HEADLINE

Semarak Puisi Malam Minggu (Edisi ke-62)


SEMARAK PUISI MALAM MINGGU (edisi ke-62)

DARI REDAKSI
Kirimkan puisimu minimal 5 judul dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas dalam satu file ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Pada subjek e-mail ditulis SEMARAK PUISI MALAM MINGGU_edisi ke-63  (malam minggu selanjutnya). Redaksi akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 1 bulan puisimu tidak dimuat maka puisi dinyatakan belum layak. (Mohon maaf sebelumnya laman ini belum dapat memberikan honorium). Salam segenab redaksi.


KARYA BERSAMA


PUISI PUISI NENI YULIANTI


TUNGGU AKU

Tunggu aku!
Di ujung jalan itu
masih menyusuri denyut hulu bermata biru, terjal berliku dan berbatu
sepenggal kisah yang belum usai, pikirku.

Cirebon, 24 April 2017.


BAHASA HATI

Entah, bahasa hati mana yang masih tersimpan
suaranya parau melumat rasa di musim kemarau
memudarkan warna merah muda, pupus Dealova. 

Lalu-

mengisyaratkan bahasa hati di bawah purnama kesekian.
Tentunya masih dilema dengan peralihan masa, sajak dahulu. 

Cirebon,  23 April 2017.


MEMETIK BINTANG

Boleh kupinta pada malam? 
Satu saja pintaku, tak banyak
bermula duduk di depan teras, ditemani laron-laron dan kunang-kunang
menghitung butir cahaya pada beludru hitam.

Dan--

Setiap gemuruh di dada
membungkus doa dalam desah nafas
mengukir senyum di balik wajah kelam.

Ya--

Kupinta pada malam dengan anggun.
Memetik satu bintang yang paling terang, di antara cahaya lainnya
kan kukantongi lalu ucap syukur pada Tuhan. 

Cirebon,  26 April 2017.


MERAPIKAN SAJAK PEREMPUAN

Seperti kemarin.
Ia singgah di hati,  mengetuk lagi hulu dada. Getarnya melambung
sampai ke ubun ubun.

Langit-langit kamar memekik, terpelanting pada tiang
dan kenang yang kambuh
menggunting rasa, berdenyut hingga ke hulu. 

Tetapinya-

belajar kepada muasal mematik titik di mana kita sepakati
permukiman yang mengikat senyum, berbaur tiap tetes embun pagi. 

Kini, kau dan aku memulangkan bahasa tubuh, merapihkan lagi tamu sunyi mengalirkan ke hilir jauh
dan menyimpan semua antrian pelangi. 

Cirebon,  27 April 2017.

Penulis : Neni Yulianti, bertempat tinggal di kota Cirebon, kegiatan bekerja di perusahaan swasta, menekuni dunia menulis puisi, Neni Yulianti belajar menulis di sebuah komunitas dunia maya yang diasuh beberapa narasumber dari KOMSAS SIMALABA. Dan Rutin karya karyanya dipublikasikan di media online www.wartalambar.com



PUISI PUISI BUNDA SWANTI

SEBAB

Di setiap tepi telaga penuhi warna pada ombak.

Perlahan alunannya menari menyisir setiap tepi.

Hantaran dikulum, setelah dipilah lantas disesap sampai sepah.

Merajut benang menjadi  kain, merenda jadi bingkisan paling indah.

Memberi tautan pada jejiwa, bagai ada namun tiada.

Tetapkan yakin di cerug jiwa, sebabkan esok tak akan lupa.

Mentari tetap hadir memeluk bumi dalam hangat dan gigilnya. 

Rokan Hilir, 27 April 2017.


SANG PENGEMIS

Bila ada kata terindah semakin yakin pada lentera.
Cahaya itu ada di jiwa.

Kecil-

sangat kerdil, di hadapan-Mu.
Tak pernah bosan mengemis, menghiba pada tuan penguasa.

Berilah derma kasih yang pernah janjikan lalu
Biarkan selalu menanti, habiskan sabar sampai terbakar.

