurang.
Kali ini, mampukah aku menjalani pluit cinta?.
Jakarta, 31 Januari 2017.
UNTUKMU
Rajutan kasih ternisan, mahkota jingga hanyut oleh air mata, kau hanya tersenyum puas, melihat si pincang terkuliti cinta.
Ujung Januari pedih jendral, bangkit dari kematian, tertindas aroma dusta.
Miris tuan!
Badai masih menyapa, terik matahari membakar jiwa, reranting patah berserakan, dedaunan gugur, ombak lebih kejam menamparku, kotak semangatku tiris.
Ah tumor ini hanya menggigit sedikit, sedang kau menelah jiwaku, puan.
Jakarta, 31 Januari 2017.
GERUTU SI KECIL
Indonesiaku menangis, terlindas api kebodohan, keserakahan dan kemunafikan.
Tertutup mata hati penguasa, haus akan sebuah hormat, membentengi nurani, menghisap habis jelata.
Lantas kapan negeri ini akan bahagia?
Jika sudut kota terlampir pengemis jalan, menebar di setiap jantung kota.
Dan pemulung jalan, meneriakkan umpat serapah kepada penguasa, sedang punggung mereka telah tuan koyak, harga pati terbayar nyawa, inikah wujud?
Ah sudahlah, kita si kecil, mau apa berteriak jika kuping mereka tersumpal tahta, sia-sia, diam sajalah menjadi mangsa.
Jakarta, 31 Januari 2017.
SALAM FEBRUARI
Semisal biji kalender luput mengawasi puisi Januari, maka lengkapilan Febuari, karena Jakarta menantimu.
Sedang kuncup bunga belum bermekaran, hujan terus saja mengguyur bumi, lantas akankah ada keindahan kelopak?.
Tetapi mari kita merebah, menelusuri jalan yang berongga, menutup dan memperbaiki.
Namun bisakah, sudah retak dan pecah, syair berserakan dan akan di terbang angin.
Sudahlah hari, tak baik berkeluh, lembar terbuang, ganti yang baru, usangnya jangan terpikir, biar menjadi sampah di pagi hari.
Jakarta, 1 Februari 2017.
Tentang penulis: Endang A, di Kramat Jati Jakarta Timur, Kerja di UPK Badan Air Dan Taman Kota, ia mempublikasikan puisi-puisinya di media online www.wartalambar.com
PUISI PUISI FARHAN ARYA
LUPUT DARI GENGGAMAN
Adalah kau tuan perusak, penghancur jantung, pematah hati, tak bernurani.
Dan dia, tikus got cerdik, bersembunyi dalam aksara, pecundang tengik, melukis umpat dengan sajian tubuh puisi.
Lihatlah bidadariku, terkapar kembali, nadi melemah, tangispun membanjiri.
Ya Rab, asaku tiris, tolonglah!
Pagi itu, jam delapan empat puluh lima menit ... mendung datangi mataku, akak sembuhlah, aku sayang padamu.
Jakarta, 31 Januari 2017.
NEKAT
Hadir di segitiga bermuda, mengangat parang, siap meluncur ke medan laga.
Pengecut mencari pengikut, ribuan maju, kanan, kiri, depan, belakang.
Aku tak gentar, akan kulibas, sudah berang aku, darah mendidih, majulah kemari.
Aku hanya punya nyawa dan emosi, demi jantung akak aku ada di deret paling depan, sebab bukan pecundang, tapi pejuang seperti akak.
Napasnya kembali turun, tergeletak mengiris hati, muram wajah adik, duka merajai.
Sembuhkanlah dia Ya Rab!
SMP 24, 31 Januari 2017,
CINTA DUSTAMU
Bukankah manis cinta itu sayang, lantas haruskah kau nodai dengan dusta, masalah jangan kau buat lagi, manis.
Akak sudah melemah, biarkan dia kepakkan sayap, terbang bersama damai, jangan kau sekat tuan.
