HEADLINE

Cerpen Yulyani Farida "SEPENGGAL RINDU BERBALAS LUKA"


DARI REDAKSI
Kirimkan Cerpenmu dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas dalam satu file ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Redaksi akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 1 bulan  Cerpenmu tidak dimuat maka dinyatakan belum layak. (Mohon maaf sebelumnya laman ini belum dapat memberikan honorium). Salam segenab redaksi.



Cerpen Yulyani Farida
SEPENGGAL RINDU BERBALAS LUKA

Sungging senyum sedikit terlintas di wajah mungil yang mulai dihiasi sedikit kerutan di ujung mata yang menyipit. Ya, usianya memang sudah tak muda lagi menjelang kepala tiga. Namun ia masih saja setia dengan kesendiriannya, ada trauma di relung hatinya. Sebab masih saja terlintas kegagalan dalam hubungan percintaan. Dialah Anvesa Dealova, si sulung dari 4 bersaudara. Wanita yang lembut dan giat. Berjuang demi kebahagian keluarga tanpa memikirkan kebahagiannnya sendiri.
Kisah di mulai dari sini, kala itu sang adik yang nomor 2 akan melangsungkan pernikahan. Sebagai anak sulung dia menempatkan dirinya sebagai penanggung jawab dalam segala hal, ia ingin mensukseskan perhelatan ini. Segala persiapan telah dilakukan menghubungi Wedding organizer, pelaminan dan sebagainya. Yang utama menghubungi fhoto wedding tuk mengabadian semua moment perhelatan itu. Setelah sharing ke beberapa teman akhirnya ia menemukan fhoto wedding yang menurut dia cocok, cocok hasilnya cocok juga di kantongnya.( hihihi… )Alexa Fhoto Wedding. Anvesa menekan sebuah nomor, nada sambung terdengar di ujung sana “ di suatu hari tanpa sengaja kita bertemu aku yang pernah terluka kembali mengenal cinta, hati ini kembali temukan senyum yang hilang semua itu karna dia” berulang hingga berkali kali tak ada sambutan. Hingga dering yang ke empat. Klik tanda telpon diangkat.


”hallo,assalamualaikum selamat pagi ” terdengar sapaan seorang pria dari ujung telpon. 
”Hemmm… Seorang pria rupanya” Anvesa  berkata dalam hati. Dengan sedikit gugup ia menjawab telpon itu.
“waalaikumsalam, selamat pagi. Maaf mas apa bener ini Alexa Fhoto Wedding? Tanya Anvesa.
“Iya mbak benar, ada yang bisa saya bantu?” kembali tanya di ujung sana.
“ Begini mas, adik saya akan menikah dan ingin mengabadikan moment bahagia ini, dan saya sudah banyak tanya – tanya pada teman- teman dan mereka merekomendasikan studio milik mas. Dan saya merasa cocok, lalu menghubungi kontak telpon mas yang mereka berikan.” Sedikit Anvesa menjelaskan.
“owh,, iya mbak, rencana kapan acaranya?”
“Hari Kamis, mas tanggal 23 Maret tapi saya minta mas mulai datang meliput hari Selasa besok tanggal 22 Maret ya. Sebab hari itu akad nikahnya berlangsung.” Kembali Anvesa menambah penjelasannya.
“ Siap mbak, besok saya meluncur kesana, semoga kerjasama ini berjalan dengan baik. Selamat pagi” 
tuuuuut…..telpon terputus. Aggrrhhhh…. Anvesa sedikit kesal belum juga ia membalas  telpon terputus, 
“ gimana sich tuh orang belum selesai juga obrolan ini malah ditutup, aku belum tanya namanya siapa. Orang aneh” Anvesa berkata- kata sendiri. 
“ Kenapa cik? Cicik ngomong sama siapa?” pertanyaan yang sedikit mengagetkan Anvesa.
“ Ahh..mama bikin kaget cicik aja. Gini lho mah, aku lagi konfirmasi sama fhoto wedding yang kita pake buat acara besok, tapi belum juga selesai udah ditutup sama tu orang. Cicik juga belum tanya namanya siapa.” Anvesa menjelaskan pada mamanya kenapa dia berbicara sendiri.
“ Ya udah besok Juga dia datang, terus kenapa cicik keselnya sampai begitu. Ayo…! Jangan- jangan anak mama mulai jatuh cinta lagi nich?” Mamanya berlalu dengan sedikit menggoda putri sulungnya. Ia hanya ingin putri sulungnya tetap tersenyum, sebab ia tau bagaimana perasaan Anvesa saat ini. Ia didahului adiknya tuk menikah.