Rokan Hilir, 26 April 2017


MAWAR HITAM

Berjuta keluh jalani mimpi,
undakan kisah membunuh asa.

Setia pada pondasi nurani, bisiknya kuatkan rasa.

Lelah-

tak pernah dirasa, demi suci agungnya kata.

Terlena pada buaian nawala 
hanyut sampai hilir biarkan lalu.

Tamparan kini bangunkan nalar, logika menjerit 
Sesakit luka bertabur cuka.

Muram-

elok menjadi hitam, kelam memeluk dalam diam.

Rokan Hilir, 25 April 2017.


KEJORA

Hening malam, hamparan langitmu penuh pesona
Pernak pernik bintang berkedip manja, mengajak menari melukis angkasa.

Bagai kunang kunang nakal, mencari belahan jiwa.

Membungkus rindu pada bingkai patahan sabit.

Tetap menjaga, tak biarkan tercuri pungguk sang penggoda.

Abaikan pungguk, sebab  hanya mencari kejora benderang sampai fajar.

Rokan Hilir, 24 April 2017.


PADA PUNGGUNG GEMPOL

Hamparan permadani hijau menghampar di lembah 
berbilang bulan akan berganti warna.

Di dindingnya menjulang gugusan gunung indah bagai pasak penyokong bumi.

Di sana satu mutiara indah bersinar, benderang.

Hingga- 

semua mata ingin menelan
hati ingin merengkuh.
Indah nan harum sampai ujung angkasa.

Pamela terpanah, mengeja biji bumi ingin terbang nikmati semua indah gempolmu.

Rokan Hilir, 23 April 2017.

Tentang  penulis: Bunda Swanti, seorang ibu rumah tangga, hobi baca puisi
Alamat: Desa Bangko Lestari
Kecamatan Bangko Pusako
Kabupaten Rokan Hilir
Riau. Karya karya Bunda Swanti, rutin dipublikasikan di media onlene



PUISI PUISI ROMMY SASTRA


SINOPSIS KISAH KASIH

Boleh bersedih jangan menangis
Rasa hiba bunga jiwa yang manis 

Boleh saja berduka jangan biarkan hati resah
Sedangkan kisah adalah guru terindah 

Bernyanyilah menghibur diri
Bunga-bunga yang layu semoga bersemi 

Bercerita tentang lembaran usang 
Semoga impian silam terkenang 

Bayu membawa kabar rindu 
Diam tak berbisik menjadi bisu

Sinopsis kisah kasih dendam tak sudah 
Mimpi-mimpi cinta jadi cerita lara  

HR RoS
Jakarta, 18,04,17


DEMOKRASI DAMAI 

Siang tadi pesta di kotaku terjadi 
Pesta di panggung demokrasi 
Damai sekali 

Demokrasi potret perubahan 
Jangan tuan-tuan gontok-gontokan 
Malu sama anak kecil jadi tontonan 

Pilkada, Pemilihan Kepala Daerah 
Yang menang jangan bangga 
Ingat janji-janji jangan lupa 

Ketika janji tuan tepati 
Kami angkat tuan kembali 
Jadilah pemimpin yang berbakti 

Kalau tuan korupsi lupa amanah 
Jangan salahkan alam murka 
Kukutuk tuan masuk penjara

Jadilah pemimpin berwibawa 
Disayang oleh sesama 
Kuanggap dikau manusia setengah dewa 

Putih jangan jadi abu-abu
Abu adalah debu 
Jangan buat malu

HR RoS
Jakarta, 19,04,17


JEJAK-JEJAK DIRI

Daun-daun berguguran 
Seperti helai rambut berjatuhan 
Jejak langkah hampir sampai di tujuan 
Kapan lagi pengabdian ditunaikan 
Sedangkan lilin hampir padam di telapak tangan 

Ranting-ranting jatuh ke bumi
Seperti air mata membasahi pipi 
Jejak hari kian menepi 
Kapan lagi sujudkan diri 
Sedangkan kematian sebuah misteri 

