HEADLINE

Esai Riduan Hamsyah "MENONTON AKSI KHILAF SEORANG MAMAN S MAHAYANA"


MENONTON AKSI KHILAF
SEORANG MAMAN S MAHAYANA

Oleh: Riduan Hamsyah
 (Penikmat puisi, tinggal di Kota Pandeglang-Banten)



Hadirnya media sosial (facebook) dan berbagai situs jejaring sosial lainnya seperti memberi angin segar untuk dunia kepenulisan kita. Tanpa komando, tiba tiba jutaan orang seluruh penjuru dunia menggunakan media ini untuk menuliskan segala ekspresi. Semua gambar ekspektasi diri tumpah di sini.  Mulai dari pengalaman pribadi yang sepele hingga konsep pemikiran yang konstruktife, ini muaranya, facebook, makhluk bernama manusia ini serupa menemukan dunia yang paling mengerti bahasa keinginannya. Dunia maya, dunia tempat ia belajar kembali berkata kata.

Sebuah euforia besar tentunya. Karena (sejatinya) tanpa disadari semua orang telah belajar menulis sekaligus membaca. Menulis apa saja. Entah itu disebut sebuah karya kontektual ataukah sekedar curahan isi hati yang selanjutnya disebut ngawur yang jelas gerakan tanpa komando ini telah mengalahkan peran guru guru bahasa di sekolah atau guru guru besar fakultas sastra di sebuah universitas ternama sekalipun yang (pastinya) sudah gagal sejak jauh hari mengkampanyekan budaya membaca dan menulis di masyarakat. Suka atau tidak suka, kita telah menaruh rasa kagum, bahkan aneh pada kenyataan yang tak sengaja didapatkan manusia abad ini.

Belakangan kita menjumpai, entah ini efek sosial, atawa sekedar realita kebetulan: kekacauan dari hiruk pikuknya kata kata di status, ada yang menyusun menyerupai bait-bait kecil nan pudar. Di bagian atasnya dibumbui judul lalu di bagian akhir, ada pula, yang menyertakan titimangsa. Apa ini? Puisikah? Atau sebuah untaian kalimat latah yang menetas dari seperangkat tubuh yang latah pula?

Hai, ternyata, ketikan-ketikan tersebut berasal dari orang orang biasa. Orang orang yang berpikir ringkas dan mencoba untuk menterjemahkan hidup secara ringkas pula dengan sebuah deretan kata kata. Hanya segelintir kecil saja dari pengirim diksi tersebut yang menyebut diri mereka penyair atau pegiat seni kata kata, selebihnya adalah mereka yang tidak mengharapkan label apa apa. Tetapi sebagai manusia yang (setidaknya) masih gemar memelihara prasangka sehat, fenomena ini menggembirakan buat kita, ada tulisan-tulisan mirip puisi yang dimuntahkan anak anak negeri ini ke layar digital dan akhirnya sampai pada kita. Bahkan -jangan munafik- tak jarang kita ikut terpicu untuk berbuat serupa, menulis di rumah yang baru, rumah yang ringkas, tanpa brendel serta tanpa seleksi ketat yang sudah pasti menggiring para penulisnya pada arus dikotomi tak berjangka, sebuah diskriminasi jangka panjang yang membunuh banyak pemula.

Sebuah kelakuan yang “khilaf” jika seorang Maman S Mahayana pada lembar esai di salah satu surat kabar ibu kota menulis, seperti ini “Generasi FB tak mengalami persaingan ketat dan seleksi seperti generasi penulis di koran serta majalah. Instan dan tak belajar kesabaran.” Ini sebuah kecaman yang sadis dan intoleransi, sekaligus tidak mengenakkan banyak orang. Maman terjebak oleh kata katanya sendiri, "seorang penulis sastra koran dan majalah mesti menghabiskan banyak prangko dan menunggu berbulan bulan hingga karyanya dimuat sebuah lembar budaya koran yang terbit hari sabtu atau minggu". Pertanyaannya, berapa butir karya yang dimuat? Dan berapa ribu butir karya yang berakhir di keranjang sampah redaktur budaya koran tersebut? Mereka yang punya label, terlunasi kesabaran menunggu ketika melihat karya puisi atau Cerpennya mampang di laman koran atau majalah tetapi mereka yang tidak kunjung dimuat, anda mesti lunasi pakai apa harga dari kesabaran mereka? Dan, jangan lupa, mereka yang akhirnya mendokumentasikan karya di status facebook tersebut, sebagiannya adalah korban dari sebuah penantian panjang yang tak berbuah apa apa.

Minumlah air putih, minta nasihat dengan orang yang lebih tua, agar khilaf itu tak menggerogoti tulang sumsummu. Yang akan mengurangi kontraksi serta fungsi saraf sensitifmu. Akibatnya, pelan pelan matamu akan buta. Mari mempersiapkan diri, untuk menerima dengan ikhlas, bila zaman telah berubah. Ada generasi yang berburu laman majalah hitam putih PUJANGGA BARU yang sulit pada waktu itu, lahir, kemudian jadi sejarah saat ini. Ada generasi hasil seleksi para redaktur koran serta majalah era kejayaan kontemporer yang juga hampir pasti akan tergantikan pula oleh generasi berikutnya. Dan, jangan tutup kemungkinan, akan lahir generasi baru dengan massa yang lebih ramai (bisa jadi). Jangan kita bahas dulu soal seleksi, sebab setiap zaman, bila sudah berpenghuni maka akan melahirkan pula kurator kurator hebat di masanya. Tak perlu dikhawatirkan soal kualitas yang lambat laun akan menjumpai indungsemang-nya. Khawatirkanlah media cetak yang kian hari kian menurun oplahnya dan jadi penyumbang sampah di pasar-pasar tradisional. Hampir menunggu waktu saja perusahaan surat kabar tersebut ‘mengibarkan bendera putih’ lalu mengikuti jejak -majalahhorisononline.co. (Salam)

Tidak ada komentar