Puisi - Puisi Karya Riduan Hamsyah
Sawah di Kecamatan Way Tenong Ilustrasi Foto : Endang Guntoro Canggu |
DANGAU DI LAMBUNG PEMATANG
Sebut saja kemarin, kemudian ia terbuncah dari rahim perimba
dikagetkan papan reklame dan rambu
di tikungan, lalu mengapa tiba tiba saja hidup
menjadi sedikit ramai.
Rasa sesak
yang tak sepenuhnya disadari, sebab terlanjur
memahami jejak orang orang di trotoar.
Selalu saja runcing dalam benak ingatan tentang talang atau juga dangau
di lambung pematang. Suara angin di pepucuk pohon lalu derap sungai memukul batu
Hai, kenangan, kadang kala menjadi ranjau yang menabuh dadamu diam diam.
Sebut saja hari ini, ia ditempeleng huruf-huruf pahit
Seumpama termakan buah khuldi, terusir dari habitatnya kemudian menjadi “penyajak”.
Adakah beliung bapang berdentam meligat kulit ketapang
bergemuruh
api menjilat kering semak dan hutan yang ditumbangkan. Seterusnya angin musim
mengelus rerumpun padi huma hingga bangkai tugal tersenyum puas usai
menyilirkan nasibnya pada ani ani.
Tetapi ingatan akan lumbung, yang dalam kalimat ibunya tengkiang itu
menciut
gagap mendapati dirinya kini: penyair, yang hanyir oleh bangkai kata kata.
Tak ada sesiapa lagi di sini yang piawai mengurai sejarah tentang bukit – bukit kecil dan kabut
tentang acara ‘bebie ngetam’ dan paceklik dikanjari
tentang biji-biji kopi menyulap nasib setelah itu
tentang kehangatan senja yang kerab dilukisnya pada kulit buku berdebu
tentang panah, tentang lubuk dan ikan –
ikan kerali di balik napal
tentang jalan bersetapak dan entah tentang apa lagi?
Aduhai, Air Danau, talang tempat sendi-sendi tubuh bertumbuh sebelum dihanyutkan
waktu ke mana mana arah.
Sebut saja di hari lusa, ingin rasanya ia mengulang lagi
memanggil
tulang belulang bapang mengisahkan kesedihan pada tunggul ketapang
yang masih benderang mengejarnya
kemana pun pergi.
Air Danau, Negeri Agung, OKU Sumsel 1991-2015
Terjemahan adat dan bahasa:
Dari Bahasa Semendo, salah satu suku di Propinsi Sumatera Selatan
- Dangau (Gubuk/Pondok)
- Di Lambung Pematang (Di atas Bukit Kecil)
- Talang (Sejenis pemukiman penduduk yang terpencil, biasanya berada di lokasi perkebunan atau ladang)
- Beliung (Alat untuk menebang pohon)
- Bapang (Ayah)
- Meligat (Menempeleng)
- Ketapang (Nama sejenis pohon)
- Tugal (Sepotong kayu seukuran pergelangan tangan dengan ukuran sekitar 1,5 meter dan diruncing pada salah satu ujungnya untuk membuat lubang di lahan penanaman padi darat, pada lubang-lubang itu lalu ditabur benih padi huma)
- Ani ani (Alat untuk memotong tangkai padi saat panen)
- Tengkiang (Lumbung padi)
- Bebie ngetam (Panen padi huma yang biasanya dilakukan secara gotongroyong)
- Dikanjari (Ditertawakan/diolok olok)
- Panah (Sejenis alat untuk menangkap ikan)
- Kerali (Sejenis ikan yang biasa hidup di sungai berbatu batu)
- Air Danau (Nama salah satu talang yang berada di Desa Negeri Agung Kec. Simpang Kab. Ogan Komering Ulu, Provinsi Sumatera Selatan)
REJUNG
Aku bukanlah tunggutubang yang sesat
ke balik dunia tak beralamat. Menceraikan tengkiang bapang sebab pematang –
pematang sawah
yang sebenarnya tak pernah kami punya telah rumpas dibawa hanyut air anak.
Sebabnya lagi, di dusun, pepohon kopi
hendaklah mulai ditanam kembali. Melunasi silam yang selalu
saja kalah melawan malang juga endungtua yang tak
pernah hapal rejung kepuyangan sehingga kami sekeluarga sebenarnya
tak paham datang dari mana arah.
Tetapi nasib mesti disiasati. Di punggung tersemat sejuntai riwayat apidjurai,
menitip alamat dunia, menanti dengan harap harap cemas agar
sepulang merantau
aku hapal mencerita tentang hanyir udara kota.
Hai, malang benar apidjurai, yang hingga kini hampir tak pernah lagi
kuziarahi
terbuang rasanya tetapi semakin kukenang alamat pulang semakin runcing
pula hasrat untuk pergi.
