HEADLINE

Tajuk - 29 Juli 2011

Kata transparan kerap menjadi penentu atau penegas bagi suatu komitmen yang mengatasnamakan perubahan, atau keinginan berbuat lebih baik, misalnya. Biasanya kata tersebut mengemuka dan diikrarkan oleh seorang pejabat sebagai argumentasi pembenaran (baca: upaya meyakinkan) pihak lain bahwa kinerjanya betul-betul bagus (on the track) dan dapat dipertanggungjawabkan.

Persoalannya, ternyata transparan tak begitu ampuh mengawal komitmen tersebut karena sering disalahartikan. Ia hanya menjadi kambing hitam untuk suatu upaya melanggengkan kekuasaan atau karena ingin dilihat baik dan berprestasi oleh atasannya. Atau bahkan untuk mengamankan kebijakan atasan berupa aturan main atau praktik tak terpuji yang menyimpang dari aturan.

Seyogianya transparan harus tetap dikedepankan kapan dan dimana saja serta pada pekerjaan apa saja. Terlebih dalam hal pengelolaan keuangan lembaga pemerintahan, partai politik, organisasi, termasuk rumah tangga sekalipun, dan lainnya. Sebab, karena ketidaktransparanan kerap menimbulkan bukan hanya tanya, tapi juga curiga. Ketransparanan juga ternyata mampu membuka tabir yang tertutup rapat selama ini. Transparan bukan hanya perlu, tapi harus.

Ternyata, transparan bukan juga harga mati, perlu diuji kebenaran dengan sejumlah bukti penguatan argumentasi dan dokumentasi. Ia tidak hanya cukup dengan pengakuan verbal, misalnya. Terbaru, pengakuan salah satu mantan tokoh partai yang kini tak diketahui keberadaannya, merupakan contoh sederhana transparansi itu. Tapi, lagi-lagi testimony taunpengakuan nya harus diuji. Para pihak terkait harus memperhatikan banyak sisi dan fakta untuk memrosesnya secara hukum.

Transparan, kini hanya milik sekelompok orang bagian kecil yang sadar dan mempraktikkan laku hidupnya atas kesadaran dari nuraninya sendiri. Tapi jauh lebih banyak yang merasa kecewa karena ketidaktransparanan dan atau profesionalitas penerapannya. Belum lagi konsekuensi kekecewaan yang harus dibayar mahal dengan praktik tak terpuji atau kebijakan yang tidak wajar lainnya. Semua atas nama pengamanan kebijakan dan kenapa harus menghilangkan makna transparansi yang sesungguhnya. (*)

Tidak ada komentar