Tunas-tunas enggan tumbuh
Seperti kulit ari hampir lusuh 
Jejak tak terpijak kian rusuh 
Kapan lagi bersimpuh 
Sedangkan el-maut akan mencabut ruh 

Tanah-tanah subur disirami hujan 
Seperti peluh berembun di atas daun
Jejak religi tunaikan 
Kapan lagi hidup mengenal Tuhan 
Sedangkan pintu surga selalu terbuka jalan 

Jiwa-jiwa yang tenang tersenyum indah
Seperti musafir mencari cinta
Jejak sufi berkelana bersama jiwa
Kapan lagi berjubah rela  
Sedangkan ilmu dan amal kunci ibadah 

HR RoS
Jakarta, 21,04,17


RA KARTINI 

Lilin itu memang tak nyala di rumah sendiri 
Otak pribumi dijajah oleh kolonialis
Kartini terpasung dirantai di bilik sunyi 
Sedangkan pijar menyala di sanubari 
Generasi buta aksara dan hikmah 
Dibodohi penjajah sejak dulu kala

Kartini bertanya pada kiyai 
Di mana pintu langit berada
Kiyai terpana, resah 
Mau menjabarkan pintu-pintu langit
Sayangnya, tangan kiyai terbelenggu Belanda 
Bibir terkunci mewejang kalam 

Kartini, kau bak pijar dari timur 
Emansipasi wanita melawan penjajah
Negeri selama ini gelap, kau sang pencerah 
Dari tinta hingga ke meja dakwah orasimu 
Merdekakan kebodohan menuntut ilmu
Habis gelap terbitlah terang, semboyan itu

HR RoS
Jakarta, 21,04,17


SADAR DIRI

Laju layang-layang terbang melayang 
Terbang tinggi jauh ke balik awan 
Angan-angan hendak terbang ke bulan 
Kaki di bumi terikat benang layangan 
Impian diulit angan tak jadi kenyataan 
Sadar diri, potret buram, cermin rusak
Lebih baik mengukur bayangan sebelum tumbang 

Berkaca pada telapak tangan 
Garis-garis nasib retak menyedihkan 
Bukan tak percaya kepada suratan
Sesaat merenungi kisah hidup ke belakang, iqtibari
Ada misteri di depan mata menanti, sadari 
Jangan lengah mendayung biduk bahtera 
Sedangkan riak segara menyapa senja kian gamang 

HR RoS
Jakarta, 22,04,2017 

Tentang Penulis: Nama Romy Sastra. Alamat, Pesing Koneng, RT 8/2 No: 55,Kelurahan, Kedoya Utara. Kecamatan Kebon Jeruk-Jakarta Barat



PUISI PUISI MALA FEBRIYANI


HIDAYAH 

Sungguh luar biasa nikmat 
suguhan Tuhan yang kita kecap
bersama manis, asam nya hidup.

Hijab ia teronggok di pelataran 
tak bersenyawa dengan jiwa yang
masih mengemas kata hiburan 
lebih unggul daripada amal.

Inalillahi kini kemusyrikan kian
merambat keberbagai dunia bahkan
tak lepas dari pandangan banyak 
muda-mudi berkeliar dalam dunia
bebas. 

Apalah dayaku Ya Rabb, hanya berharap
Engkau buka mata hati sebab kata
terlambat belum terkemas di dunia.

Tak kusangka--

hidayah itu hadir, aku terbelalak
tak yakin ia mengucap salam dan
berhijab. 

Terima kasih Ya Allah Engkau 
Maha tahu segalanya yang tepat.


MUKJIZAT TUHAN 

Masya Allah, kekataku terhenti
sejenak sebab hati ini luluh oleh
perjuangan ikhwan melawan 
kobaran api.

Sungguh mara bahaya hanya 
milik Allah. Tiada insan mampu 
menggambarkan sebabnya lagi
catatan suratan takdir milik 
penciptaNya.

Aku bangga dengan ia, bahkan 
ia tak peduli tertimpa kayu atau pun
dilalap kobaran api.

