HEADLINE

Ribuan Perambah BBTNBBS Balik Kucing

Lemong, WL - 14 Juli 2011

Hutan kawasan di Kecamatan Lemong Kabupaten Lampung Barat (Lambar) didiami sekitar 7.000-8.000-an perambah yang sempat di-deadline petugas Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBTNBBS) Wilayah II untuk meninggalkan lokasi tersebut, Sabtu (30/4) silam, ternyata balik kucing (kembali lagi, Red). Pasalnya, merujuk hasil pendataan terakhir pihak balai terdapat sekitar 61 ribu haktare yang menjadi salah satu warisan dunia (world heritage) tersebut rusak dirambah.

Dalam pada itu petugas juga telah melakukan pendataan titik-titk rambahan dan upaya persuasi agar masyarakat dengan penuh kesadaran meninggalkan lahan garapan di lokasi yang dilarang itu. Kini, kondisi lahan di sekitar areal yang berbatasan dengan Kabupaten Kaur Bengkulu itu ramai kembali setelah sebelumnya nampak sepi.

Sejumlah titik rambahan, utamanya yang ada di sekitar Simpang Kandis, Simpang PDI, dan sekitarnya, diduga didiami perambah asal Lamsel, Metro, Bengkulu, Jatim, dan Jateng. Diindikasikan kerusakan balai dengan total luas 365 ribu haktare tersebar di dua kabupaten di Lampung, yakni Lambar dan Tanggamus, serta Kaur Bengkulu, terpantau satelit pada 17 spot atau titik rambahan.

Sekadar diketaui, aktivitas perambahan diperkirakan dimulai sejak 1998. Kemudian lebih intens dilakukan tahun 2002 hingga sekarang. Dimana terdapat beberapa item ketentuan yang dilanggar perambah manakala tak menuruti pendekatan persuasif petugas, di antaranya, UU Nomor 1/1999 tentang Kehutanan. Salah satu poin menyebutkan pelarangan pendudukan dan penguasaan dalam kawasan hutan yang tak sesuai peruntukkannya.

Jika itu dilakukan, maka perambah terancam sanksi kurungan 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp5 miliar. Kemudian UU Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan PP Nomor 68/2004 tentang Kawasan Pelestarian Alam.

“Sebetulnya perambah itu sempat turun pada batas akhir toleransi petugas penghujung April lalu. Tapi sekarang kembali lagi karena petugas juga tak melakukan pengawasan dengan cermat dan tegas,”  ujar salah seorang pengusaha perkayuan di Krui yang enggan disebutkan jatidirinya karena sebagian tenaga kerjanya adalah perambah tersebut.

Dikatakannya, ketika batas waktu penurunan paksa disampaikan, banyak perambah yang turun dan bekerja dengannya selaku kuli. Tapi setelah deadline itu tak diikuti komitmen serius, maka merekapun kembali merambah. “Bagi usaha saya dampaknya tidak ada yang bekerja, artinya saya harus mencari tenaga kerja lagi,” pungkasnya. (aga)

Tidak ada komentar