HEADLINE

Semarak Puisi Malam Minggu (Edisi 76), 12 Agustus 2017_ PUISI PUISI NURIMAN N. BAYAN

Dari Redaksi:
Kirim Puisi Minimal 5 Judul, Esai, Cerpen, Cersing (Cerita Singkat) untuk kami Siarkan setiap malam minggu ke e-email: riduanhamsyah@gmail.com
beri subjek_SEMARAK PUISI MALAM MINGGU
Semua naskah, biodata dan foto bebas dalam satu file, tidak boleh terpisah
(Program ini adalah alternatif publikasi karya-karya sobat semua juga sebagai bentuk partisipasi untuk meramaikan kancah kesusastraan tanah air, mohon maaf belum dapat memberikan honorium)




PUISI PUISI NURIMAN N. BAYAN


MERDEKA MEREKA

Sejarah bilang aku telah merdeka
sejak merah putih menjadi bendera
namaku dikibarkan di atas tulang-belulang
dari Sabang sampai Marauke
tapi kemerdekaan yang mana? kemerdekaan siapa?
kudengar namaku disebut-sebut di baris-baris lagu
ketika ibuku meniupkan lilin ulang tahun
di sepanjang jalan kota dan desa desa
anak anak, ibu ibu muda serta ayah ayah gaul
menyanyikan sambil teriak-teriak 
merdeka, mereka, merdeka, mereka
untuk mengirimkan pesan kepada dunia
bahwa aku sudah berkali-kali merdeka? aduhai betapa bahagianya aku.

Sehabis upacara, aku kembali jadi cemas
jadi ombak yang tak henti-henti menahan rindu
jadi puisi yang tak selesai menyimpan luka
maka aku putuskan menyusun satu demi satu batu ketabahan
sementara kekasihku dan mantan kekasihku, seperti biasa
masih setia mengampanyekan cintanya melalui mikrofon
kulihat wajahnya di surat kabar, di televisi
sampai tak tahan kembali aku terbuai.

Setelah kembali kuterima cintanya
ia pun menjelma lumba-lumba
maka kubiarkan mataku berkunang-kunang
daripada melihat diriku berjalan 
terengah-engah, terjatuh-jatuh
dengan kepala yang gundul 
bahkan aku telah mandul semenjak rahimku ditusuk-tusuk
pisau korupsi, jarum kolusi dan linggis nepotisme
tapi duhai kekasihku, berapa lama aku sanggup menutup mata?

Di timur aku kembali merdeka
sagu, pala, kelapa dan cengkeh berguling-guling
bagai anak anak kehilangan balon hijau
tapi kusaksikan sawit bernyanyi sambil menari-nari
 tak tahu malu
tapi lihatlah duhai kekasihku 
anak anak sekolah begitu asyik terapung apung di atas sungai
“kemerdekaan ke mana?” bisikmu
maka kuputuskan untuk pulangkan gelisah ini  ke asalnya
sambil teriak-teriak dalam hati
merdeka, mereka, merdeka, mereka
tapi jangan sekali-kali kau bilang aku tidak bahagia
karena sesungguhnya aku sudah terbiasa bersahabat dengan kenyataan ini.

Ternate, 12 Agustus 2017.



DI TANGAN IBU BAPAK

Di tangan ibu dan bapak
kami menjelma kapal-kapal cadik
mengapung di laut, kami bawa kemauan
dengan berani kami mendayung
menuju ke pulau pulau impian.

Di dermaga
kami kembali menjadi manusia
kami tanam pohon sabar
kami dirikan tiang tabah
di kamar, di jalanan
di ruang ruang belajar
di kepala, kami tulis sepasang nama
dalam sunyi, kami nyalakan doa doa 
sebagaimana pesan ibu dan bapak
“Jika kami tak di sampingmu, Allah bersamamu.”

Ternate, 11 Agustus 2017.



DUA WAJAH

Hai angin tembaga
jangan kira aku ranting yang tak pernah patah
lalu diam diam kau lemparkan gergaji
sementara hari hari habis, kuhitung sesak
kuhitung suara dan pesan 
dari layar ponsel, siang malam berdesak-desak
menyeret jiwaku ke ladang ladang yang jauh.

Aku bukan batu 
sesukamu menjadikan kue pembangunan
kalau sudah begini
aku belum pandai merobohkan bukit
sebab sudah kuperingkatkan berkali-kali
tentang dua wajah itu
tapi sayangnya kepalamu terlampau membatu.

Ternate,  29 Mei 2017.



LELAKI DARI GUNUNG

Kira-kira malam di ujung hidung
ketika awan mengepung langit kota
ia turun membelah setapak
tepat, pukul 2.00
ia menembus Tubo dan dan mengupas setengah Akehuda
kudengar orang orang sibuk mengemas pakaian
kulihat puing-puing rumah mengapung di lautan
tapi aku tak ingin mencurigai hujan.

Ternate, 2014.
Catatan:
Tubo dan Akehuda: Dua kelurahan yang berada di Ternate Utara.



MEMBACA JALAN PULANG

Pernah aku tersesat di sebuah jalan
ketika nasihat aku belakangi
pada akhirnya hanya sebakul sesal dengan segerobak luka
aku menyetir hingga tiba di terminal
di mana aku mulai berlarian melukis tapak kaki.

Ada beberapa semak belukar yang mesti aku jinakan
sebab jalan telah ditumbuhi rumput rumput liar
sedangkan Tuhan tetap peka menitipkan cahaya.

Ternate, 10 Januari 2017.



TARIAN DUA SISI 

Jauh sebelum mama mengalamatkan kita ke dunia
ada dua sisi yang selalu mengintip dari jendela
sehingga purnama dan kelam 
begitu dekat dengan warna-warna senja.

Ketika kelam memagari langitmu
purnama sedang berwisata di langitku
sehingga kita seperti berlarian 
dari suatu kampung ke kampung berikutnya.

Ternate, 6 Januari 2017.


Tentang Penulis:
Nuriman N. Bayan atau lebih dikenal dengan Abi N. Bayan, lahir di Desa Supu Kecamatan Loloda Utara Kab. Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara pada 14 September 1990.  Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP-Ukhair. Saat ini membina Komunitas Parlamen Jalanan Maluku Utara (Komunitas Teater) dan tergabung di Komsas Simalaba. Karyanya dipublikasikan di media online www.wartalambar.com, litera.co, simalaba.com, tergabung dalam antologi bersama: Kita Halmahera, Kitab Penyair Maluku Uatara (Garasi Genta, 2017), Embun-Embun Puisi (Perahu Litera, 2017), Majalah Simalaba (2017), dan Majalah Mutiara Banten (2017). Selain menulis puisi, ia juga menulis berjumlah naskah teater (Potret Pendidikan Bermata Uang, Lihat Tanda Tanya Itu, Biarkan Kami Bicara, Indonesiaku Kau Hilang Bentuk Remuk, Membuka Nestapa Yang Hilang), telah dipentaskan pada setiap kegiatan (kampus maupun di luar kampus). Kini tinggal di Ternate Utara.


Tidak ada komentar