HEADLINE

Puisi Karya Syarif Hidayatullah


PUISI PUISI KARYA SYARIF HIDAYATULLAH


CATUR DAN SEORANG PEREMPUAN
-KKN Kias

Seorang perempuan menggerakkan bidak-bidak cerita
Diatas papan berkota
Sembari berceloteh liris pada setiap jalan yang miris
Bahasanya diterjemahkan malam
Dengan sesekali bertanya pada musuh dan kawan

Aku memahami bahasa tubuhmu dan lagu sedih di sepanjang permainan
Bidak-bidak  catur ikut menari pada gerak yang tak dipahami pemikiran
Hingga malam yang larut
Atau siang yang temaran

Catur dan seorang perempuan
Semakin hari semakin mengerti pada langkah
Derai tawa dan suara para sahabat
Mempercepat malam, membuyarkan pikiran
Diatas segala muara
Aku masih menang

Kias, 11 Maret 2016


PEREMPUAN DALAM GENGGAMAN HP
-KKN Kias

Disuatu layar yang datar
Dimana hanya ada isi sinyal dan celoteh gambar berbicara
Hidup ini terlalu mudah untuk ditertawakan
Dilengkuk memori yang sering dihapus

Kita pernah bercakap tentang sunyi disuatu kelas yang bising
Hanya ada layar cahaya yang sering bersuara
Dengan hidup dalam genggaman serta saku baju
Slalu diisi pada listrik yang mengalir

Dan ketika petang begitu saja datang
Atau tempat yang terasa asing bagi kita
Perempuan itu mulai hidup dalam genggaman layar
Mensejarahkan tempat persinggahan

Diatas sudut cermin
Perempuan itu masih hidup dalam genggaman hp

Kias, 14 Maret 2016


MOKSA DAUN HIJRAH
-KKN Kias

Asmara menjadi kepingan hari diantara balutan mimpi yang dibawa tenggelam
Daun pun menjadi hijrah diam
Tentang sejarah moksa diakhir meja makan

Kali ini kita makan dengan sepi
Hanya sesekali bersua sunyi
Aku pun kembali menulis puisi
Dan mungkin kalian memainkan hati

Terlalu diam diantara anak-anak kecil yang datang
Membawa pesan keributan
Seperti terdakwa diseret kepengadilan
Adakah dua insan yang bersua ?
Atau kita salah bicara ?
Padahal diam telah membelokkan sejarahnya
Pada moksa daun
Yang hijrah ke dalam piring dan sendok sehabis makan

Biarkan kita hijrah kepada moksa daun
Dan senyum terakhir para sahabat

Kias, 19 Maret 2016


DI SEBUAH TRAGEDI
-KKN Kias

Setelah lelah mengantarkan matahari
Kadang-kadang berjalan ditepian senja
Sambil menyantap makan siang yang telah ditawan sore
Kembali bersama sunyi
Kecuali mereka yang masih bisa berlaku manja

Tragedi begitu cepat mempercepat diri
Meresahkan nuansa yang kini mulai gugup
Seperti lampu yang mencoba membakar dirinya
Ditengah tegap berdiri lilin
Bersama sinaran lampu senter yang mulai redup
Karena mempercepat bunyi
Dibising desa yang merona

Langit begitu saja menjadi gelap
Sesekali rembulan mengutip diujung senyum kerudung
Dan aku berharap tentang tragedi ini
Akan hilang bersama malam yang larut

Kias, 21 Maret 2016


JAMUAN TERAKHIR DI MEJA MAKAN
-KKN Kias

Ada semangkok jamuan terakhir di meja makan
Dari sisa-sisa sayuran semalam
Tak ada daging yang renyak ketika dikukus
Minyak lanjar menyisakan garam kemarin petang

Di meja makan
Tubuh kita beraroma ketan hitam
Yang telah dimasak dengan santan dan pandan
Dipetik dari pekarangan tetangga
Sedikit membekas didasar wajan

Aroma waktu begitu terasa dingin
Hujan turun secara perlahan
Bersama iringan musik ritme suara alam
Dan tabuhan terbang tak beraturan

Sedikit pertengkaran dijamuan meja makan
Mengebiri hati tentang arti seorang pemimpin
Akhirnya dibungkus keresahan

Apakah jamuan terakhir dimeja makan kita ?
Sebuah penyesalan atau akhiri pertengkaran !