Tetapi pula ada denyar kita rasakan di hulu dada. Kerinduan tentunya. Pada dangau-
dangau di lambunng pematang
pada bibir jingga warna langit yang kerab kita ratapi di pinggir huma
juga pada sepasukan seluang di luang ampe, hai, masihkah dirimu bercengkrama
dengan semua itu?
Dengan damai yang menjalar ke pelupuk mata kita
saling berpandang pandang ribang usai menuruni surau sepulang ngaji, tentunya
Engkau telah lupa, wahai seseorang!
Atau juga ingatan pada malam terang bulan saat kita rangkai
kembang pelastik
kurasakan benar bila di sesimpuh dudukmu ada gelisah berkejaran
cuma itu saja, Linda
selebihnya aku memang telah berangkat ke dunia penuh runtuk
melengkapi
kisah kisah Dirut yang belum tunai hingga siamang bukit meneruskan midang malam.
Tetapi aku cuma midang tak sengaja. Bila berkenan maka tunggulah! Kelak kita akan
kembali
bertatap pandang di waktu dan tanggal entah. Saling mengingat
mempelajari, hai , Linda?! kurasa kita kian sulit untuk saling memulai kata
sebab telah membawa bekas bekas luka yang pahit bila kau rangkai sejarahnya.
Sumatera Selatan 1993 – Kalimantan Selatan, 17 Januari 2013
Terjemahan adat dan bahasa:
Dari Bahasa Semendo, salah satu suku di Propinsi Sumatera Selatan
- Rejung (Sejenis nyanyian atau tembang, biasanya diiringi oleh gitar tunggal)
- Tunggutubang (Anak sulung perempuan, mendapatkan warisan sebuah rumah, sebidang sawah atau kebun dari kedua orang tuanya. Tunggutubang mempunyai kewajiban adat untuk merawat kedua orang tuanya serta menjadi pengayom Apidjurai)
- Tengkiang (Lumbung padi)
- Bapang (Ayah)
- Air anak (Sungai kecil)
- Endungtua (Saudara perempuan di atas ibu)
- Kepuyangan (Nenek Moyang)
- Apidjurai (Sanak family)
- Dangau (Gubuk/Pondok)
- Di Lambung Pematang (Di atas Bukit Kecil)
- Seluang (Sejenis ikan kecil kecil)
- Luang ampe (Air anak bagian hulu yang medannya kian menyempit dan curam)
- Ribang (Cinta)
- Dirut (Salah satu judul rejung)
TUNGKING TEBING
Kemudian menggelinding tubuhnya ke hilir. Dipukul rasa ketir
belukar pakis, cangkul sumbing, dengung naningtanah membahana
jadi belati menikam di punggung
di bahu kanan
dan ia pun menyerah.
Sekilas sebelum kisit ia menangkap senyum bapang beterbangan di bebunga junar
dan rasa sakit pun menjalar.
Ada kekuatan dahsyat menyeretnya ke suatu tempat setelah itu.
membiarkan endung dengan segudang cemas, membiarkan teras – teras
di pangkal kawe
yang menitik air mata
sebab perpisahan sesungguhnya adalah secarik kertas yang bertulis kalimat luka.
Sebidang tanah di tungking tebing
ada senyum bapang beterbangan, ada tubuhnya yang menggelinding
ada kecemasan endung, ada naning tanah yang mengusirnya pergi dari sini
dan belati yang masih bermukim di balik kegelisahannya hingga hari ini.
Lampung Barat – Pandeglang, 18 September 2015
Terjemahan adat dan bahasa:
Dari Bahasa Semendo, salah satu suku di Propinsi Sumatera Selatan
- Tungking tebing (Bidang tanah pada lahan perkebunan yang paling miring)
- Naning tanah (Sejenis serangga atau tawon yang suka membuat sarang di lahan perkebunan kopi)
- Kisit (Pergi)
- Bapang (Ayah)
- Junar (Sejenis rumput atau gulma yang lazim tumbuh di area perkebunan kopi atau ladang petani di Sumatera)
- Endung (Ibu)
- Kawe (Pohon Kopi)
BAYANGAN WAKTU
Rumah panggung. Kini dirimu merana di punggung
jadi bayangan waktu yang hanyut ke hilir. Lalu, kekinian hadir, membawa petaka
sehingga sejarah para moyang porak poranda.
Kami hilang adat. Ketika angin barat jadi beliung
yang menebang tiang-tiang rumah tetua. Dan, kesilaman, mandi di sungai
perlahan jadi kesedihan setelahnya engkau tersenyum
dengan tatap yang tak seberapa mengerti.
Pandeglang, 04 Pebruari 2016
Terjemahan adat dan bahasa:
Rumah Panggung, adalah sebuah rumah adat dari beberapa suku di Propinsi Lampung dan sebagian Sumatera Selatan, yang kini keberadaannya terancam punah. Puisi - Puisi Karya :
Riduan Hamsyah
Tidak ada komentar