HEADLINE

Editorial

WILAYAH Kabupaten Lampung Barat yang kini menempati posisi terluas di Provinsi Lampung, tak bisa dipungkiri menyimpan sejuta potensi sekaligus pesona yang bisa dibudidayakan dan dikembangkan. Areal pertanian, perkebunan, dan juga laut plus pantainya, menjadi pokok-pokok kekayaan yang tersimpan dan siap dikelola secara maksimal. Sayangnya upaya tersebut belum sepenuhnya dilakukan, sehingga kesejahteraan rakyatnya juga belum merata.
Mengawal upaya pemerataan kesejahteraan rakyat melalui pengelolaan potensi sumberdaya alam (objek) dimaksud, harus diciptakan sumberdaya manusia yang handal sebagai pelaku utama (subjek) yang memiliki kemampuan dan daya dukung keterampilan di bidangnya masing-masing yang mumpuni. Artinya, bagaimana pun tersedianya potensi sumberdaya alamnya, jika tak dikelola optimal, manfaatnya tentu tak bisa dirasakan oleh masyarakatnya.
Upaya pengelolaan harusnya juga memperhatikan aspek pemberdayaan tenaga lokal. Potensi atau sumberdaya lokal setidaknya dilibatkan jika belum bisa sepenuhnya bisa direkrut dan diberdayakan. Kalau belum bisa 100% tenaga (ahli dan pekerja) lokal tentu komposisinya bisa menyesuaikan secara proporsional. Dengan perbandingan jumlah pekerja yang proporsional-rasional tersebut tentu diharapkan denyut perekonomian setempat juga hidup.
Pengelolaan sumberdaya alam atau potensi baru, tidak berarti meninggalkan atau mengabaikan yang lama dan telah ada sebelumnya. Keberadaan objek wisata Kawasan Wisata Terpadu Lumbok Seminung Resort di Lumbokseminung yang terdiri atas tiga unti bangunan utama, hotel, lobi, dan convention hall yang kini mati suri, menjadi contoh aset lama yang terbengkalai. Harus ada pemikiran dan atau terobosan yang mampu menggerakkan serta menjual potensi tersebut.
Selain itu, lokasi rumah potong hewan yang sampai saat ini tidak difungsikan, sehingga terkesan mubazair. Kedua contoh di atas adalah bentuk pengelolaan yang tidak maksimal, sehingag dana miliran rupiah yang digelontoran terkesan mubazir. Belum lagi sejumlah bangunan berupa fasilitas penunjang bidang kesehatan dan pendidikan yang bernasib sama: terbengkalai. Terdapat sejumlah bangunan prasarana kesehatan dan pendidikan yang sejak dibangun tak difungsikan.
Ada pertanyaan, apakah sebelum membangun fasilitas atau aset tersebut tak dipikirkan secara matang. Sementara tidak sedikit jumlah fasilitas lainnya yang nyata-nyata digunakan, dan harusnya direhab atau diremajakan yang kini terlantar, seperti bangunan SDN 3 Wayharu, tapi sampai kini juga belum diperbaiki atau dibangun kembali. Semua bentuk bangunan tersebut, baik bangunan fasilitas penunjang bidang kesehatan maupun sekolah, mesti didukung tenaga atau sumberdaya manusia yang handal.
Terkonsentrasinya tenaga pendidik atau guru dan juga tenaga kesehatan serta paramedis pada puskesmas atau sekolah tertentu, misalnya, menjadi catatan yang harusnya segera dibenahi dan dicarikan jalan keluarnya. Itu jika mengharapkan optimalisasi dan pemerataan pelayanan akan dirasakan oleh masyarakat. Dan ketika itu belum diprioritaskan untuk dilaksanakan, maka selama itu pula pelayanan dunia pendidikan dan kesehatan akan pincang atau tak merata hingga ke pelosok pekon. (*)

Tidak ada komentar