Kias, 17 April 2016


TENTANG SEBUAH PERJALANAN
-Atul

Dipagi yang mesra
Kau membangunkanku melalui dering bising kamar
Pesan singkat pun masuk kedalam mimpiku
Hingga terjaga dari kantuk yang mendera

Diperjalanan itu
Kita bertanya rindu
Saat bertemunya dua waktu
Tepat ditempat yang dilewati pelangi

Banjarmasin, 23 April 2016


SENJA DAN CAHAYANYA

Ada jidat senja menawarkan cahayanya
Iklan pada televisi pagi
Gemuruh hitam langit malam
Dan sepasang kunang-kunang tersesat dimatamu

Malam telah selesai memburu cahaya bulan
Gemintang pun berlayar ke pelabuhan kecil
Berlabuh pada senja ke tujuh belas
Disuatu zaman yang telah bertutur

Ketika rindu adalah deretan pertama dalam abjad
Bioskop menjadi layar kosong tanpa suara
Diriuhnya azan magrib yang telah menjadi penantian
Melihat anak-anak mereka tersenyum manja
Ketika telah selesai menjalankan tugasnya
Hari ini

Banjarmasin, 9 Mei 2016


BERMALAM DI KOTA KEKASIH

Turut serta aku merindukanmu pada kota kekasih
Sebab mengenangmu adalah cerita paling indah
Yang telah dihantarkan malam
Pada bukit yang tak henti bertifa

Udara malam mulai terasa dingin
Bersama suara angin yang berhembuskencang di telingaku
Segala warna pesta bersama langit pekat
Dan entahlah pada pukul berapa hujan akan turun ?

Mungkin pada suatu mimpi
Aku akan bermalam di kota kekasih

Kias, 10 maret 2016


SEPOTONG BULAN MENGINTIP DI JENDELA

Bulan terpotong manja bersama malam
Sembari mengintip di sepenggal pesan
Pada layar dan adukan kata para sahabat
Malam belum terlalu larut
Untuk menterjemahkan kerinduan sang kekasih

Langit malam mulai terasa dingin
Mungkin para bintang akan bercerita pada hujan
Atau dipendam dikesunyian layar subuh
Bahwa bulan pernah ada disini
Mengintip disedikit jendela yang terbuka

Bersama rindu aku melukis bulan dijendela
Pada kata dan huruf yang berterbangan bebas
Bersama kunang-kunang yang pernah mampir dimatamu
Dengan dingin yang semakin luruh

Suatu saat
Aku akan memasung rembulan yang terpotong
Biar bersatu pada rindu yang terbuka

Kias, 13 maret 2016


AKU MELIHAT BULAN TENGGELAM DI MATAMU

Aku melihat rembulan tenggelam dimatamu
Seperti malam yang diributkan hujan
Angin mengembara kesegala juru
Awan malam semakin menghitam
Namun tidak untuk rembulan yang hadir di matamu
Aku slalu menginatnya bersama sebuah puisi
Dan rindu gerimis yang jatuh

Matamu adalah muara segala jawaban
Namun kita slalu tertunduk malu
Kau hanya bersandar di pungguk belakangku
Ketika aku menjadi imam perjalanan kita
Sebab matamu dan mataku adalah sebuah kediaman

Aku melihat rembulan tenggelam di matamu
Di jidat hari yang telah selesai melakukan perjalanan
Menangislah matamu di haru yang tak terkira
Dan seperti matahari pagi
Percayalah aku slalu ada di rembulan matamu

Kias, 10 april 2016


MALAM

Aku baru saja menelpon angin. Berharap bertemu bintang. Diseketika itu perjalanan terhenti. Seperti ada sebuah keresahan mengebiri lampu dapur. Padahal tak ada sinya perpisahan yang di sampaikan ketika senja telah datang. Teruslah ia memperasing diri ditengah rimba hitam.

