Editorial - 26 September 2011
Jika merujuk pengertian secara harfiahnya, kata mangkir berarti tidak datang (di tempatnya bertugas atau bekerja). Dimana di tempat bekerja tersebut selalu terjadual, masuk, istirahat, dan keluar atau pulang sesuai
waktu yang ditentukan. Jika tidak, bisa saja dikategorikan mangkir karena melalaikan tugas dan kewajiban sebagai pekerja, karyawan, dan atau pegawai tepat waktu.
Contoh yang belum lama terjadi, salah satu oknum staf di Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Lambar, Sugiono, yang diindikasikan mangkir lebih dari lima bulan. Fakta tersebut menggambarkan betapa lemahnya masalah pengawasan di lingkup pemerintahan. Apel pagi-sore bisa jadi hanya sekadar menunaikan rutinitas dan tak menyentuh sampai ke persoalan disiplin pegawai.
Mengkilas balik kasus serupa, sekitar dua tahun sebelumnya, Wabup Drs. H. Dimyati Amin mendapati seorang staf di Dinas Kependudukan Catatan Sipil Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disdukcapilsosnakertran), M. Sidik, telah enam bulan mangkir alias tidak masuk. Anehnya, dalam buku absensi yang bersangkutan mangkir dengan keterangan izin. Pertanyaannya, apakah izin bagi seorang PNS dimungkinkan sampai enam bulan berturut-turut.
Merujuk dua kasus tersebut, kenapa kepala satuan kerja (satker) terlalu percaya dengan buku absensi yang dilaporkan stafnya. Ini juga berarti kelemahan pengawasan pada level pimpinan. Dengan demikian yang bersangkutan, oknum pegawai malas itu, menjadi seolah untouchable man, tak tersentuh hukum (baca: disiplin pegawai) sebagaimana layaknya. Parahnya lagi, terhadap oknum tersebut teguran sebelumnya sama sekali tak dihiraukan dan tidak ada sanksi tegas dari pihak inspektorat meski terbukti nyata-nyata melanggar.
Setelah lima bulan lebih ‘bertualang’ dan akhirnya kesandung, tentu saja semua pihak menunggu sanksi tegas dari penentu kebijakan sesuai pelanggaran yang diperbuatnya. Ini semestinya tidak dilihat sebagai hukuman, lebih dari itu merupakan upaya pembenahan agar lebih disiplin dan produktif. Sebab, pegawai yang masuk kategori mangkir pasti tidak disiplin. Sanksi atas pelanggaran aturan main itu diperlukan sebagai pelajaran berharga bagi pegawai lain, setidaknya menyadarkan dan menggugah agar bekerja lebih baik, produktif, dan berprestasi.
Hal positif yang didapat pasca, tentu harus diapresiasi dan dimaksudkan memompa semangat bekerja lebih baik dan maksimal. Dan yang tak kalah menariknya agar para pihak terkait soal penegakan disiplin (sidak) ini
melakukannya secara rutin dan dapat dipertanggungjawabkan, bukan hanya sekadar menjalankan rutinitas absensi. Sebab, melalui sidak diketahui terbukti tidak sedikit pegawai yang nakal, tidak ngantor tapi di buku
absensi tetap masuk.
Setelah oknum staf di Dispora, diyakini masih ada beberapa oknum pegawai yang juga berperilaku kurang lebih sama meski modus dan alasannya yang berbeda. Ini tentu tugas dari penegak disiplin itu tadi. Penjatuhan sanksi tentu harus pula merujuk PP Nomor 30 Tahun 1980. Dimana dikatakan bila dalam waktu enam bulan pegawai tidak hadir secara berturut-turut tanpa keterangan akan dipecat. (*)
waktu yang ditentukan. Jika tidak, bisa saja dikategorikan mangkir karena melalaikan tugas dan kewajiban sebagai pekerja, karyawan, dan atau pegawai tepat waktu.
Contoh yang belum lama terjadi, salah satu oknum staf di Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Lambar, Sugiono, yang diindikasikan mangkir lebih dari lima bulan. Fakta tersebut menggambarkan betapa lemahnya masalah pengawasan di lingkup pemerintahan. Apel pagi-sore bisa jadi hanya sekadar menunaikan rutinitas dan tak menyentuh sampai ke persoalan disiplin pegawai.
Mengkilas balik kasus serupa, sekitar dua tahun sebelumnya, Wabup Drs. H. Dimyati Amin mendapati seorang staf di Dinas Kependudukan Catatan Sipil Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disdukcapilsosnakertran), M. Sidik, telah enam bulan mangkir alias tidak masuk. Anehnya, dalam buku absensi yang bersangkutan mangkir dengan keterangan izin. Pertanyaannya, apakah izin bagi seorang PNS dimungkinkan sampai enam bulan berturut-turut.
Merujuk dua kasus tersebut, kenapa kepala satuan kerja (satker) terlalu percaya dengan buku absensi yang dilaporkan stafnya. Ini juga berarti kelemahan pengawasan pada level pimpinan. Dengan demikian yang bersangkutan, oknum pegawai malas itu, menjadi seolah untouchable man, tak tersentuh hukum (baca: disiplin pegawai) sebagaimana layaknya. Parahnya lagi, terhadap oknum tersebut teguran sebelumnya sama sekali tak dihiraukan dan tidak ada sanksi tegas dari pihak inspektorat meski terbukti nyata-nyata melanggar.
Setelah lima bulan lebih ‘bertualang’ dan akhirnya kesandung, tentu saja semua pihak menunggu sanksi tegas dari penentu kebijakan sesuai pelanggaran yang diperbuatnya. Ini semestinya tidak dilihat sebagai hukuman, lebih dari itu merupakan upaya pembenahan agar lebih disiplin dan produktif. Sebab, pegawai yang masuk kategori mangkir pasti tidak disiplin. Sanksi atas pelanggaran aturan main itu diperlukan sebagai pelajaran berharga bagi pegawai lain, setidaknya menyadarkan dan menggugah agar bekerja lebih baik, produktif, dan berprestasi.
Hal positif yang didapat pasca, tentu harus diapresiasi dan dimaksudkan memompa semangat bekerja lebih baik dan maksimal. Dan yang tak kalah menariknya agar para pihak terkait soal penegakan disiplin (sidak) ini
melakukannya secara rutin dan dapat dipertanggungjawabkan, bukan hanya sekadar menjalankan rutinitas absensi. Sebab, melalui sidak diketahui terbukti tidak sedikit pegawai yang nakal, tidak ngantor tapi di buku
absensi tetap masuk.
Setelah oknum staf di Dispora, diyakini masih ada beberapa oknum pegawai yang juga berperilaku kurang lebih sama meski modus dan alasannya yang berbeda. Ini tentu tugas dari penegak disiplin itu tadi. Penjatuhan sanksi tentu harus pula merujuk PP Nomor 30 Tahun 1980. Dimana dikatakan bila dalam waktu enam bulan pegawai tidak hadir secara berturut-turut tanpa keterangan akan dipecat. (*)
Tidak ada komentar