HEADLINE

KB dan Ketahanan Pangan Oleh: Sandarsyah *)

BERDASARKAN hasil sensus penduduk yang dilakukan BPS tahun 2010, penduduk Indonesia berjumlah sekitar 237,6 juta jiwa dengan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) sebesar 1,49%. Lalu angka Total Fertility Rate (TFR) mencapai 2,3, Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) yang ber-KB atau PUS menggunakan alat kontrasepsi (Contraseptive Prevalence Rate/CPR) 70,91%, dan Unmet Need atau PUS yang ingin ber-KB tetapi tidak terjangkau pelayanan sebesar 9,1%. Hal ini jika kita asumsikan pertumbuhan penduduk Indonesia tetap 1,49%, maka secara kuantitas akan bertambah sekitar 3,5-4 juta jiwa pertahunnya. Dengan demikian diperkirakan pada akhir tahun 2011 penduduk Indonesia mencapai sekitar 241 juta jiwa.
Tak perlu dipungkiri bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, di samping sandang dan perumahan. Pertanyaannya, apakah dengan jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai 241 juta jiwa itu dapat menopang ketersediaan pangannya terutama beras?
Merujuk data FAO (Organisasi Pangan Dunia) dalam laporan tahun 2005-2007 menyebutkan hampir 13% atau 29,9 juta dari total penduduk Indonesia kekurangan gizi. Bahkan menurut data Badan Ketahanan Pangan Nasional pada saat tahun 2011, tercatat 27,5% penduduk terindikasi rawan pangan.
Menurut President Earth Policy Institute, Lester R. Brown, dalam laporannya berjudul “The Great Food Crisis of 2011” memperkirakan Indonesia bersama India dan China akan terkena efek krisis pangan paling parah. Walaupun secara kenyataan Indonesia pada tahun 2011 lalu tidak terkena imbasnya krisis pangan tersebut. Mengapa demikian? Mungkin negara ini terbantu impor beras dan penduduk miskinnya terbantu dengan adanya beras miskin (raskin) yang didistribusikan pemerintah.
Menurut data yang ada, tingkat konsumsi pangan beras penduduk Indonesia rata-rata sebesar 139,15 Kg/kapita/tahun. Untuk ukuran internasional tingkat konsumsi yang demikian tergolong tinggi. Hal ini jika kita bandingkan dengan negara lain, Jepang 45 Kg/kapita/tahun, Malaysia 80 Kg/kapita/tahun, dan Thailand 90 Kg/kapita/tahun. Sementara itu rata-rata konsumsi dunia terhadap beras sebesar 56,9 Kg/kapita/tahun (data FAO tahun 2011).
Ada keterkaitan yang erat antara jumlah penduduk dengan tingkat ketersediaan dan kosumsi pangan. Pada tahun 2006 produksi beras Indonesia sejumlah 34,58 juta ton. Penduduk Indonesia saat itu berjumlah 228,8 juta jiwa, dengan tingkat konsumsi beras penduduk sebesar 30,96 juta ton. Pada tahun 2010 produksi beras Indonesia meningkat menjadi 37,6 juta ton, dengan jumlah penduduk pada saat itu 237,6 juta jiwa serta tingkat konsumsi beras berkisar 33,08 juta ton.
Asumsi ini juga berkenaan dengan adanya hubungan yang tidak signifikan antara peningkatan produksi pangan dengan tingkat ketersediaan pangan perkapita jika dihubungkan dengan LPP setiap tahunnya. Walaupun produksi pangan meningkat setiap tahunnya, dapat terjadi tingkat ketersediaan pangan perkapita pertahun tidak meningkat atau hanya sedikit meningkat karena faktor LPP pertahunnya tinggi.
Dengan bertambahnya penduduk konsekuensinya adalah perlunya penambahan lahan baik itu untuk tempat hunian/perumahan maupun usaha/area bisnis. Yang memperihatinkan kita adalah banyak lahan produktif yang dialihfungsikan menjadi tempat hunian dan usaha. Kurun waktu selama 15 tahun, 1990 hingga 2005, terjadi pengurangan lahan sawah seluas 429.663 Ha, yang berarti rata-rata luas sawah yang berkurang 28.664 Ha/tahun.
Ada asumsi dengan bertambahnya jumlah penduduk juga akan memengaruhi terjadinya perambahan hutan dan illegal loging yang tentunya berakibat bertambahnya kerusakan hutan. Menurut data FAO kerusakan hutan Indonesia mencapai 06-1,3 juta Ha/tahun. Merujuk data Kementerian Kehutanan 0,8 juta Ha/tahun. Masyarakat Perhutanan Indonesia Reformasi (MPIR) mengungkapkan selama 1979-1990 kawasan hutan Indonesia mengalami penyusutan 47,8 juta Ha. Dan menurut Kementerian Kehutanan 65,47% kerusakan hutan akibat perambahan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan.
Oleh karena itu sudah sewajarnya, dalam lima tahun terakhir telah terjadi bencana banjir di Indonesia yang melanda 29.743 Ha sawah, 11.043 Ha di antaranya puso. Dan bencana kekeringan yang mengakibatkan 82.472 Ha lahan sawah kekurangan air, 8.497 Ha di antaranya puso.
Untuk mengatasi kenyataan dan fakta di atas, dengan demikian diperlukan adanya strategi dan kebijakan yang matang untuk menghidupkan kembali program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) yang sejak Era Reformasi semakin meredup dan kurang mendapatkan perhatian. Strategi dan kebijakan dimaksud, adalah: 1. Menyerasikan dan menyosialisasikan kebijakan pengendalian penduduk; 2. Meningkatkan pembinaan kesertaan dan kemandirian ber-KB; 3. Meningkatkan pembinaan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga; 4. Memantapkan dukungan manajemen program KKB; 5. Meningkatkan advokasi dan penggerakan masyarakat. Strategi dan Program  ini tak akan terlaksana jika tidak ada perhatian yang penuh dari penentu kebijakan dan stackeholder yang ada. Tabik pun. Semoga.
*) Sekretaris Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Lampung Barat.

Tidak ada komentar