“maamaa……!” teriak Anvesa yang terdengar sedikit merajuk.
Namun sang mama sudah berlalu dari hadapannya.
***
Setelah obrolan pagi yang sedikit hangat itu usai. Hari menjelang siang sore pun datang tanpa terasa waktu begitu cepat berlalu dengan kesibukan Anvesa kala itu.
Senja yang begitu ramah melepas jingga di ufuk Barat bersama mentari menuju peraduannya. Anvesa beranjak menuju balkon samping rumahnya seraya menikmati segelas caffucino hangat kesukaannya, menatap indahnya senja kala itu. Hidung yang bangir mengembang kempis menghirup aroma caffucino di gelasnya. Diletakkannya gelas di atas meja santai di  ujung balkon, kembali ia berdiri di pembatas balkon, sedikit merenggangkan kedua lengan ke samping kiri kanan. Dengan sedikit mata terpejam menikmati Semilir angin nan lembut menyapu wajah mungilnya, menyibak rambut panjang terurai dengan warna kepirang- pirangan. Sungguh pemandangan yang begitu elok dan lembut di pandang mata. Anvesa sedikit tersentak kala mama memanggil dari dalam.
” Cicik…! Mandi dulu nak sudah mau magrib ini, setelah mandi kita shalat berjamaah lalu makan ya, mama tunggu di bawah” ujar sang mama.
“ Iya mama, ntar cicik ke bawah”. Anavesa beranjak dari tempatnya berdiri menyambar gelas caffucino dan menegggak habis minumannnya. Dibawanya gelas kosong itu ke ruang bawah.
Mengambil handuk lalu mandi, setelah ,mandi mereka shalat berjamaah di musholla keluarga. Adiknya sebagai imam. Anvesa beribadah khusyuk sepenuh hatinya menyerahkan segalanya kepada yang Esa, semua rizki jodoh dan maut ia serahkan. Selesai shalat mereka makan bersama dengan sanak saudara dari jauh, karena entah kapan mereka bisa menikmati hidangan makan malam bersama kecuali saat kumpul- kumpul seperti inilah. Menikmati sesuap demi sesuap makanan yang masuk ke dalam mulut diselingi sedikit guarauan dari beberapa sepupunya.
Malam yang dingin menghantarkan tubuhnya yang sedikit penat ke atas peraduan. Jangan salah di usianya yang menginjak 32 tahun dia masih suka saja dengan boneka. Di raihnya boneka teddy beard berukuran jumbo hadiah dari mantan kekasihnya 4 tahun yang lalu ketika ia berulang tahun ke 28. Ia sangat menyukainya karna itu kenang- kenangan terakhir dari sang mantan kekasih sebelum maut memeisahkan mereka. ( sedikit merasa terharu mengingat masa itu). Anvesa terlelap dengan memeluk si Teddy kesangannya, terbang bersama sejuta mimpi yang menjemputnya hingga pagi menjelang. Dingin yang mulai menusuk di sum- sum tulangnya membangunkan tidur lelapnya, bersamaan dengan adzan subuh berkumandang di masjid ujung gang. Anvesa bergegas tuk berwudhu dan menunaikan kewajiban 2 rakaatnya. Setelahnya mandi dan bersiap – siap tuk persiapan acara akad nikah adiknya hari ini.
Raut bahagia jelas terlihat dari wajahnya, namun tak dapat dipungkiri ada semacam dilema yang menyeruak di sudut matanya. Ada getar- getar kesedihan kala ia mengingat kehidupan percintaannya.
“ Ah..sudahlah apa pula yang harus ratapi, kebahagiaan apalagi yang harus kuraih jika kieluargaku sudah bahagia”. Anvesa sedikit membatin. Dilihatnya jarum jam di tangan kirinya, waktu menunjukkan pukul 07.40 Wib, akad nikah dilaksanakan pukul 08.30. Tapi sang Fhoto wedding belum juga menampakkan batang hidungnya. Buru- buru diambilnya ponsel dan mencari kontak sang FW, nada sambung kembali terdengar  “ di suatu hari tanpa sengaja kita bertemu aku yang pernah terluka kembali mengenal cinta, hati ini kembali temukan senyum yang hilang semua itu karna dia” 
“ Lagi- lagi aku harus mendengar lagu ini, kenapa sich harus pakai nada sambung segala?” sungutnya. (klik) suara telpon diangkat. Dengan cekatan ia  menjawab tanpa member kesempatan pengguna di ujung telpon berbicara.
“ Hallo,,,! Mas dimana? Jam berapa ini hampir jam 8 lho, tapi mas belum  juga sampai. Jangan sampai telat mas.” Desaknya.
