HEADLINE

Editorial - Jum'at, 23 September 2011

Kata reses melekat erat pada jabatan dan status kalangan anggota dewan. Berarti masa tidak bersidang dan turun ke lapangan menyerap aspirasi konstituennya di daerah pemilihan masing-masing. Masa ini, seyogianya
dijadikan suatu momentum yang ditunggu-tunggu anggota dewan karena bisa secara langsung mengetahui keluhan dan masukan dari rakyat yang berada di pelosok sekalipun.

Reses kerap dikaitkan dengan upaya penyerapan aspirasi di daerah pemilihan masing-masing dikoordinir oleh para wakil ketua yang ditunjuk. Ketika itu masyarakat juga mendapat kesempatan menyampaikan unek-unek (baca: aspirasi) secara langsung kepada wakilnya untuk disampaikan ke pemerintah. Misalnya  reses anggota dewan yang bersamaan dengan musrenbang tingkat pekon, tingkat kecamatan hingga kabupaten.

Pada saat itu, bisa saja ada hal-hal yang lolos dari pemahaman dan karenanya tidak termasuk sebagai materi yang disampikan masyarakat kepada perwakilannya dalam pembahasan. Di sini anggota dewan menjadi mediator aspirasi yang berkewenangan menyampaikannya ke pemerintah. Apakah nanti usul dari grass root itu diterima atau ditolak, anggota dewan juga yang berkewajiban mengawalnya hingga dibahas dan berhasil dengan penyampaian argumentasi yang rasionil.

Pertanyaannya, apakah semua anggota dewan sudah melaksanakan reses dengan hadir langsung di tengah-tengah masyarakat pada kesempatan musrenbang tersebut. Tentu harus diapresiasi bagi anggota dewan yang secara getol mengikuti musrenbang di tingkat kecamatan bahkan pekon-pekon. Pemikiran briliannya juga dibutuhkan memecah kejumudan dan atau keterbatasan improvisasi nalar masyarakat biasa. Ini akan terlaksana ketika dewan tersebut hadir langsung ikut mendengarkan dan membahasnya.

Namun faktanya, terbukti masih banyak anggota dewan yang menomorduakan turun ke lapangan pada saat reses. Celakanya lagi, ketika yang bersangkutan absen, partainya pun tidak merasa ada hal yang belum dilakukan atau kekurangan yang semestinya ada dan dilakukan anggotanya di dewan. Partai cenderung tidak mengambil sikap apa-apa. Dengan begitu oknum anggota dewan yang juga notebene selaku perpanjangan tangan partai di dewan bisa mereduksi hal-hal kekinian yang dihadapi perlu dicarikan solusinya.

Kini, masyarakat di semua tempat lintas daerah pemilihan, sudah sepatutnya mengritisi hal tersebut. Kinerja perwakilannya di lembaga terhormat itu harus pula diingatkan agar selalu ngemongi dan turun langsung bertatap muka face to face dengan masyarakat. Harus dihilangkan sekat-sekat yang sangat tidak perlu dipertegas. Misalnya yang bersangkutan apatis ketika menanggapi usul warga yang tidak berada di ranah pendukungnya ketika mencalon.

Sebab, pengertian anggota dewan tidak tersekat-sekat per daerah pemilihan atau per partai, tapi lingkup kabupaten/kota, provinsi dan atau wilayah pemilihan.

Jadi, jika berbicara DPRD Lambar, misalnya, tidak harus kaku hanya memperjuangakan aspirasi masyarakat Balikbukit saja bagi angota dewan dari daerah pemilihan III. Tapi anggota dewan daerah pemilihan III bisa saja menyuarakan kepentingan masyarakat di daerah pemilihan I dan seterusnya.

Penyempitan pola pikir dan pemahaman melalui sekat-sekat yang sesunggunnya tidak berarti tersebut, sudah saatnya ditinggalkan. Seorang anggota dewan harus berpikir lintas daerah pemilihan, lintas partai, dan mengutamakan kepentingan umum. Ada solusi yang ditawarkan tanpa bermaksud menggurui dan
atau mencederai hakikat reses itu sendiri.

Bisa saja bagi partai bersangkutan melakukan sistem absensi, dewan secara kelembagaan juga bisa melakukan hal serupa, dan itu dimaksudkan memantau mobilitas atau tingkat partisipasi anggota dewan pada saat reses. Dengan demikian yang bersangkutan diketahui ketika tidak ikut rapat musrenbang di kecamatan tertentu, misalnya. Dengan demikian masyarakat secara umum juga akan mencermati bahwa wakilnya di dewan ternyata malas hadir pada momentum tertentu seperti itu.(*)

Tidak ada komentar