Si nakal bicara kata, berharap terbaca oleh rasamu, menjelmalah menjadi manusia, bukan iblis yang menghunus jantung yang baru hadir.
Tarianmu menebar bisa, racunmu memasuki rongga dada, pergilah, sebelum pedangku menebas batang leher anda, menjauhlah.
Sebab kotak sabarku bisa melampaui batas.
Jakarta, 31 Januari 2017.
TEMAN AKAK
Pikirku
Membawa puisi ke taman
Dapat menghiburku, ranting asaku tipis.
Datangku
Penuh air mata, melas tak tersambut,
Pudarlah sudah
Sedang ombak menghempasku
Menguliti hati
Tercabik tak berakhir
Malang
Adakah sang surya memahami seonggak rasa?
Jakarta, 29 Januari 2017.
HARAPANKU
Jauh di dalam sudut gelap, dia bangkit, tersenyum, mengomel, bukan ini ya Rab ....
Air mata telah membanjiri sudut kota bisu, dedoa tak putus, harapan tiris, duka membuncah, bangunlah kak.
Ratusan suntik, ribuan obat, silih berganti, sembuhlah malaikatku sayang.
Duka kami seluas samudera, masihkan Allah menambahkannya hingga melumatkan sebuah asa?.
Dan aku hanya bertemankan, dinding kosong, tak ada tempat untukku, berbagi cerita,
Semalang inikah aku jika kau tak ada, bidadariku?.
Jakarta, 29 Januari 2017.
WANITA TEGAR
Dalam sepimu merangkai sejuta makna hidup, merangkainya dalam dedoa.
Piala dunia hadir di tanganmu, dengan percikan semangat yang tak mati.
Senyummu menghias setiap laramu datang, memikul segala beban dengan rasamu pada tetesan kenikmatan hidup, sungguh kau adalah bongkah batu yang sulit di koyak masa.
Dedaunan iri, rantingpun malu dengan pongahmu yang tak patah, ombak juga lelah menghantammu, sungguh kau wanita terhebat menurut pandangku.
Dalam pedihmu masih ingat penderitaan kami, dan kau kesampingkan segala nestapamu, sungguh kau bentuk paling indah di muka bumi.
Tak putus kami haturkan segala hormat untukmu bundaku.
Jakarta, 26 Januari 2017.
HILANG
Rona merah menghiasi paras cantik maya, desahan napasku sempoyongan, naik turun.
Keindahan sempurna ciptaan alam, sang banyu memercikan air tanda setuju.
Belum kelar jua nikmati pujian alam, kau lenakan aku, pada masa usang berwajah basi, meronta tak tau diri, dasar kau pecundang mimpi.
Hilang sekejap mata, hatiku hancur berserakan.
Jakarta, 26 Januari 2017.
HAI TUAN PEMILIK NONA
Lembar basi, terkuliti mimpi, mewangi semerbak, lalu hancur berserakan.
Kisah cinta, ternoda dusta, memainkan pedang penghianatan di atas altar.
Hai tuan pemilik nona, bukan aku penjebol bulan, hanya merebah sesaat lalu dia menikam.
Lantas mengapa pula tuduh aku, bermain nista di antara ilalang, yang menganga menanti kejora.
Wah kau beri aku getah memilukan pada hasrat tak bertuan.
Jakarta, 31 Januari 2017
KEJENUHAN PUISI
Bulir bijinya tak lagi meretas, terlepas keluar pintu kejenuhan puisi.
Kata berhamburan keluar, tapi tak makna, lahirkan sampah, berbau anyir dan aneh.
Syairku ternisan di sudut kota, kosakata tak terbaca dan sulit di pahami, membusuk dan kubenci.
Ah suram diksi, habis melebur keluh tak berkesudahan, kubiarkan saja terbawa angin.
Hai hujan ... berikan aku siraman mautmu, bosan akan aksara menghimpit.
Jakarta, 1 Februari 2017.