Jadilah ikhwan yang berguna Nak.

kelak kau akan mendapatkan 
yang sepatutnya oleh Yang Maha Kuasa.

Mukjizat Tuhan memang luar biasa
tanpa bisa sangka.


SURATAN TAKDIR

Astagfirullah ... di pelataran jalan
masih banyak bocah-bocah menangis
kelaparan.

Sungguh hatiku terketuk melihat
ia di sudut jalanan becek nan bau.

Ya Allah ... malang nian nasib 
mereka, semoga sejumput tulus
hidangan sederhana yang kusajikan
menjadi berkah untuk mereka.

laung-laung terdengar kekerasan 
di mana-mana namun apalah daya
hanya kepadaMu hamba meminta
lindungi mereka dekap mereka dalam
bimbinganMu.

Sudah suratan takdir tak mampu
kumelawan alur seharusnya hanya
manpu berusaha menjadi lebih
bermanfaat.


RISALAH HATI

Bila di dadamu masih tersimpan
keraguan buat apa kisah ini.

Jika hatimu masih terpatri 
pada orang lain untuk apa 
kisah yang kita bina selama ini
hanya terasa hambar.

Pergilah--

bahagialah dengan pilihanmu 
agar kau tak risau karena tidak 
enak denganku.

Sampai bertemu di penghujung
jalan nanti.

Tentang penulis : Mala Febriyani, ia seoranh karyawan , bekerja  di Jakarta Utara. Puisi puisi rutin dipublikasikan di wartalambar.com



PUISI PUISI ENDANG A

DI BATU NISAN

Pilu meradang, selepas nisan terpasang
gontai, lalu tak sadar
kembali kegubuk reot bersama sunyi
sedang napas bergemuruh tak sempurna.

Pecah tangis tangis di sepagian
ketika lembar kertas maju kemeja keluarga
sisa sisa peninggalan bunda tumpah 
bertumpu pada kedua tangganku.

Sedang cangkir kopi tak terasa nikmat
sebab bercampur dengan air mata.

Ringkih ini
merindukanmu di atas batu nisan.

Pontianak, 21 April 2017.


MENGENANG LUKA

Dalam diam menerawang
sebuah kisah di ujung batu
saat masih bocah, menuai pagi hingga malam
bersama doa dan senyum kasih bunda.

Dan bila ayah pulang, berbagi makanan
menyuapi rintih
dengan cahaya malam, menyapu beban
berhiaskan kesabaran.

Hingga kini aku masih merawat luka.

Jakarta, 18 April 2017.


MENJEMPUT IMPIAN

Masih terlalu dini untuk melempar umpan
bertaruh dengan roda kehidupan
memecah keangkuhan ibu kota
dan berkisah tentang perjalanan asa.

Rasanya baru kemarin
meretas ilmu dari lubang sekolahan
dengan kenangan selembar kertas
menaklukan masa mencari picisan receh.

Kemudian bersanding kerumitan
dan air mata
menjemput impian yang tertunda
dalam benak puisi.

Jakarta, 18 April 2017.


TERKENANG

Entah sudah berapa banyak tetes air mata tumpah
kala wajah bunda bertikai dengan mimpiku.

Sesal menghampiri
bersama napas pelepasan jejak.
Untaian dedoa mengalir
dari lipatan kalimat
semoga bahagia bersanding
di rumah keabadian.

Jakarta, 18 April 2017.


LANGIT MALAM DI IBU KOTA

Kembali bertarung dalam debu ibu kota
menyisahkan rantai kesunyian
di ufuk mata malam.

Kemudian rutinitas
menyusuri emperan jalan
sudut sudut trotoar jalan simpang lima.

Saat malam malam penyiksaan datang
bersama gigil yang tumpah
di lautan tugas, pasukan orange bertaruh dengan kantuk.

Jakarta, 18 April 2017.


MENCARI NAPAS PAGI

Sedari malam tak kujumpa cangkir kopi
sepahnya berupa kemuakan penat
beserta biji wijen mencoba rasa
namun berada di jalur yang sama.

