HEADLINE

Puisi Karya Riduan Hamsyah

Photo by : Exaudio Siregar

PUISI PUISI KARYA RIDUAN HAMSYAH

MEMBUAT DANGAU

Dalam bahasa ibuku yang semende itu,
berucap, “Buatlah dangau! Tempat kerinduanmu
pada sanak bermuara
setelah tualang bikin mabuk sekujur tulang. Memerangi hasrat untuk pulang.”

Tetapi kami mungkin ditakdirkan
untuk pergi
memeriksa laut dan banyak pelabuhan
di negeri ini. Juga kota-kota yang menangis.

Lalu kukirimkan tiang-tiang besi
gambar ruang tamu dan kamar tidur
agar ingatan kita tentang masa lampau
kelak
bisa terbaca di lindap gunung atau di lindap sepasang bola mata.

Wahai, sudut-sudut hidup, yang sedang dirangkai tukang
menjadi dinding
sisakan beberapa helai pintu agar angin belukar berkunjung
membawa pesan burung kecici. Apidjurai kami
merindukan ini
sejarah suku yang ditulis kembali dalam kitab tunggutubang.

Banten, 24 September 2016
(keterangan: SEMENDE adalah salah satu suku bangsa yang berada di Sumatera selatan tetapi suku semende yang biasa hidup berkebun kopi ini pemukimannya menyebar di sejumlah daerah di Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung. APIDJURAI adalah keluarga besar suku semende, sedangkan TUNGGUTUBANG adalah anak perempuan yg dituakan dalam setiap rumpun keluarga semende).


TENTANG KALIMAT PULANG

Ada mendung, adik
yang kucipta malam tadi-

kedinginan kuntum puisi.

Terhenyak kita
melihat sungai Cimanuk
tiba tiba
jadi pembunuh, padahal
dua hari kemaren
baru selesai kutulis tentang itu
tentang kita yang bebal jadi sampah mengapung
buih buih petaka sepanjang waktu.

Aku tetap berangkat ke kantor, adik
meski hati kian bercabang
dan semakin tajam hasrat pulang.

Banten, 23 September 2016


MUSIM HUJAN NEGERI KAMI

Musim hujan. Orang orang menggambar luka
menggambar hutan ilalang dan hamparan ladang
yang telau kau tinggalkan.

O, negeri ini. Entah mengapa
hujan juga menderas jatuh di bola mata?

Lampung, November 2005


MALAM TANGERANG

Di letih udara
kota ini menjadi kekunang.

Tentang cinta: dirinya menyala di dadaku
merajam mimpi kemarin, melahirkan
sengal yang bebal.

Hai, alangkah manisnya cinta ini, jatuh ke-
tepi tepi daun sebagai embun
merayakan pesta sepi yang manggapai gapai.

Pesanggrahan-Solear, Januari 2009

Tentang Penulis: 
Riduan Hamsyah Menulis puisi, artikel dan opni untuk sejumlah media massa lokal. Selain bekerja sebagai PNS di salah satu instansi pemerintah di Banten, ia juga meluangkan waktu untuk mengasuh sebuah sekolah menulis puisi di Lampung Barat bernama Komsas Simalaba (sebuah wadah yang menaungi sejumlah anak muda yang memiliki minat terhadap puisi) dan menjadi redaktur sastra di www.wartalambar.com. Riduan Hamsyah telah mempublikasikan puisi dan tulisan jenis lainnya di koran, majalah, media online serta sejumlah buku antologi.

Dari Redaksi:
Kami memberikan ruang kepada siapapun untuk berkarya. Bagi kami, kesusastraan nasional itu sesungguhnya adalah sebuah keberagaman; mulai dari sastra kaum pemula, sastra kaum tepi, hingga sastra kaum yg telah memiliki label nasional alangkah indahnya bila kita sepakat untuk dilihat secara bersama sama dan miliki tempat serta ruang yang sama pula untuk dihargai sebagai bagian dari corak warna dalam keberagaman. Sebab kita semua memiliki hak untuk hidup serta menemukan bentuk. Silahkan kirim karya anda ke email: riduanhamsyah@gmail.com atau inbox akun fb Riduan Hamsyah. (Salam Redaktur: Riduan Hamsyah).

Tidak ada komentar