HEADLINE

Cerita Mini Diah Pebriani "TAHI LALAT"


DARI REDAKSI
Kirimkan Cerpenmu dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas dalam satu file ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Redaksi akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 1 bulan  Cerpenmu tidak dimuat maka dinyatakan belum layak. (Mohon maaf sebelumnya laman ini belum dapat memberikan honorium). Salam segenab redaksi.




Cerita Mini (Cermin) DIAH PEBRIANI
TAHI LALAT

Siang yang bising, membuat kehilangan konsentrasi pada raut wajah mereka. Bangku kosong pojok pabrik sepertinya siap untuk diserbu para pekerja yang sudah mulai lelah. Mamat dan Didin berjalan bersamaan menuju bangku itu.
"Mat, panas nya luar biasa ya hari ini."  Disekanya keringat yg menumpuk di dahinya. Setengah hari bercengkrama dengan mesin-mesin pencetak lantai keramik, cukup memeras keringat rupanya.
 "Iya tumben ya Din, Panas nya Sangat menyengat," kata Mamat.
Di bangku itu, hampir saja bersamaan mereka mengeluarkan Handphone. Ya,  kebiasaan jaman sekarang ini, di manapun,  kapanpun, tak bisa lepas dari benda genit yang bernama Handphone, hanya untuk sekedar melihat BBM, Wa (Whats App), Facebook atau media sosial lain. Terlebih hanya sekedar untuk melihat waktu. Mungkin saja ini dampak dari Era Globalisasi yang sudah sejak dulu dielu-elukan.

"Mat, kita buka Google sajalah. Istirahat masih lama, apa ya kira-kira yang lucu. Oh, kita buka ramalan saja ya." Ujar didin seraya membuka "Mbah Google" yang katanya apapun bisa kita cari di situ, termasuk mencari yang namanya "Ramalan". Tak perlu lagi bertanya dengan Mama Lorenz atau Mbh Surip. " Mbh Google " pun kini dapat menjawab tentang ramalan-ramalan yang ingin kita ketahui. Mamat setuju saja, mengganggukkan kepala seraya melihat Handphonenya yang tak bisa membuka layanan google lagi. Ternyata paket datanya sudah habis.

"Mat, aku buka ramalan tahi lalat. Aku punya tahi lalat di alis, artinya banyak dicintai orang." Sambil membaca Didin tersenyum-senyum, krn sampai saat ini dia belum punya pacar.Mamat tertawa dan menjawab,
"Haha becanda kau Din, sampai detik ini belum pernah aku melihat batang hidung orang yg mencintaimu. Hmm, Ramalan itu sangat tidak cocok untukmu," 
Mamat memperhatikan tahi lalat yang ada padanya, "Din, coba kau cari dulu , aku punya tahi lalat di telapak tangan kiri, pertanda apa itu? " Cepat-cepat Didin  mencari ramalan lagi. "Ini dia Mat, orang yg mempunyai tahi lalat di telapak tangan kiri, artinya dia bisa menjaga hartanya, wah hebat kau Mat! pasti nanti kau bisa jadi orang kaya raya. " Ujar Didin agak sedikit tegas. Mamat  merebut handphone dari tangan Didin. Dibacanya kembali ramalan itu, sambil mencocokan tahi lalat yang ada di telapak tangan kirinya. Kemudian disamakannya lagi.
 "Kau ini aneh Mat, bukannya kau bahagia, malah kau bingung begitu, sini handphone ku". ujar Didin sambil menarik handphone dari tangan Mamat.
Mamat melihat kembali  tahi lalat yg ada di telapak tangan kirinya. Dengan wajah murung Mamat berkata, "Tapi Din, tahi lalat ini sudah hampir pudar, ah saya jadi ragu Din, " Terlihat raut wajah Mamat agak sedikit berkerut, dan lagi-lagi masih memandangi tahi lalat di telapak tangannya itu.
"Sudahlah Mat, Kau harus bersyukur, itu tandanya kau akan jadi orang kaya raya." Kata Didin menyakinkan Mamat.
"Tapi tahi lalatku ini sudah memudar Din, " diulang nya lagi kalimat itu, seraya menunjukkan tahi lalatnya ke Didin. 
"Din, kalau kita bekerja terus menjadi buruh pabrik, bisa-bisa tahi lalatku ini hilang tergesek mesin-mesin itu. Bagaimana aku bisa jadi org kaya, hmm." Kata Mamat agak sedikit kecewa. Dia berpikir, ramalan menjadi orang kaya sepertinya pun akan pudar.

"Aku punya ide Mat. Begini saja, agar kau tak kecewa dan ragu lagi, bagaimana kalau kita beli Spidol Permanen warna hitam untuk menerangi tahi lalatmu yg memudar itu. Kau pasti akan jadi orang kaya Mat, jadi orang kaya!" Didin berteriak-teriak sambil menguncang-guncangkan tubuh Mamat dengan serius. Kontan saja Mamat terbahak-bahak, sebab ia tak menyangka sahabatnya punya ide seperti ini. Dalam hati Mamat berguman sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Rupanya kamu lebih gila dari sekedar ramalan itu Didin, oh Didin".

Fajar bulan , 17 Maret 2017

Tentang Penulis: Diah Febriani, Guru di Sekolah Dasar  Negeri 2 Fajar Bulan dan ikut belajar di Komunitas Sastra Silaturahmi Masyarakat Lampung Barat (KOMSAS SIMALABA)

Tidak ada komentar