HEADLINE

Tajuk - 18 Agustus 2011

Ketika menyebut kata “proyek”, yang tergambar adalah pekerjaan pemborongan dengan nominal tertentu. Besar kecilnya nilai suatu proyek sangat relatif, tergantung klasifikasi kemampuan pemborong atau rekanan. Proyek dengan nilai miliaran, mungkin belum begitu dilihat oleh pemborong berskala besar.

Sebaliknya, proyek dengan nilai yang relatif kecil tak dipermasalahkan dan tetap dikerjakan oleh rekanan pemula atau “rekanan” yang dipaksakan menyandang predikat pemborong karena dinilai telah berjasa. Misalnya, seseorang yang dianggap telah berjasa dalam pemenangan seorang calon presiden, calon gubernur, atau calon bupati/walikota.

Biasanya nominal bukanlah ukuran sebagai bentuk apresiasi atau tepatnya tanda ingat ketika ihwal pemborongan ini diserahkan bukan pada ahlinya, bukan kepada rekanan yang kapabel, niscaya pekerjaan akan amburadul atau dengan kata lain mengabaikan aspek kualitas.

Atau singkatnya, paket proyek pekerjaan itu dijual kepada rekanan dengan standar harga yang disepakati. Akibatnya, objek pemborongan hampir bisa dipastikan sangat-sangat rendah kualitasnya. Sebab, orang yang dipercayakan mengelola suatu proyek lantas menjualnya kepada pemborong, kedua-duanya tentu menginginkan keuntungan. Belum lagi pagu setoran yang juga telah ditentukan.

Begitulah mata rantai pengerjaan proyek di negara ini. Semua ingin kebagian proyek. PNS dan pejabat bicara proyek, penegak hukum bicara proyek, penggiat organisasi nonpemerintah dan wartawan bicara proyek, wakil rakyat bicara proyek, pengurus partai politik bicara proyek, pengurus organisasi bicara proyek, guru dan kepala sekolah bicara proyek, komite sekolah juga bicara proyek.

Bagaimana lantai yang disapu akan bersih jika tukang sapu berikut sapu-sapunya kotor. Bagaimana sebuah proyek akan berkualitas dengan plot dana yang telah dianggarkan kalau sebelum dikerjakan telah dipotong di sana-sini yang cukup banyak. (*)

Tidak ada komentar