HEADLINE

Cerpen Vitra Fhill Ardy "Di Sebuah Taman Kota, Kau Tinggalkanku Selamanya"


DARI REDAKSI
Kirimkan Cerpenmu dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas dalam satu file ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Redaksi akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 1 bulan  Cerpenmu tidak dimuat maka dinyatakan belum layak. (Mohon maaf sebelumnya laman ini belum dapat memberikan honorium). Salam segenab redaksi.


Cerpen Vitra Fhill Ardy
"Di Sebuah Taman Kota, Kau Tinggalkanku Selamanya"

Sialnya, senyum yang Maemun berikan untukku, tempo hari, masih ada di benak ini. Aku tak tahu kenapa. Kemarin, ia datang lagi kepadaku hanya untuk pamit. Ia pamit untuk meninggalkanku selamanya.

Tiga bulan yang lalu aku melamar Maemun, belum pertemuan antara keluarga memang. Lamaran itu diterimanya tapi tak lama setelah itu, ia pergi. Pindah rumah. Pergi entah kemana aku tak tahu.

Aku pernah mencarinya, teknologi sudah semakin canggih tapi tetap saja hasilnya nihil. Tak ada kabar. Tetangganya pun tidak tahu pasti mereka pindah kemana.

Yang aku tahu, ayahnya memang tidak menyukaiku. Iya memang tidak menjodohkan anaknya, dan Maemun bebas dengan siapa saja asal tidak denganku.

Maemun cerita padaku kalau ayahnya pernah menyebutku, "Keturunan dari Perebut Pacar Orang Paling Ulung Sedunia". Awalnya aku tak mengerti apa maksudnya. Apa ada kaitannya dengan ayahku? Akhirnya kuceritakan semua pada ayah dan bertanya padanya, benar, kalau ternyata ayahnya Maemun adalah teman ayahku saat muda. Sahabat malah. Tapi bertengkar karena wanita. Cinta segitiga.

Aku menyebut konflik itu, sentimen masa lalu. Dan ayah bercerita panjang lebar tentang itu.

***

Bunyi krasak-krusuk di sekitar semak dekat kuburan yang cuma diterangi cahaya bulan. Gunardi, nama ayahku, yang sudah sejak tadi mencari-cari pujaan hatinya langsung berlari ke arah semak itu.

Matanya terbelalak karena melihat apa yang ada di depannya. Sepasang muda-mudi. Mereka hampir melakukannya, tapi berhasil digagalkan oleh Gunardi yang meninju pipi kanan lelaki itu. Lelaki itu terhuyung dan mencoba melawan, tapi tak kuat lantas ambruk.

"Kau apakan Darsihku ini, Munawar?" tanya Gunardi. Ia menopang tubuh wanita bernama Darsih itu yang sedang setengah sadar dengan lengannya.

Munawar tak menjawab dan mengerang kesakitan. Ia juga setengah sadar. Kini, Darsih dibiarkan di atas tanah sebentar oleh Gunardi, karena Gunardi menghampiri Munawar lagi. Ditinjunya Munawar, kali ini pipi sebelah kiri. Munawar kesakitan kemudian.

Gunardi balik lagi menopang Darsih. "Mampus, kau!" teriaknya ke arah Munawar. "Tapi kau tak apa, kan, Dar?" tanyanya pada Darsih.

Darsih menggeleng. Syukurlah, pikirnya. Setelah itu Gunardi mengantar Darsih pulang ke rumah meski dengan susah payah.

***

Awalnya, Darsih memang berpacaran dengan Munawar. Cukup lama tapi akhirnya mereka bertengkar lantas berpisah. Kau tahulah, wanita tidak suka lelaki yang kasar.

Tapi dasar Munawar cinta mati, Darsih yang tak lama setelah itu dekat dengan Gunardi, sahabatnya, malah menuduh Gunardi sebagai biang keladi penyebab putusnya hubungan mereka berdua.

Dan setelah Darsih berpacaran dengan Gunardi, Munawar makin benci setengah mati. Apapun yang mereka berdua lakukan, Munawar tak suka. Lantas ia merencanakan sesuatu yang buruk.

Saat momentum itu tiba, yaitu saat Darsih dan Gunardi bertengkar, diajaklah Darsih oleh Munawar pergi ke suatu tempat. Darsih tak menolak karena ketika diajak, Munawar berjanji membawanya ke tempat yang bisa menghilangkan rasa resah juga gelisah.

Tak lupa, Munawar membawa sebotol minuman yang ia katakan kepada Darsih, adalah teh. Dan terjadilah kejadian di semak-semak itu.

***

Esok hari setelah kejadian tersebut, Gunardi mendatangi rumah Darsih. Darsih menyambutnya dan mereka berdua duduk di kursi teras rumah.

