EDITORIAL
MENGAPRESIASI kiprah seseorang yang berorientasi kemajuan dan kemaslahatan bersama, layak diposisikan sebagai pahlawan bagi
sebuah perjuangan demi kemajuan umat. Salah seorang warga di daerah pesisir Kabupaten Lampung Barat, tepatnya Kecamatan Krui
Selatan, belum lama ini menyatakan kesediaan dan kesiapan diri mewakafkan sebidang tanah miliknya untuk lokasi pembangunan
sekolah kejuruan di daerah tersebut.
Sikap terpuji seperti itu sejauh ini tak banyak jika tidak mau dikatakan belum ada sama sekali dilakukan perorangan
sebelumnya di Bumi Beguai Jejama Sai Betik tersebut. Ini tentu merupakan sebuah tauladan yang sangat positif bagi upaya
pengembangan kemajuan dunia pendidikan ke depan, utamanya di Lambar, terlebih di wilayah pesisir. Sebab, sekadar catatan, di
Krui Selatan, sampai saat ini belum ada satupun sekolah berstatus negeri tingkat SLTP dan SLTA/sederajat yang dibangun
pemerintah. Karenanya, semangat mewakafkan sebidang tanah ini diharapkan menjadi stimulan terhadap pemerintah agar
memperhatikannya.
Sementara di kecamatan lain, seperti Pesisisr Tengah, SLTP dan SLTA/sederajat berstatus negeri relatif banyak. Karena itu,
bagi upaya pemerataan pelayanan pemerintah di bidang pendidikan, hal ini tentu harus menjadi perhatian yang mendesak
dipenuhi ke depan. Persoalannya bukan sekadar faktor kecemburuan, lebih dari itu terbaikannya masalah pemerataan pendidikan
dan kualitasnya. Terlebih bagi Lambar sendiri, dukungan dana masalah pendidikan ini diplot hingga 40%. Artinya, dari jumlah
tersebut bisa dialokasikan untuk pembangunan prasarana pendidikan, ini sangat memungkinkan.
Terkonsentrasinya prasarana penunjang dunia pendidikan ini, seperti bangunan sekolah, agaknya berbanding lurus dengan item
lain yang juga menjadi variabel penentunya. Misalnya penempatan guru-guru yang ada. Tak dapat dipungkiri jika sebagian besar
guru menginginbkan mengajar di sekolah yang berada di daerah keramaian, seperti pasar atau kota. Sementara di
sekolah-sekolah yang lokasinya relatif jauh dari keramaian, ada semacam keengganan guru-guru untuk mengabdi.
Bukan hanya itu, formulasi ideal penempatan guru atau tenaga pengajar di daerah ramai dan pelosok, semestinya dikoreksi
lagi. Dinas Pendikan sebagai regulatornya harus memulai ini dari sekarang. Itu sejalan dengan semangat dan program
pendidikan gratis yang dijalankan pemerintah bahkan menjadi program unggulan. Sebab, jika masalah penempatan guru-guru di
daerah ramai-pelosok atau terpencil ini tidak dievaluasi, selama itu pula pemerataan kualitas pendidikan terabaikan. Sebab,
bukan hanya guru-guru lama yang menginginkan ditugaskan di daerah ramai, tapi juga guru-guru yang baru diangkat.
Mungkin ada baiknya formulasi penempatan guru yang ada merupakan hasil pengawinan guru-guru lama (senior)-yunior. Ini
dimaksudkan agar pada satu sekulah, misalnya, komposisi antara guru lama-baru proporsional. Sehingga tidak ada istilah
kecemburuan sosial. Selain itu, penempatan seorang guru mengajar di satu sekolah, harus juga memperhatikan faktor domisili.
