HEADLINE

Cerpen Kadri Usman "AKU DAN KEDAI KOPI"


DARI REDAKSI
Kirimkan Cerpenmu dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas dalam satu file ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Redaksi akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 1 bulan  Cerpenmu tidak dimuat maka dinyatakan belum layak. (Mohon maaf sebelumnya laman ini belum dapat memberikan honorium). Salam segenab redaksi.


Cerpen Kadri Usman
AKU DAN KEDAI KOPI

Berambut arai, berwarna kulit gelap, begitulah ciri dari orang ketimuran Indonesia, sebuah hal yang sudah jadi identik, walaupun pada aspek kenyataannya, ternyata masih juga begitu banyak yang punya rupa seperti para artis ibu kota, tetapi itu tidak masalah, soal rupa kita cenderung menaruh pikiran pada ranah keciri khasan ketentuan Tuhan sebagai takdir yang memilahkan bentuk simbol kehidupan seperti halnya sebuah mangkuk tak bisa di sebut gelas atau sebaliknya.
Malam ini kita nikmati rembulan yang datang dari kota metropolitan sebagai bentuk refleksi kecil setelah seharian kepala kita di hujani dengan persoalan tanggung jawab hidup, malam ini lampu-lampu kemilau di sepanjang jalan menuju perempatan masjid, dan suara-suara kendaraan masih saja mendengung di telinga di tambah lagi dengan suara-suara hewan kecil dari semua penjuru arah seakan membawa kita pada ruang-ruang yang berbeda dengan saat ini, secangkir kopi bersama kedai dan lembar pintu yang sedikit tertutup, di luar dan beberapa meter dari halaman ada sebuah lampu yang terlihat suram, seperti seseorang yang belum makan beberapa hari ini, ia pucat dan tak bertenaga.
Di bawah cahaya yang samar-samar itu, meja kecil berukuran 1x1 m persegi, dengan tinggi 30 cm ini merebahkan punggungnya untuk secangkir kopi dan sebungkus rokok, sebuah kain gorden di samping jendela menghalangi cahaya yang langsung memanah wajah kami sehingga agak gelap di wajah kehitaman kami, aku dan beberapa temanku dari Negeri Timur Indonesia.
Sekitar beberapa menit menikmati jejumputan kopi dan tarikan asap rokok, datang beberapa orang lagi memasuki kedai kecil itu, terlihat jelas di wajah plontos dan kulit mereka sudah pasti mereka bukan orang dari timur, pakaian yang mereka kenakan serba hitam di sandingkan dengan celana jeans panjang, beberapa dari mereka memakai celana pendek, ada kesan di pikiran saya kalau mereka dari sebuah komunitas yang entah apa, pakaian yang mereka pakai akrab dengan wajah kami, hitam, akrab karena identik. Tapi kami benar-benar tak kenal antara satu dengan yang lain.
Lama nian kami sengaja akrab dengan meja kecil itu, untuk sekadar melilit cerita-cerita, banyak omongan yang kami bincangkan, seperti halnya sastra, politik dan lebihnya kepada rana ketimuran, anggap saja itu diskusi panel, yang memang paling sering terlihat di komunitas-komunitas kaum pelajar, atau barangkali seniman-seniman.
Orang-orang yang ada di belakang kami juga sebagai perisau, itu terbukti dari setiap celoteh yang kadang menghampiri telinga saya. Ini kedai kopi, tak ada music, tak ada wanita penari telanjang, dan tak ada beberapa botol wisky dan gelas yang berjejer, meski begitu ini tetap merdu.
Mungkin dalam beberapa dekade terakhir tempat inilah yang paling sering di kunjungi, selain dari pada takaran kopinya sesuai selera, disini juga tempat paling asri untuk sekadar berimajinasi. Beberapa malam sebelumnya terlihat beberapa orang menikmati kopi dengan buku tebal di sampingnya, kadang-kadang di temani juga dengan sesosok pasangan wanitanya.
Bagiku kedai kopi ini memberi ruang-ruang tertentu, aku pernah memasuki restoran berkelas di sudut kota ini, dan beberapa kali memasuki kedai ini aku merasakan perbedaan, memang kedai kecil ini tak semegah restoran dengan sejuta pelayanan, tak ada pelayanan cantik, tak ada music sebagaimana yang kurasakan di restoran bertaraf bintang lima itu. Tetapi di tiap makanan pada restoran dan orang-orang yang ku lihat aku sadar ini bukan duniaku, disini bukan tempatku dan kursi ini bukan milikku. Aku tak paham dengan segala bisnis dan proyek mahabesar yang mereka rancangi. Aku jadi merasa seperti sedang berada di kota New York sehingga tak ada sesiapapun yang dapat ku ajak bicara.
Aku ini hanya lelaki dari Timur Indonesia, yang malam ini duduk kembali di sini merenungi nasib-nasib nanti yang dalam kalutan suka duka akan ku jemput suatu hari nanti. Aku pikir beberapa temanku juga punya harapan yang sama dengan ku.
