HEADLINE

Tindakan Persuasif Menurunkan Perambah Hutan

Kebaradaan perambah hutan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Wilayah II Kecamatan Lemong Kabupaten Lampung Barat (Lambar) di areal seluas sekitar 17.000Ha, masuk kategori mengkhawatirkan. Sebab, dari jumlah tersebut sekitar 9.000Ha atau sekitar 60% telah rusak dirambah. Itu
pula yang menyebabkan 650 personel gabungan terdiri atas Brimob dan Sabhara Polda Lampung, Polres Lambar, Kodim 0422/LB, Polhut TNBBS dan TNWK, Satpol PP, plus pam swakarsa, melakukan tindakan persuasif menurunkannya (bukan mengusir), Senin-Jumat (3-7/10).

Tindakan secara persuasif ini ditempuh sebagai langkah terakhir setelah sebelumnya dilakukan sosialisasi terhadap sekitar 1.700-2.000 kepala keluarga (KK) perambah tersebut, sehingga akhirnya melewati deadline atau batas akhir toleransi tinggal. Sekadar diketahui, ke-2.000 KK perambah tersebut berasal dari berbagai penjuru di Sumatera, seperti Bengkulu, Sumatera Selatan, Kabupaten Tanggamus dan Lambar sendiri. Artinya, tidak semua perambah kawasan tersebut berasal dari Lambar.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, hanya sekitar 1.600-an KK perambah berasal dari Lambar, terbanyak 1.400 KK dari Kecamatan Karyapenggawa dan sisanya sekitar 200-an KK dari beberapa kecamatan di wilayah pesisir. Sejauh ini, upaya penurunan secara persuasif tersebut berlangsung lancar dan kondusif. Tak satupun petugas yang sampai membuang tembakan.

Hanya memang, di lapangan perambah mengiringi tanaman tahunannya ditebang petugas dengan deraian air mata. Sebab, sebagian besar perambah menggantungkan sumber penghidupannya di kawasan merah (terlarang) tersebut.

Tapi yang menjadi pertanyaan dan perlu digarisbawahi, adalah bagaimana kondisi perambah setelah meninggalkan kebun-kebunnya di hutan kawasan itu. Ini tentu yang perlu dipikirkan pemerintah selaku regulator resmi di negeri ini. Jangan sampai penurunan ini justru menimbulkan masalah baru, ekses yang kemudian menjerumuskan mereka ke wilayah yang bersinggungan dengan hukum.

Ini tentu tak bisa dipandang sebelah mata, harus ada upaya komprehensif para pihak terkait menanganinya dan harus diaplikasikan dalam bentuk nyata, bukan statemen verbal yang hanya akan meninabobokkan. Dalam masalah ini, beberapa anggota DPRD setempat berharap pemerintah mencarikan solusi terbaik yang
sama-sama menguntungkan (win-win solution), meski diakui eksisteni perambah di kawasan tersebut 100% masuk kategori pidana atau bersalah. Akan tetapi, persoalannya, berdasarkan UU dan aturan terkait lainnya, tentu tak harus menyelesaikan suatu masalah lantas menimbulkan atau justru memunculkan masalah baru.

Pemerintah sendiri melalui pejabat di Dinas Kehutanan setempat, mengatakan pihaknya telah menawarkan solusi menggarap Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di Provinsi Bengkulu bagi perambah yang terdata. Persoalannya kemudian, sebagaimana dituturkan pejabat tersebut, upaya menginventarisasi atau mendata perambah melalui kecamatan ini tak terpenuhi. Dengan demikian, bisa dikatakan untuk sementara waktu solusinya adalah tawaran menggaraf HTR di Bengkulu setelah pendataan rampung.

Kini tim gabungan telah bekerja sejak Senin (3/10) lalu hingga Jumat (7/10) menurunkan perambah dengan menebang tanaman-tanaman yang ditinggalkan dan meniadakan pondok-pondok yang dibangun perambah. Tapi yang tak kalah pentingnya adalah mengawal upaya penurunan tersebut hingga lokasi rambahan
betul-betul dinyatakan steril dari aktivitas perambah dan tidak akan pernah kembali (merambah) lagi. Lalu, yang lebih ditunggu-tunggu perambah adalah sumber penghidupan baru untuk menyambung hidup dan membiayai anak-anak mereka melanjutkan studinya.  (*)

Rabu, 05 Oktober 2011

Tidak ada komentar