Puisi Karya Iman Sembada
PUISI PUISI KARYA IMAN SEMBADA
TAK ADA IKAN
Taka da ikan di dasar cermin
Yang retak, selain wajahmu yang
Koyak. Matamu lesu. Tanganmu menggapai
Angkasa, menemu udara hampa
Di trotoar tak ada yang tertinggal, kecuali
Jejakmu yang dicungkil angin setiap malam
Lalu mata anak-anak di jalan raya
Membidik sejengkal peluang hari esok
Tak ada ikan di dasar cermin
Yang retak, selain wajahmu yang
Kisut dihela jarum jam. Sepasang kucing
Mendenguskan bau pesing dari lorong yang gelap
Di waktu yang lain, engkau membayangkan
Cermin yang retak itu menjelma kolam dengan
Air mancur di tengahnya. Engkau melihat ikan-ikan
Berenang, juga wajahmu yang menggenang di situ: beku dan sepi
Depok, 2015
SEPASANG MATAMU
Sepasang matamu seperti bukit:
Hijau dan sejuk. Suara burung yang
Tersangkut di bulu matamu segera
Dilarikan angina ke lorong telingaku
Percik airmata dihela cuaca
Menjadi kabut. Pagi masih beraroma
Rumputan. Aku ingin masuk ke dalam
Sepasang matamu yang menyimpan telaga –
Ada rakit bambu yang kesepian di situ
Pada setiap tarikan napas, hawa segar
Menelusup ke lorong hidungku; meremajakan
Gairahku dan memperbarui sel-sel tubuhku
Jauh di kedalaman sepasang matamu, aku
Melihat gemericik air menuruni batu-batu
Hitam. Kejernihan membasuh kesenyapan
Sepasang matamu seperti bukit:
Hijau dan sejuk. Pohon-pohon tua tumbuh
Menjulang. Ketika suara burung tersangkut
Di bulu matamu dan percik airmata dihela
Cuaca aku langsung mengembara ke dasar
Sepasang matamu, menaburkan biji-biji puisi
Depok, 2015
ANGIN
Engkau, angin yang menggetarkan ingatan
Masa silam luruh dari almanak. Berhembuslah
Sederhana saja agar ilalang bergoyang riang
Karena engkau adalah angin
Yang menawarkan angan menjadi ingin
Meliuk-liuk; melesak ke lorong batin
Engkau selalu mengada
Namun kugenggam hampa
Selalu bergerak adalah watakmu
Karena engkau memang bukan batu
Kudengar keluh dan lenguh
Samar-samar engkau bawa jauh
Engkau, angin menderu tanpa ragu
Merambahi gairah padang savana. Bahasa
Apa yang engkau ucapkan kepada alam:
Daratan dan lautan bersalaman
Depok, 2015
MALAM TELAH TIBA
Malam telah tiba
Membawa hujan yang tiba-tiba
Mumpung mimpi belum muncul
Dari tidurmu yang masygul. Kenanglah
Gelinjang bulan pada purnama yang lalu
Desir yang alpa kutafsir menjelma
Gigi disiulkan hawa dingin di luar kamar
Ketika hujan reda
Begitu tiba-tiba
Sepasang kekasih memetik cahaya
Lampu-lampu kota
Lalu menyimpannya di hatinya
Depok, Juli 2015
MIMPI MIMPI YANG TERLEPAS
Begitulah, jarum jam mengisyaratkan
Mimpi-mimpi yang terlepas. Angin menyebarkan
Kenangan yang hangus di tengah kemarau
Anak-anak terlanjur tumbuh di jalan raya
Mencari alamat Tuhan sambil mengasah
Keberanian, barangkali, tak ada satu alamat pun
Di kantong batinnya yang rompang. Aspal meleleh
Mendesirkan getir dan parade diorama airmata
Begitulah, mimpi-mimpi yang terlepas
Berserakan di antara almanak-almanak tua
Dalam talkin musim diiringi gemuruh doa
Di kota yang gaduh: kemiskinan menjadi teluh
Aku melihat anak-anak yang tumbuh di jalan raya
Sedang memainkan nasibnya dengan pisau. Entah
Siapa kawan, entah siapa lawan. Pisau yang selalu
Menerjemahkan luka hanya bikin mata berair
Depok, 2015
Tentang Iman Sembada:
Penyair ini lahir di Nglejok, Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Selain menulis puisi, ia juga menulis cerpen. Karyanya dipublikasikan di media massa pusat dan daerah, seperti Suara Karya, Suara Bangsa, Rakyat Merdeka, Republika, Sabili, Fajar Banten, dan lain-lain. Puisinya juga tergabung di beberapa antologi bersama, seperti Resonansi Indonesia (2000), Senandung Wareng di Ujung Benteng (2004), Kado Sang Terdakwa (2011), Tifa Nusantara 2 (2015), Jejak Tak Berpasar (2016), Gelombang Puisi Maritim (2016), dan lain-lain. E-mail: iman.sembadaisme@gmail.com. Kontak: 085890609064.
Dari Redaksi:
Kami memberikan ruang kepada siapapun untuk berkarya. Bagi kami, kesusastraan nasional itu sesungguhnya adalah sebuah keberagaman; mulai dari sastra kaum pemula, sastra kaum tepi, hingga sastra kaum yg telah memiliki label nasional alangkah indahnya bila kita sepakat untuk dilihat secara bersama sama dan miliki tempat serta ruang yang sama pula untuk dihargai sebagai bagian dari corak warna dalam keberagaman. Sebab kita semua memiliki hak untuk hidup serta menemukan bentuk. Silahkan kirim karya anda ke email: riduanhamsyah@gmail.com atau inbox akun fb Riduan Hamsyah. (Salam Redaktur: Riduan Hamsyah)
Tidak ada komentar