"Maafkan aku soal itu, Dar," Gunardi memulai obrolan.

"Soal apa?" tanya Darsih.

"Pertengkaran kita."

"Sudah kumaafkan. Untuk apa meminta maaf?"

"Kau tahu, kan, dalam situasi apapun, entah sedang salah atau tidak, lelaki harus meminta maaf kepada wanita," Gunardi meledek.

"Tapi aku bukan wanita yang seperti itu," Darsih tak terima. "Sebentar, biar kuambilkan minum."

Darsih beranjak dari kursinya, tak lama ia kembali lagi membawa nampan berisi dua gelas air putih sambil berbicara, "Lagi pula aku yang harus meminta maaf padamu," lalu Darsih menaruh gelas di meja yang letaknya di antara kursi, ia duduk lagi dan melanjutkan, "kalau saja kemarin aku tak pergi dengan Munawar, tentulah aku tak akan merepotkanmu."

"Merepotkan apanya? Tidaklah, Dar. Kemarin aku hanya khawatir padamu karena..."

"Khawatir?" Darsih cepat memotong.

"Ya, khawatir. Kemarin aku ke rumahmu dan kata ibumu, kau pergi dengan Munawar. Pasti ada yang tidak beres. Ternyata benar."

"Aku yang salah," Darsih memelas.

"Tidak, Dar. Aku yang salah. Coba kalau kemarin aku yang ada di sampingmu, ceritanya akan lain."

"Tidak. Aku yang salah, Gun."

"Aku, Dar." Dan mereka terus mengulang percakapan itu lalu bersenda gurau setelahnya.

***

Kau tahu, Darsih yang diceritakan oleh ayahku itu, adalah ibu yang melahirkanku. Sedang Munawar, menikah dengan wanita lain dan hasilnya adalah seorang anak yang cantik, yaitu Maemun.

Aku bisa maklum kebencian yang ditunjukkan ayahnya Maemun padaku. Sebagai lelaki, kalah dalam perebutan soal wanita, mungkin hal yang memalukan.

Kalau ayahnya Maemun masih mempermasalahkan hal itu, beda dengan ayahku. Ayahku sebenarnya sudah melupakan masa lalu itu. Selain umurnya yang sudah tua, aku rasa ia seperti itu karena ia adalah pemenangnya.

Tapi aku tak bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajah ayahnya Maemun, misal, andai saat itu keluarga Maemun tidak menghilang dan aku dan keluargaku bertandang ke rumahnya, lalu ayahnya Maemun harus melihat orang yang sangat dibencinya sekaligus orang yang ia cintai. Ayah dan ibuku. Aku tak bisa bayangkan.

Sedang soal kedatangan Maemun kemarin, jujur membuatku terkejut.

Hari itu hari Minggu dan Maemun datang ke rumahku pagi-pagi, saat aku belum mandi dan sedang asyik menyesap kopi di ruang tamu.

"Assalamu'alaikum," terdengar dari luar, suara wanita, begitu lirih.

"Wa'alaikumsalam," aku menyahut. Lalu menuju pintu yang memang dibiarkan terbuka.

Baru sampai ambang pintu, aku dibuat terkejut. Di depanku berdiri seorang wanita dengan rambut sepunggungnya yang diikat acak, wajah yang pucat berkeringat seperti habis berpergian jauh, dan tampak lunglai.

Ia juga memakai rok semacam kain rajut yang sedikit melebihi lutut berwarna abu-abu, dengan atasan kaos berwarna kuning yang lusuh, tapi tetap terlihat cantik. Meski aku kurang suka dengan paduan warnanya.

"Ini aku," katanya pelan. "Kau masih ingat?" sekali lagi.

Aku sempat mengingat beberapa detik sebelum menjawab. "Maemun?"

Ia mengangguk dan langsung berlari ke arahku lantas memelukku. "Maafkan aku," katanya.

Aku tak sempat menanggapi dan segera kupersilakan masuk.

Sepuluh menit awal tak ada obrolan. Hening. Hanya suara televisi yang menyala. Aku juga bingung harus mulai dari mana. Lagi pula Maemun tampak lemah, dan membombardirnya dengan sejuta pertanyaan, bukanlah hal yang elok.

Kubiarkan Maemun diam saja untuk menikmati tehnya yang tadi kubuat. Ia tampak lebih baik.

"Seminggu lagi," Maemun memecah keheningan. Nada suaranya menggantung.

"Apa?" tanyaku yang tak mendengar jelas suaranya. Langsung saja kumatikan televisi.

"Minggu depan aku menikah. Sekali lagi, maafkan aku," katanya memohon.

Aku tersentak, tak langsung menjawab. Obrolan yang dimulai dengan tak menyenangkan, pikirku.

