HEADLINE

Pelihara Aset Daerah

Penggunaan kata “pelihara” lebih sering dijumpai setelah ditambah awalan, akhiran, dan imbuhan yang mengapitnya. Misalnya dipelihara, peliharaan atau piaraan, dan pemeliharaan. Artinya sama dengan merawat, menjaga, melindungi, mengurusi, membina, dan lain sebagainya, sehinga ia akan bermakna suatu upaya menjaga agar tetap lestari. Akan lebih baik jika upaya memelihara atau melestarikan itu bermakna produktif, tak membebani, menguntungkan, dan termanfaatkan.

Mengaitkan arti kata itu dengan dinamika pembangunan di Kabupaten Lampung Barat (Lambar), akan dicontohkan dengan keberadaan beberapa aset yang dibangun dengan penggelontoran dana miliaran rupiah. Sebut saja pembangunan Kawasan Wisata Terpadu (KWT) Lumbok Seminung Resort di Pekon Lombok
Kecamatan Lumbokseminung. Membangunnya, pemkab setempat mengeluarkan dana yang cukup besar. Tapi harus diakui pada perkembangannya objek wisata (baca: aset) tersebut kontraproduktif, bahkan cenderung membebani.

Karena itu, jika pada awalnya pemkab harus mengeluarkan dana pemeliharaan hampir Rp1 miliar per tahan bersumber APBD, akhirnya diputuskan untuk tidak menyapihnya lagi. Kini aset yang dibangun dengan dana besar tersebut tak kunjung produktif. Menutupi biaya operasionalnya saja pihak pengelola kewalahan karena tak pernah akan mampu mencapai titik break even point(BEP) atau impas secara ekonomi.

Kini, aset tersebut bukan hanya tidak produktif, tapi terlantar. Sampai sekarang belum ada formulasi pemikiran pengelolaannya agar menghasilkan pemasukan ke kas daerah. Belum lagi masalah KWT Lumbok tersebut menemukan jalan keluar, pembangunan Islamic Center (IC) di Pemangku Sekuting Pekon
Watos Balikbukit, juga dikhawatirkan mengalami nasib serupa. Alasan pembangunan IC karena Lambar menjadi tuan rumah MTQ Tingkat Provinsi Lampung ke-38 lalu dan menjadi Juara Umum.

Persoalan kemudian muncul bukan pada capaian prestasi yang telah ditorehkan dengan tinta emas itu, tapi lebih kepada kekhawatiran aset yang ada, termasuk bangunan Masjid Baitul Mukhlisin yang konon terbesar dan termegah di Lampung itu terlantar, senasib dengan saudara tuanya KWT Lumbok. Banyak pertanyaan kekhawatiran yang melingkupinya. Ini sempat dimaksudkan agar para pihak terkait memutar otak mencarikan solusi terbaik agar aset itu tidak terlantar, sebagaimana kekhawatiran banyak orang.

Artinya, jika IC tak dikelola profesional alamat akan bernasib sama dengan KWT Lumbok. Jadinya, Lambar hanya bisa membangun dan tak mampu memanfatkannya. Tentu kita harus berkeyakinan bahwa pemerintah mampu mencarikan terobosan dan solusi terbaik pengelolaannya agar tidak terlantar. IC tidak hanya digunakan setahun sekali misalnya untuk melepas jamaah calon haji atau perayaan Idul Fitri/Idul Adha saja. Jangan sampai IC bernasib sama dengan KWT Lumbok, terlantar dan mubazir! (*)

Tidak ada komentar