Ribuan kalimat berteriak mencari napas pagi
pada lautan bertanya keberadaan
sedang hutan bersembunyi
sebab sesaknya di ujung jantung.

Kemudian muncul lipatan memori
terbaca detakmu, menua karena janji
hingga beruban, tumbuhi kepala 
padahal masih berumur belasan.

Jakarta, 18 April 2017.


JEJAK KEMARIN

Usai melepas batu nisan
perih merambat keseluruh tubuh
mengenang kisah lipatan waktu
bermunculan gerimis.

Esok air mata harus berhenti
sebab langkah masih panjang
serta bonus tanggung jawab ini
memilukan persendian.

Pada malam kulayangkan tanya
dalam sujud di sepertiga malam
memohon terlepas segala beban kemarin.

Teruntuk bunda, maafkanlah
lembar kertas kubagikan rata
sebab aku, hanyalah pengembara puisi
merajuk asa pada lembaran catatan buram
tak ingin terikat sebuah tujuan

Hai anak anak bunda!
rawatlah tanah tanah nenek moyang
janganlah bertikai
sebab harta hanya titipan
di ujung kata, kuucap salam, moga esok bertemu lagi.

Pontianak, 24 April 2017.


BATAS KALIMAT ABADI 

Hening ini menyerupai kota mati
dimana pergerakan napas tak terdeteksi
sudut sisinya dahaga tawa
kembali pada ketiadaan.

Kehadiranmu di hadirkan oleh moyang moyang penjelajah matahari
dalam penjabaran retasan kehidupan lalu.

Dan kini, masihkah kau petik rindu?

Sedang bentang waktu tak memihak keberadaan
mengecilkan kemampuan untuk melihat lebih jauh.

Lipatan masa itu ....
bahagia terbentuk, memangku kasih, penuh gelora keindahan.

Lalu ... tatapan rintih datang, menguras air mata, di sepenggal malam kesakitan.

Kemudian kembali kemuasal datang 
membentak takdir
yang begitu ganjen memainkan rasa
hingga jalur sempoyongan.

Sebab jembatan kokoh sudah waktunya berpulang, menuju keabadian semu.

Pontianak, 22 April 2017.


BURAM

Jejak kertas tak terbaca
lembarnya masih serupa kosong
seperti ampas kopi pagi ini
memuakkan.

Keberadaanmu tak terdevinisi waktu
memalungkan kata hanya berujung miris
ataukah aturan sudah berubah
hingga nyawa terlepas dari punuk lapisan tubuh.

Pontianak, 23 April 2017.


MEMANGKU LUKA

Berteriak lantang
pada wajah sajak
segala pikulan beban
luluh lantak
menepi pada ruang tak beribu.

Diam berpura
namun bukan menuli
hingga dinding terpecah belah
menjadi bangkai kasih
memilukan persendian
di ujung kuku malam.

Pilar cahaya merontokkan urat nadi
begitu ponggah sebuah pencapaian
memporak porandakan ikatan
dilema pontianak bersarang
menyangkut di tenggorokan
berupa duri kesakitan.

Jakarta,25 April 2017.


HUJAN PONTIANAK

Hari ketujuh kepulangan ibu
meretas gerimis, lalu hujan petir
menyambar ujung batu nisanmu.

Kubilang sudahi rasa
jangan ada lagi teriakan
Sebab jenuh dengan pertikaian kalian
masih terlalu dini untuk perpecahan.

Tutup mulut, kalimatkan tasbih
aku hanya singgah, maka kecilkan suara
usah pasang aksi, atau akan kubakar kertas buram ini.

Ibu menitip kasih untukku
dalam wujud dunia
hentikan mencabik luka, topeng topeng semakin terbuka.

Jakarta, 25 April 2017.


MEJA PERJUDIAN

Andai dulu, namamu tak kualamatkan
mungkin aku masih memangku bahagia
berteman dengan waktu
menghabiskan gelak tawa keharuman cinta.