"Jadi kau ke sini untuk mengabari pernikahan kalian? Selamat atas itu," aku bersuara.

"Bukan begitu, maksudku, aku akan jelaskan semuanya. Tapi tidak di sini."

"Kau kemana selama ini? Menghilang begitu saja," kataku lagi.

"Nanti kujelaskan, ajak aku pergi kemana pun yang kau mau satu hari ini. Jujur, aku rindu padamu."

"Aku juga," kataku pelan.

***

Aku bingung ingin mengajaknya kemana. Di pikiranku hanya taman, yang kurasa, cocok untuk mengekalkan kenangan. Kutanya padanya kalau akan pergi ke sebuah taman kota dekat rumahku, Maemun mengiyakan.

Sesampainya di taman itu, kami duduk di bangku besi berwarna merah, bersisian. Di depan banyak pohon yang daunnya sedikit, dan beberapa anak kecil bermain bola. Juga banyak pemuda-pemudi yang berlari pagi mengitari taman melewati kami.

"Seharusnya kita tinggal bersama hari ini," kataku mengenang. "Ah, lupakan. Sekarang kau ingin cerita dari mana?"

"Aku bingung," jawabnya.

"Kenapa kau pergi?"

Maemun tampak berpikir. "Ayahku meninggal saat itu," suaranya berubah sendu.

"Oh, maaf, aku turut berduka." Aku jadi menyesal sudah bertanya.

"Tak apa. Ayahku meninggal secara tiba-tiba. Pagi itu dadanya terasa sesak dan sempat tak sadarkan diri. Setelah itu ayah masih beraktivitas seperti biasa. Kau ingat, kita masih sempat bertemu. Tapi beberapa hari setelahnya, dada ayah sesak lagi dan akhirnya beliau meninggal."

Aku mendengarnya baik-baik. Kini, Maemun menyandarkan kepalanya ke bahu kiriku.

"Ayahku pernah bilang kalau ia memiliki surat wasiat yang akan diberikan untuk kami, keluarganya, jika ia sudah tak bernyawa lagi. Kau tahu apa isinya?"

"Apa?" aku menengok ke arahnya.

"Ayahku minta dimakamkan di kampungnya yang sudah sejak kecil ia tinggalkan, Sumenep. Tak hanya itu, ayah juga meminta kami sekeluarga untuk tinggal di rumah yang sudah dibelinya di sana. Untuk dua hal itu, aku tak masalah. Tapi yang terakhir, begitu memberatkanku."

"Apa itu, Mae?"

"Seperti yang kau tahu, ayah memang tidak menjodohkanku. Tapi, di surat wasiat itu tertulis, yang intinya, jika aku belum menikah hingga ayahku tutup usia, aku akan dinikahkan dengan seorang pemuda di Sumenep itu."

"Memangnya, ayahmu sudah menyiapkan semuanya?" aku heran.

"Yang kutahu, beberapa kali ayah memang pergi ke Sumenep, tapi entah untuk apa. Mungkin menyiapkan itu semua."

"Kau menerimanya?"

Kali ini Maemun melepaskan sandaran di bahuku. "Aku tak bisa menolaknya, meski berat."

"Dan pemuda itu?"

"Untungnya, ia baik. Amatlah baik sepertimu."

"Lalu mengapa kau menemuiku? Dan mengapa kau tak memberitahuku semuanya sejak awal?" Aku agak kesal sebenarnya.

"Perpisahan. Aku minta izin ibu untuk menemuimu dan beliau membolehkan. Aku akan menikah minggu depan, mungkin, kita tak akan berjumpa lagi selamanya," Maemun diam sejenak, menarik napas. "Situasinya rumit. Setelah kupikir-pikir, akan lebih baik jika tak memberitahumu. Barangkali ini menyakitkan bagimu. Aku minta maaf untuk itu."

"Tak apa." Aku tak menyangka bisa setabah ini, pikirku. "Tapi kau bebas menemuiku, Mae. Kapan pun kau ingin," kataku lagi.

"Tapi aku tak bisa," Maemun menggeleng, "semua harus disudahi."

"Mengapa?"

Maemun tak menjawab. Diam, Ialu bersandar di bahuku lagi. Kali ini tangan kiriku melingkari belakang tubuhnya. Kulihat air matanya sedikit menetes. Dan ketika aku coba hapus air mata itu, kami saling tatap. Ia tersenyum untukku.*


10-02-17, jkt



Tentang Penulis: Vitra Fhill Ardy lahir di Tangerang, 08 April 1997. Kini ia berdomisili di Cilegon untuk menimba ilmu. Twitter: @turunanbapak, Instagram: @vitrafhillardy, dan Facebook: Vitra Fhill Ardy.

Tidak ada komentar