NONA
Wajah cantik, pipi tiris, hidung mancung, rambut sebahu, amboy cantiknya.
Gemulai liukan tubuh, bak gitar spanyol, keindahan pesona kulit nona luar biasa.
Bermanja manis, memainkan rasa, lalu kau hempaskan, malangnya aku.
Senyuman maut, pembawa bencana saku, memulai tingkah menguliti cinta, wah habis uangku.
Sayang ampuni aku, kali ini, carilah yang lain, sebab dompetku sudah berteriak, " Tolonglah daku".
Jakarta, 2 Februari 2017.
Tentang penulis: Farhan Arya, ia Siswa SMPN NEGRI 24. Semakin giat menulis sejak memiliki ruang untung Mempublikasikan puisi-puisinya di media online www.wartalambar.com
PUISI PUISI BUNDA SWANTI
LELAKI BERMATA PEDANG
Kilatan mata laksana tebasan pedang
Menusuk tajam telak di palung jiwa.
Mencari sebab mata penuh embun, coba menahan amarah
Senyum patah jiwa kosong terpagut tawa sumbang
Malam ini
Lelaki bermata kejora
Menemukan kembali
Mutiara belahan jiwa dalam rembulan.
Rokan Hilir, 2 Januari 2017
GELAS KACA
Bening dengan kilap cahaya
dan cantiknya tak jemu dipandang.
Sanggupkah gelas kaca
menahan panas kopimu dan dinginnya es.
Ataukah Ia terbanting tapi tak berderai
dan sakit tiada hancur
atau kokoh bagai karang.
Kamulah gelas kaca itu
dengan tangan kasar, kulit kusam.
Tapi-
jangan ditanya hatinya
sebab putihnya, sebening mata air
yang sejuk tentramkan mimpi.
Mauku, gelas itu!
Abadi
Rokan Hilir, 31 Januari 2017.
MAWARMU
Lelah menanti tidaklah sia sia
Senyum tulus perlahan kutemukan lagi
Diammu kemarin, buat gundah
Perih menyeruak dalam jiwa
Kutahu kau marah
Pada mawar putihmu
Yakinlah mawarmu tetaplah putih, suguhkan harum nan menawan.
Hanya terhantar pada sucimya rasa.
Bisik kumbang merajam, tak sanggup hindari duri
Siputih indah bestari, subur di taman surgawi.
Rokan Hilir, 27 Desember 2016
SURAT UNTUKMU
Dari balutan aksara, wanita tegar bergelar sarjana
duduk tercenung menatap indahnya barisan kata.
Bukan lagi muda, sebab sudah berkepala empat.
Hidup penuh sukacita
dijalani bersama suami dan anak tercinta.
Kasih tiada cacat cela
mengalir sesejuk aroma surga.
Dan-
kemarin, wanita itu jatuh kesakitan, mengeluh pada bayu.
Tentan rasa yang tercipta dari gubahan aksara, menggoyahkan sendi putih hatinya.
Ingin menjerit!
Dan marah pada rasa, tapi
Itu untuk siapa?
Jika Pencipta jiwa, yang memberi rasa pada wanita itu.
Berontak dengan asam kenyataan
akhirnya menang.
Sebab Ia! Adalah suami tercinta.
Rokan Rihil, 30 Januari 2017.
RASAKU
Awal aksara menggugah netra
Masuk menusuk telusuri jiwa
Telak menghunjam pada putihnya rasa
Mimpi tertindih dalam lipatan
Asa berbaur curiga gerogoti
Membius sampai lara
Tetap rela
Demi satu kata cinta
Rohil, 27 Januari 2017
Tentang Penulis: Swanti,Spd. AUD adalah seorang Kepala Sekolah TK MARDHOTILLAH Jalan Pelita KM 22. Bangko Lestari, Kecamatan Bangko Pusako Kabupaten Rokan Hilir. RIAU
Tidak ada komentar