Kuingat kala itu
wajah sajak memiliki nyawa
tumbuh dengan kesuburan
memetik buah kesenangan.

Kini sekarat
di ujung napas penyesalan
berbonus hutang, bertebaran
sendiri, di bukit penyiksaan.

Demi masa silam yang tak bergaransi 
aku memulangkan harga diri
bersimpuh untuk salahku
berharap dimaafkan.

Pontianak, 23 April 2017.


IA YANG ASIK BERSEMBUNYI

Adalah ia pemetik buah busuk ibu kota di keseharian, mengejar pencapaian dengan menguliti pedih pada wajah malam.

Sedang bahagia menungunya pulang
bersama rajutan kasih yang bersembunyi dalam wadah pertemanan.

Sudahi langkah tak pasti
datanglah dengan segala peluhmu
sebab sesak dada ini melihat
ketamatan cerita berakhir kehancuran.

Mari buka lembaran cahaya
berpondasikan Agama dan kepercayaan
cukup kita sederhanakan 
hidup tak perlu kau tindak lanjuti dalam selimut ketakutan.

Jakarta, 25 April 2017.


DURASI

Kau datang kewajah sajak
bersama hening di muka pintu
sedikit mengusik memori
antara cinta dan kecemasan
memukul hulu dadaku.

Kemudian berpulang pada kisah
meretaskan banjir di ujung Rumah sakit
antara Pontianak kelabu bersanding Jakarta gerimis
masing masing mengalamatkan kedukaan.

Jakarta, 25 April 2017.


KEMBALI TERKENANG 

Tak terhitung patahan gerimis
akan wajah bunda dalam anganku
dan kertas buram meringis
mengilukan persendian.

Napas pelepasan kemarin belum kukalimatkan
sebab masih dalam proses pelipatan
detaknya masih kurasakan, berdurasi lambat
berharap raja malam mampu berkicau pada pagi, memulangkan kesedihan.

Masih menyemai biji kopi
kukemas untuk menyapa senja
karena dialah penyapu beban rinduku
jadi biarkan sejenak mengupas memori keseharian.

Jakarta, 26 April 2017.

Tentang penulis : Endang A Lahir di Jakarta, 30 April 2017. Ia bekerja di Dinas UPK Badan Air Taman Kota. Tinggal di Jln dukuh 4 Kramat Jati Jakarta Timur. Dia mempublikasihkan puisinya di media fb dan media online: www.wartalambar.com



PUISI PUISI Q ROMDANI

IBU

Di atas cakrawala
Hidup bertabur cinta
Dalam malam menjemput siang
 Siang menjemput malam
Hatiku berkata
Cinta bukan luka
Aku tahu engkau siapa
Perempuan dari balik do`a
Parempuan yang kusebut ibu
Sejak dahulu

Kasihmu luas menyamudera
Bentangkan pada sunyiku
Aku akan melayarinya
Lautan sajak berkata
Akulah pelaut dari rahimmu
Buah tanpa kalbu
Berdebur deru

Sumenep, 2 April 2017



BERKELILING HALAMAN

Ketika aku berkeliling halaman 
Dunia berwarna jadi Satu

Aku melangkah satu-persatu
Sedang di belakang waktu menjilatnya
Kutemukan pohon perkasa 
Membuang anaknya yang cacat
Dan memotong tangannya sendiri
Lalu tengadah,meminta
Anak dan tangannya sendiri 

Aku terus melangkah
 tanpa memikirkan tutur sapa
Makhluk yang meminta 

Kutemukan tanah menangis 
wajah dan hatinya teriris
Dengan logika para intelektualis 
Ia hanya bisa meokok
Kepulan asapnya mencipta rumah bagi cucunya
Tanpa ia berfikir bahwa dirinya adalah tanah
Dan tanah itu ibu dan anaknya

Kemuadian aku tutp dunia ini
Satu warna, satu gelisah
Melalui akar mimpi
Bahwa puisi
Membuat dunia baru untuknya