“ Iya mbak, ini saya sudah di lokasi, maaf tadi ada sedikit masalah dengan proyektornya”. Ujar si penerima telpon.
“ Ok.” Balas anvesa
***
Prosesi berjalan sangat khidmat, semua prosesi terliput dengan baik dan sempurna. Ada sedikit denyar di hulu dada Anvesa, tatkala tanpa sengaja ia bertatap mata dengan sang fhotografer. Jantung seketika berdegup kencang, sedikit ia melempar senyum sebelum mengalihkan pandangannya.
Entah mengapa setelah beradu pandang tadi, Anvesa tak bisa mengendalikan perasaannya. Getar- getar asmara mulai memenuhi rongga dadanya. Tak banyak percakapan yang mereka lakukan siang itu, hanya saling pandang di kejauhan atau sekedar curi- curi pandang. Sepertinya Anvesa kembali merasakan tanda- tanda cinta yang selama ini ia tepis jauh. Namun saat ini ia tak bisa tuk melerai rindu sosok lelaki yang kini muncul di hadapannya. Raut wajah lelaki itu tak juga menghilang dari benaknya, selalu terbayang- bayang. Tatapan yang lembut senyum yang manis dengan wajah yang lumanyan tampan dihiasi sedikit jambang yang menambah cool penampilannya. Di tambah pashion yang sederhana namun serasi dan sedap dipandang mata. Wanita mana yang tak tertarik dengan penampilannya.
Waktu berlalu begitu saja, siang berganti senja menjemput malam bersama punai yang terbang berarak menuju sarangnya. Jingga berganti gelap, bersama derik jangjrik yang mulai terdengan dari kebun belakng rumah. Di pelataran telah terpasang tarup powade dan segala persiapan tuk pelaksanaan resepsi esok hari. Anvesa berharap semua berjalan dengan sempurna tanpa hambatan apapun. Ia mengamati para personil Alexa Wedding Organizer dan Fhoto Wedding yang ia sewa. Namun lelaki yang tadi diajaknya tuk curi- curi pandang tak nampak datang. 
“ah…kenapa pula aku harus mikirin dia?” batin Anvesa.
Namun perlahan diambilnya smartphone jadulnya, sebuah merk namun kualitasnya masih ok. Perlahan menscrol mencari kontak di buku telpon, dan ketemu. Dengan ia menekan tombol telpon. Lagi dan lagi nada sambung itu terdengar  “ di suatu hari tanpa sengaja kita bertemu aku yang pernah terluka kembali mengenal cinta, hati ini kembali temukan senyum yang hilang semua itu karna dia”.
“ kenapalah nada sambung ini sesuai dengan suasana hatiku saat ini? Aku bertemu dengan seorang laki- laki yang dengan tanpa sengaja. Aku yang berusaha menutup hati untuk lelaki tapi kenapa dia hadir?” celotehan pertanyaan yang berkecamuk di kepala Anvesa.
Nada telpon di terima.
“ assalamualaikum” sapaan di ujung telpon
“ waalaikumsalam, hallo mas. Maaf mengganggu waktu istirahatnya.” Anvesa kembali menyapa.
“ iya mbak, gimana? Ada apa? Apa ada cara saya yang membuat mbak kecewa?” pertanyaan yang bertubi- tubi.
“ gini mas, saya Cuma mau bilang, besok jangan sampai kesiangan lagi kaya tadi, nanti jadi grasa grusu jadi hasil tidak maksimal. Sebab resepsi besok semua menggunakan prosesi adat jadi besok diambil secara lengkap seluruh prosesi sebab jarang- jarang pemakaian adat seperti ini di zaman yang sudah modern.” Anavesa berbiacara tanpa jeda.
“ mbak…mbak…ngomongnya pelan- pelan donk, udah kaya kereta api babaranjang, bergerak tanpa henti. Hehehe..” sedikit terkekeh lelaki itu berkata
“hehehe…sorry mas, sedikit terbawa emosi” Anvesa berujar. 
“ Owh..iya maaf nama kamu siapa? Dari kemarin kita berkomunikasi tapi belum saling tau nama. Kata pepatah tak kenal maka tak sayang, aku Alexa”.
“eh..iya mas aku Anvesa, salam kenal dari aku.”
“ iya Anvesa sayang, salam kenal juga dari mas.”
Jantung Anvesa semakin berdegup kencang, darah seakan begitu cepat mengalir ke jantung. Ada adrenalin yang sedikit terpacu mendengar kata itu.
