HEADLINE

Editorial

Kehilangan greget adalah pertanda awal menipisnya kepercayaan terhadap bersangkutan, apakah atas nama kelembagaan atau dinas

maupun person atau pribadi. Kalau ada kabar berita tentang seorang pemimpin non-formal yang cukup disegani dan kharismatik,

hanya karena kepleset salah ucap atau tingkah lakunya menyimpang, dipastikan dia akan kehilangan gregetnya. Perkataan atau

ajakannya tidak akan didengarkan dan diikuti lagi oleh orang-orang di sekitarnya atau pengikutnya. Tingkah lakunya juga

diabaikan. Akan halnya juga dengan seorang pemimpin formal—yang karena jabatan kedinasan maupun politis.
Kesimpulannya, siapapun dia dan berasal dai lembaga apapun, ketika dipercaya menjadi pemimpin, harus mampu menselaraskan

perkatan dengan perbuatan. Bukan jamannya lagi mengumbar janji. Tidak waktunya lagi mengikat diri orang perorangan atau

kelompok dengan retorika verbal yang hanya manis didengar. Rakyat yang semakin maju dan cerdas ini, kini lebih mengutamakan

bukti. Bukti bahwa kepemimpinannya diakui. Bukti bahwa kepemipinannya diikuti. Semua itu tentu akan diikuti manakala seorang

pemimpin sebagaimana dimaksud mampu memosisikan diri sebagai panutan di tengah masyarakatnya.
Seekor harimau—yang dalam berbagai istilah dikiaskan sebagai raja hutan. Kesannya, selain garang juga tidak segan-segan

menggigit hewan lain di sekitarnya. Tapi, apa daya kalau harimau itu kehilangan taringnya untuk mengigit, ompong. Harimau

tersebut hanya besar namanya namun sebetulnya kompong atau tidak bisa menunjukkan eksistensinya sebagai raja hutan yang

sangar dan berwibawa itu tadi. Kaitannya dalam hal ini, adalah seorang yang ditahbiskan sebagai pemimpin harus mampu

menempatkan diri, ucapan, dan pebuatan sebagai pimpinan. Tauladan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat jauh dari

hal-hal mungkar dan negatif lainnya.
Jika yang dimaksud pemimpin itu adalah seorang guru, tentu harus menunjukkan sikap dan perbuatan yang layak digugu dan

ditiru. Artinya, seorang guru mengutamakan tugasnya mendidik anak-anak asuhannya. Apakah itu guru di sekolah formal, di

pondok-pondok pesantren, guru silat, guru mengaji, dan guru-guru lainnnya. Menjadi seorang guru relatif mudah jika standar

minimalnya hanya persyaratan formal memiliki ijazah. Tapi penerapannya di lapangan bisa disebut multikomplek. Ia harus

menjadi panutan, mulai dari cara bicara, sikap, cara jalan, pergaulun, maupun tingkah laku di sekolah dan lingkungannya

sehari-hari.
Demikian juga ketika yang dimaksud pemimpin tersebut adalah komunitas elit, seperti kalangan angota dewan. Menjadi anggota

dewan bukanlah perkara mudah dan bisa dilakukan setiap orang. Karena itu, ketika seseorang setelah melaui proses

‘perekrutan’ yang cukup berat, ia bisa disebut juga sebagai pemimpin. Pada posisi ketika seorang telah menjadi anggota dewan

dengan jabatan formalnya di komisi-komisi, haruslah berbicara atas nama rakyat, bukan hanya partai atau semata untuk

kepentingan tertentu. Makanya aneh jika seorang yang masuk kelompok ini berjanji memperbaiki institusi tertentu, misalnya,

tapi tidak pernah ada action-nya.
Orang (baca: konstituen) akan menghafalnya sebagai angota dewan yang doyan berjanji kalau tidak mau dikatakan bohong. Karena

itu, jika angota dewan yang tergabung dalam komisi-komisi haruslah membuktikan janji-janji yang telah terlontar tersebut.

Seperti memanggil untuk mendengarkan penjelasan pejabat institusi tertentu dalam rangka perbaikan kinerja, produktivitas,

dan prestasi tertentu. Ini baik dilakukan karena menyangkut eksistensi komisi itu sendiri. Dan jangan lupa, konstituennya

akan dengan cermat mencatat serta mengritisinya jika ternyata penerapannya tidak ada. (*)

Tidak ada komentar