Gapura, 22 Maret 2017


DO`A RESTU IBU

Ringan terasa kaki melangkah
Beban berat terlepas sudah
Do`a restu tertanam dalam jiwa
Mencari kerja dan amal barokah

Anakku
Tak usah tengok ke jalan
Mencari mimpi yang hilang

Gapura, 2 Februari 2017


Tentang Penulis: Qiey Romdani, lahir di kota Sumenep. Ia adalah santri di PP Nasy`atul  Muta`allimin Gapura Timur, Gapura,  Sumenep. Kini masih duduk di kelas XII MA dengan jurusan Agama. Aktif menenulis di sanggar RELAKSA dan ASAP. Puisi-puisinya terkumpul antologi bersama: Kalau Aku Mati Besok (WA Publisher: 2016), Akuarium dan Delusi (Antologi 1000 Penyair Terpilih Nusantara:2016), Dairy Ramadhan (Mawar Publisher Masher:2016) dan antologi lainnya. 



PUISI PUISI INING RUSTINI


MERENDAM WAKTU

Hari-hari serasa sepi
Sunyi yang dijalani
Tak ada canda tawa 
Hanya cerita semu semata

Kesal sesal meraja di antara goresan pena
Tanpa syair bermakna
Kapan akan berakhir
Semua membalut keadaan

Yang sulit ditepiskan
Tinggal menunggu waktu
Tuk mengubah perjalanan baru
Tak bertabu menjadi Indah

KSA 23 April 2017


AKU DAN KAMU 

Seiring perjalanan langkah-langkah kita lalui
Dari pertama datang hingga ku kembali di bulan juni
Tak terasa delapan tahun dijalani penuh pengalaman yang berarti
Banyak kenangan di sana 

Dengan suka duka
Keluh kesah yang ada
Pahit manis dirasa
Yang berharga diantara deretan puing masa

Kuhanya memiliki satu kesempatan terakhir
Kesehatan dan harapan tuk hari kedepan 
Agar mampu berjalan

KSA, 23 April 2017


PILKADA

Di Era 2017 tumbuhlah pimpinan -pimpinan baru
Menggelarkan program tatanan
Untuk kemajuan Negeri Nusantara
Bukannya janji yang tumbuh di Pertiwi

Harapan kami semua jadikanlah bukti
Jadilah Pemimpin Rakyat
Yang mampu menjaga amanat
Dengan pasti dan kepercayaan Kami 

Mengubah kekurangan selama ini
Tengoklah Rakyat jelata 
Yang haus perhatian dan kasih sayang
Atas segala keadaan yang memprihatinkan
Karena sulitnya mencari kerjaan

KSA , 23 April 2017


KARTINI

21 April lahirmu telah berlalu
Memicu hari-hari bersejarah
Emansipasi wanita jadikan wajah terkurung menjadi berubah
Kebebasan meraih pendidikan

Tanpa perbedaan
Laki-laki dan perempuan
Sekarang wanita jadi Mentri
Sekarang wanita jadi Bupati

Bahkan abdi Negara Polisi
Juga supir-supir Taxi
Berkat perjuanganmu KARTINI
Kami bisa mengejar cita ke Luar Negeri

Mengejar harapan untuk family
Bukan sekedar untuk sesuap nasi

KSA, 23 April 2017


RINDU KAMPUNG HALAMAN

Bertahun-tahun kumeninggalkan tanah kampung pedesaan
Hanya jalanan terjal dan berbatuan
Kini berubah licin dengan mobil angkutan
Sawah-sawah terhampar luas

Berubah jadi daratan lepas
Terbangun bangunan bertingkat Dan tol baru
Memudahkan perjalanan cepat melaju
Anak-anak yang dulu kecil

Dengan mainan bersepeda 
Sekarang berkendara motor roda dua
Rinduku tak terbendung 
Tuk nikmati keindahan KAMPUNG HALAMAN
Menatap pemandangan yang banyak perubahan

KSA, 23 April 2017

Tentang Penulis: Ining Rustini bekerja sebagai TKW di Arab Saudi.

Tidak ada komentar