Seorang guru yang memakan waktu lebih ari 30 menit menuju tempatnya mengajar, tentu kurang efektif lagi. Artinya, seorang
guru yang diharapkan mengajar di salah satu sekolah diambilkan yang relatif dekat domisilinya. (*)
sebuah perjuangan demi kemajuan umat. Salah seorang warga di daerah pesisir Kabupaten Lampung Barat, tepatnya Kecamatan Krui
Selatan, belum lama ini menyatakan kesediaan dan kesiapan diri mewakafkan sebidang tanah miliknya untuk lokasi pembangunan
sekolah kejuruan di daerah tersebut.
Sikap terpuji seperti itu sejauh ini tak banyak jika tidak mau dikatakan belum ada sama sekali dilakukan perorangan
sebelumnya di Bumi Beguai Jejama Sai Betik tersebut. Ini tentu merupakan sebuah tauladan yang sangat positif bagi upaya
pengembangan kemajuan dunia pendidikan ke depan, utamanya di Lambar, terlebih di wilayah pesisir. Sebab, sekadar catatan, di
Krui Selatan, sampai saat ini belum ada satupun sekolah berstatus negeri tingkat SLTP dan SLTA/sederajat yang dibangun
pemerintah. Karenanya, semangat mewakafkan sebidang tanah ini diharapkan menjadi stimulan terhadap pemerintah agar
memperhatikannya.
Sementara di kecamatan lain, seperti Pesisisr Tengah, SLTP dan SLTA/sederajat berstatus negeri relatif banyak. Karena itu,
bagi upaya pemerataan pelayanan pemerintah di bidang pendidikan, hal ini tentu harus menjadi perhatian yang mendesak
dipenuhi ke depan. Persoalannya bukan sekadar faktor kecemburuan, lebih dari itu terbaikannya masalah pemerataan pendidikan
dan kualitasnya. Terlebih bagi Lambar sendiri, dukungan dana masalah pendidikan ini diplot hingga 40%. Artinya, dari jumlah
tersebut bisa dialokasikan untuk pembangunan prasarana pendidikan, ini sangat memungkinkan.
Terkonsentrasinya prasarana penunjang dunia pendidikan ini, seperti bangunan sekolah, agaknya berbanding lurus dengan item
lain yang juga menjadi variabel penentunya. Misalnya penempatan guru-guru yang ada. Tak dapat dipungkiri jika sebagian besar
guru menginginbkan mengajar di sekolah yang berada di daerah keramaian, seperti pasar atau kota. Sementara di
sekolah-sekolah yang lokasinya relatif jauh dari keramaian, ada semacam keengganan guru-guru untuk mengabdi.
Bukan hanya itu, formulasi ideal penempatan guru atau tenaga pengajar di daerah ramai dan pelosok, semestinya dikoreksi
lagi. Dinas Pendikan sebagai regulatornya harus memulai ini dari sekarang. Itu sejalan dengan semangat dan program
pendidikan gratis yang dijalankan pemerintah bahkan menjadi program unggulan. Sebab, jika masalah penempatan guru-guru di
daerah ramai-pelosok atau terpencil ini tidak dievaluasi, selama itu pula pemerataan kualitas pendidikan terabaikan. Sebab,
bukan hanya guru-guru lama yang menginginkan ditugaskan di daerah ramai, tapi juga guru-guru yang baru diangkat.
Mungkin ada baiknya formulasi penempatan guru yang ada merupakan hasil pengawinan guru-guru lama (senior)-yunior. Ini
dimaksudkan agar pada satu sekulah, misalnya, komposisi antara guru lama-baru proporsional. Sehingga tidak ada istilah
kecemburuan sosial. Selain itu, penempatan seorang guru mengajar di satu sekolah, harus juga memperhatikan faktor domisili.
Seorang guru yang memakan waktu lebih ari 30 menit menuju tempatnya mengajar, tentu kurang efektif lagi. Artinya, seorang
guru yang diharapkan mengajar di salah satu sekolah diambilkan yang relatif dekat domisilinya. (*)
Tidak ada komentar