HEADLINE

(Edisi 74)_PUISI PUISI NENI YULIANTI

DARI REDAKSI
Kirimkan Puisimu minimal 5 judul, dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas dalam satu file ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Redaksi akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 2 bulan  puisimu tidak dimuat maka dinyatakan belum layak. (Mohon maaf sebelumnya laman ini belum dapat memberikan honorium). Salam segenab redaksi.






PUISI PUISI NENI YULIANTI


SEPUCUK DAUN

Ada bening embun di sepucuk daun, menawarkan sejuk pada matahari 
lalu angin menyentuh lembut dedaun 
dan lindap pada aliran sungai
mengabarkan berita pada bebatuan yang merintih.

Masih terlalu pagi kekata yang dipungut sajak dahulu
aromanya hambar di ujung nadi
sebab
daun daun yang tertiup angin terhempas di ujung jalan, bagai hilang aroma tubuh yang dicari.

Ya, sepucuk daun masih terlalu pagi untuk dipetik
atau ranumnya hari melekat pada tangkai kenang
dan biarkan Ia berdamai dengan pisau waktu.

Cirebon, 30 Juli 2017.

MAWAR

Sekuntum mawar yang lindap di beranda 
menggoda belalak kumbang sekedar tuangkan sapa
pada sajak dahulu.

Lalu-

tuan datang dengan detak jantungnya
menguliti semua hama pengganggu
sebab
mawar adalah Puisi yang terukir indah menjelma Dealova.

Ya, sekuntum mawar itu sudah layu
menggigil di ranah sunyi
rindukan matahari.

Cirebon,  31 Juli 2017.



AKU MASIH DI SINI

Aku masih di sini, di denyut hulu bermata biru
ketika kau sajikan puisi
dengan hangat secangkir kopi.

Perlahan kita membujuk angin
dan membawanya ke sebuah 
rencana menghias melati
meski- kita bertikai dan menumpahkan lagi hujan di sudut malam.

Ya, aku masih di sini
di balik senyuman yang hendak kutuangkan pada sepasang puisi
agar retakkan pada cermin tak lagi melukai tubuh.

Aku masih di sini
berharap pada rembulan
agar mencuri waktu di persimpangan jalan.

Cirebon, 29 Juli 2017.



RANTING DI MUSIM KEMARAU

Ranting itu tumbuh di musim kemarau
ketika matahari menyulutkan amarahnya 
bercabang di suatu pemikiran- bagai esok adalah harapan.

Di sini, rumput-rumput liar berayun mengikuti arah angin
lalu berkata,
"kau tetaplah batu
kerdil di otak dan membisu."

Namun-

dengan ranting yang berserak dihempas keadaan
Ia percaya batu hitam kelak menjadi pualam
dan akan bercerita di segala musim "aku ada dari Tuhan dan untuk Tuhan"
Ia berupaya menembus kabut tebal dengan segumpal harap di ujung senja.

Cirebon, 24 Juli 2017.



LELAKI HUJAN

Kau tawarkan hujan di tanah hati
saat darah mengucur di nadi
menggigil tubuh membaca bahasamu
terasingkan kembali di ranah sunyi.

Entah, lelaki mana lagi yang menawarkan hujan 
aromanya memulangkan tubuh 
terjerembab- di ranah tak bernada.

Cirebon, 20 Juli 2017.



KEPADAMU PENGUKIR DEALOVA

Hai-
pengukir Dealova di atas lembaran langit! 
mungkin kini sajak telah mengemasi warna 
melebur rasa- tertiup Angin Gunung
atau mengeja bahasa hati.

Lalu-

hempasan ombak menggulung kisah
terlahir dari pertikaian karang
menghapusnya di tanah Pesisir.

Entah, bagaimana lagi caranya Ia pulang
tertawan mendung yang pekat
hilang desiran Puisi pada nadi
berserak pada cermin retak.

Cirebon, 4 Juli 2017.



LANGIT DI KOTAKU

Ada mendung yang bergelayut manja
membawa rintik-rintik kecil memberi tanda
hujan kan segera tiba.

Dan

angin-angin malam 
menghempaskan hujan
membawa sayup alunan ayat suci 
yang berdenyar dari beberapa Rumah Allah.

Seketika langit di kotaku
hening memaknai jiwa yang bertasbih
terbang dengan segumpal awan bersayap
mengabarkan bahwa kota kami belum mati.

Cirebon, 20 Juni 2017.



PENA DARI CIREBON

Telah aku satukan tubuh ini
pada seuntai sastra yang bermula berwarna darah
menyeduh kisah hati 
yang tercabik di atas reruntuhan istana cinta.

Lalu-

dengan sekuat keteguhan yang kupunya
yang terlahir dari sisa air mata
menjelma buih puisi 
merangkak pasti walau tertatih.

Ya, ya di sini di Pesisir Cirebon
bawakan angin yang menitip jejak
pada goresan pena
mengukir kisah baru
sebab kisah kemarin adalah sejarah.

Cirebon, 20 Juni 2017.



MEMINJAM WAKTU

Tuhan,
terdengarkah kepadaMu decis burung di hutan sunyi meratapi siang dan senja hari? 
Di padang lantang menangis kehilangan arah jalan pulang
berputar putar terbang mengelilingi rimbunnya belantara.

Perlahan malam turun melilitkan kesunyian
ada resah yang lindap memberontak
diam diam mengutuk waktu
mencongkel kenang yang tinggal di kepala.

Tuhan, 
maafkan aku yang remuk diri ini 
mengeluh dan mengaduh di sepanjang jalan.
Dan kembali mohon padaMu
pinjamkan waktu untuk aku berbenah diri dari gelimang rasa yang bersalah.

Cirebon, 20 Juni 2017.



SELENDANG MAYANG

Masih hangat dalam kotak kenang
aroma yang berembus
mencari jalan pulang di antara rumpun ilalang.

Yang berdenyar hilir mudik di jantung detakkannya hiasi dinding hati
bawakan Angin Gunung ke Pesisir 
warnai nadi dengan ikhlas.

Sesimpul senyum terukir manis di bibir 
kala tubuh temukan pelangi 
sejukkan taman puisi yang tertata indah di bawah rembulan.

Hai-

pelukis Dealova di lembaran langit!
Selendang Mayang yang kau kenakan padaku
teduhkan jiwa dari hujan yang merintih.

Cirebon,  6 Juni 2017.




Tentang Penulis: Neni Yulianti lahir di Kota Cirebon, 20 Juli 1987. Bekerja pada perusahaan swasta CV. Citra Mandiri Bersama di bidang kontraktor dan instalasi listrik.
Memiliki hobi menulis puisi dan puisi-puisinya pernah dipublikasikan di media online www.wartalambar.com

Tidak ada komentar