Aku ingat betul sebuah buku yang di kirim gadis kenalanku dari tanah jawa seminggu yang lalu, beberapa malam itu ku baca hingga AKU DAN KEDAI KOPI berlarut-larut, bahkan dalam beberapa malam ku jemput pagi tanpa rencana, sehingga aku melewati beberapa siangku dengan tidur pulas. Aku rasa buku itu cukup membuat aku betah dengan segala isinya, sebuah antologi penyair ternama yang dengan jeniusnya memainkan frasa, rima dan makna tiap bait puisinya. Dan semangat yang juga terasa karena aku melihat siapa yang memberi buku ini hehe.
Malam ini aku tak banyak mengeluarkan energi untuk bicara banyak, aku memilih diam dan banyak menyimak, pembicaraan manis yang melingkari kedai kopi ini memaniskan suasana.
Orang-orang yang duduk di belakang kami, belakangan kami paham mereka adalah sekelompok orang dari tanah jawa, sebuah logat yang tanpa penjelasan lagi semua orang sudah pasti punya jawabannya.
Entah karena apa mereka terdengar berbicara ke arah ketimuran, dan suara-suara itupun sampai ke telinga saya. Sayangnya antara kebisingan suara malam dan jarak membuat saya kurang begitu menikmati apa yang mereka bicarakan. Hanya sekali saja saya mencoba merekam jejak bahasa mereka dan sebagai asumsi saya putuskan mereka perlu  banyak   lagi membaca referensi mengenai dunia Timur Indonesia atau akan lebih baik kalau traveling biar arah bicaranya tepat sasaran tanpa plinplan.
Mungkin bagi kebanyakan orang di Indonesia bagian barat terlalu standar dalam menentukan kesimpulan mengenai kami, ketika wajah dan kulit kami di sesuaikan dengan hati dan perilaku, apalagi di tinjau dalam aspek logat kami yang memang kasar, maka sudah tentu kami tak lebih dari pada seekor binatang buas yang keluyuran di lahan domba.
Atau bisa jadi karena peristiwa tragedi poso tahun 1999 itu masih menyisahkan kenangan manis di pikiran mereka sehingga apa yang terpikirkan hanya menyangkut dunia kekerasan.
Perspektif seperti inilah yang selalu di konsumsi publik, dengan standar sikologi radikalisme menjalar sampai pada otak-otak mereka, yang pada akhirnya menempatkan sesosok ketimuran sebagai orang yang memiliki sifat kekerasan, tak ayal lagi di beberapa tempat sering saya mendengar kalau orang timur itu jahat, yang artinya orang berkulit hitam itu jahat. Saya sering tertawa kecil merenungi makna bahasa yang terkesan meliar tanpa terkontrol itu, beberapa saat yang lalu saya juga pernah di suguhi sebuah perbincangan mengenai dunia ketimuran ini, dan aktornya sepasang laki-laki dan perempuan dari tanah jawa. Keduanya berstatus sebagai anggota kepolisian, yang lelakinya di tugaskan di daerah jawa sementara yang wanitanya di tugaskan di tanah Maluku. Percakapan ringan; di mulai dengan sapa dan berbagi kabar, setelah si pak pol itu bertanya :
“kamu tugasnya di mana?”
“di maluku” jawab ibu pol.
Sang lelaki seperti kerasukan lalu dengan tegas menjawab
“kamu tidak takut? Di situkan banyak teroris”
Seperti sebuah keris telah menusuk di jantungku saat itu ketika harus larut dalam percakapan ini.
Dunia ketimuran di jadikan markas kekerasan melalui praduga, hanya karena multikulturalisme yang begitu mengental dan peristiwa konflik atas nama sara kita selalu menjadi objek hukuman dalam perspektif yang sesungguhnya sangat keliru, ketika itu saya punya pikiran jika seandainya di dunia timur sebagai ladang teroris, berapa kali kejadian bom bunuh diri yang terjadi di Maluku, bukankah itu malah justru terjadi di tanah jawa. Jika soal konflik yang jadi pijakan mainset, hampir setiap saat kita di suguhkan konflik di kota-kota besar di tanah jawa.
Pada konteks inilah aku aku mencair di kedai kopi yang manis ini, dan malam-malam yang berdiri di balik daun pintu melankoliskan wajahku, sungguh ketimuran memang si hitam tetapi hanya hitam yang paling akrab dengan kata manis. Keduanya adalah pasangan yang sangat serasi, jangan menghantui diri anda sendiri di pikiran anda yang menjadikan anda seorang penakut akibat kesalapahamanmu.



Tentang penulis :
Kadri Usman, pemuda kelahiran 1993 di Halmahera ini aktif sebagai pengurus Rumah Baca, menerbitkan buku antologi cerpen: Seraut Cinta Dalam Kisah (Pena House 2016) dan antologi puisi: Isyarat (Perahu Litera 2017). Kontributor di beberapa buku antologi bersama, salah satunya buku: Kita Halmahera, dan beberapa cerpen dan puisi serta opininya di muat di Malut Post.


Tidak ada komentar