Gemuruh suara kelelawar. Pekak elang malam. Melengkung indah di jidat aurora. Dan kita duduk ditempat bising ibu kota. Sambil menikmati secangkir susu dingin dan sepiring tempe kecap. Setelah kita selesai sholat isya di surau asrama. Tak terlalu larut kita bercengkrama. Kita pulang sambil memesan  sepiring nasi goreng dan setangkup roti bakar.

Malam akhirnya selesai
Ketika aku mengantarmu pulang

Bantuil, 4 mei 2016


NYANYIAN SEORANG BOCAH

Dari berbagai sudut seorang bocah bernyanyi
Tentang lirih
Tentang liris
Yang menyayat peradaban
Mengguncang kenuranian

Lagu-lagu sumbang mengalun kedewasaan
Melirik pada setiap kesempatan
Dan mereka seolah dikebut oleh waktu
Mempatenkan sejarah

Dan diam menjadi tradisi memilukan
Seperti gleser gunung es
Mendengar tapi tak melihat
Nyanyian para bocah malang

Mahat kasan, 1 juli 2016


MEROBEK MALAM

Aku ingin merobek malam denganmu, kekasihku
Menyulam para gemintang
Menghembuskan angin sayang di pelataran suci
Memelukmu lebih erat
Dalam genggaman masa depan

Dan ketika bulan merobek cahayanya
Kunang-kunang mencari cahayanya yang tersesat di matamu
Diriuhnya gema letusan pucuk keramain
Bahwa gelap telah membakar dirinya

Langit pesta warna
Disenja hingga petang yang larut
Sampai subuh yang datang
Bahwa malam telah merobek dirinya sendiri

Julungan, 5 juli 2016


MENGOYAK SUNYI

Ditemani cahaya gemintang
Dan batang-batang padi yang berayun malam
Segelas kopi mengoyak subuh yang dingin
Sebelum matahari benar-benar nampak
Membawa pesan siang

Aku pernah memilin lampu petromak
Digelap yang pekat pada segelas resah
Bahwa bulir-bulir padi masih menyimpan embunnya
Setelah kunang-kunang tiada
Bersama kabut yang semakin turun

Hingga akhirnya kopiku pun habis
Dan sunyi telah tiada
Dikoyak capung dan burung hutan

Jambu Burung, 7 juli 2016


Tentang Penulis:
Syarif Hidayatullah, di lahirkan di Marabahan, tepian sungai Barito 20 oktober 1992. Lulusan pond-pest Al-Mujahidin Marabahan, dan Sekarang sedang di jurusan ekonomi syariah di IAIN Antasari Banjarmasin. Dan aktif di LPM SUKMA (lembaga pers mahasiswa suara kritis mahasiswa) serta menjabat sebagai ketua umum di Pondok Huruf Sastra (PHS)  organisasi kampusnya. Puisi-puisinya pernah dimuat diantologi lokal dan nasional Dan buku antologi tunggalnya “estetika dalam sandiwara”. Sekarang ia bermukim di (KOS),  Jl. H. Mahat Kasan No 54. Rt. 35. Kel. Kuripan. Kec. Banjarmasin Timur, Asrama Putra Batola.

Fb: syarif

Dari Redaksi:
Kami memberikan ruang kepada siapapun untuk berkarya. Bagi kami, kesusastraan nasional itu sesungguhnya adalah sebuah keberagaman; mulai dari sastra kaum pemula, sastra kaum tepi, hingga sastra kaum yg telah memiliki label nasional alangkah indahnya bila kita sepakat untuk dilihat secara bersama sama dan miliki tempat serta ruang yang sama pula untuk dihargai sebagai bagian dari corak warna dalam keberagaman. Sebab kita semua memiliki hak untuk hidup serta menemukan bentuk. Silahkan kirim karya anda ke email: riduanhamsyah@gmail.com atau inbox akun fb Riduan Hamsyah. (Salam Redaktur: Riduan Hamsyah).

Tidak ada komentar