“ ah..mas bisa saja ngomongnya, jangan lupa ya mas besok pagi.jangan sampai kesiangan.”ujar Anvesa
" siap bos,, apa sich yang nggak buat kamu." ujar alexa
" mas, aku bukan bos. Aku cuma ngejalanin amanat saja." Anvesa mengelak
" iya..iya..tapi tanpa perintah kamu, kami ga bisa kerja." kilah Alexa
" ya sudah terserah mas saja dech, Assalamualaikum." Ucap Anvesa mengakhiri pembicaraan malam itu.
***
Malam yang kian merangkak di balik keheningan, cahaya rembulan yang samar terlihat di balik tirai sedikit menyapa Anvesa yang masih terjaga dengan segala fikiran yang berkecamuk di dalam dada.
Sedikit terbawa perasaan atas komunikasi beberapa hari ini, entah siapa dia mengenalnya saja baru beberapa hari. Tapi sudah membuat jiwanya yang membeku perlahan mencair. Berupa sebongkah salju terpapar matahari. Anvesa terlelap dalam bayang- bayang semu lelaki misterius itu. Ya, misterius sebab ia belum terlalu mengenalnya.
Menjelang pagi Anvesa terbangun, dingin yang begitu menusuk di sum-sum ternyata ia lupa mengenakan selimut ia tertidur dengan lelah yang mendera.Dengan sedikit mata terpicing kembali di tarik nya selimut. Namun seketika ia melompat dari tempat tidur, di liriknya jam yang tergantung di dinding. Jam menunjukkan pukul 05.20 Wib.
" Astaga, aku kesiangan" gumamnya. Segera beranjak mengambil air wudhu untuk melaksanakan 2 rakaat sebelum kehabisan waktu. Kemudian ia baru mandi dan bersiap- siap.
Di lantai bawah sudah mulai terlihat kesibukan di sana sini, famili berlalu lalang untuk mempersiapkan tugas masing- masing.
Anvesa bersiap- siap, ia mengenakan dres berwarna hijau pupus kombinasi pink di bagian pinggangnya dengan sedikit batu-batu kecil di bagian dada berpadu dengan hijab warna salem. Dengan riasan wajah yang tak terlalu mencolok menambah keanggunan wajahnya. Ketika ia turun, semua mata tertuju padanya, termasuk pria itu. Iya,, pria itu ternyata pagi- lagi sekali ia datang. Meski  sedikit limbung dan ada rasa yang bergetar namun dengan langkah pasti ia menghampiri pria itu yang sedari tadi tak melepaskan pandangan darinya. Dengan sedikit senyum Anvesa menyapa pria itu.
" hei mas, pagi- pagi sekali datangnya?" terdengar sedikit kekakuan di ujung lidahnya.
" hei, bu bos yang kesiangan. Jam berapa coba sekarang?" sedikit kedipan dari Alex.
" ow...astaga ternyata sudah jam 08.20 wib, selama itukah aku berdandan?" gumam Anvesa pada dirinya sendiri tanpa ia sadari terdengar oleh Alex.
" Ya gimana ga lama bu, lihat saja hasilnya ada bidadari yang duduk di sebelahku" celoteh Alex dengan sedikit terkekeh.
" Mas bisa aja ngomongnya," tak dapat di pungkiri rona merah menghiasi pipinya yang tersipu malu.
" Owh..iya mas sudah sarapan? Kalo belum yuk temenin saya makan, kapan lagi sich makan ditemani fhotgrafer." mulai timbul keberanian pada diri Anvesa.
"Sebenarnya sudah sarapan, tapi ya bolehlah jika tuan putri memaksa." begitu jawaban Alex.
Mereka makan dengan tenang tanpa suara hanya sedikit dentingan suara piring yang beradu dengan sendok. Tak begitu menghiraukan suasana sekitar yang mulai ramai, mereka sedang sibuk dengan perasaan masing- masing. Entah apa yang berkecamuk di dalam hati mereka.
Jika Anvesa merasakan getar- getar asmara tapi tak tau dengan yang ada di hati Alex. Selesai makan Alex berujar pada Anvesa.
" Boleh nanti setelah selesai aku ngobrol sama kamu?"
" Ya boleh donk mas, mau ngomongin apaan sich? Jadi penasaran gueh" ujar Anvesa dengan sedikit centil.
" Ya adalah, nanti aja. Sekarang aku mau kerja dulu, nanti kalo kerjaanku ga beres tuan putri ngamuk- ngamuk lagi." sungging senyum di ujung bibirnya.
" Apaan sich mas, ga sekejam itu juga kali." ujar Anvesa
" Iya bos, jangan lupa senyum yang manis biar aku nambah semangat kerjanya. Ngeliatin senyum kamu dah cukup kok buat semangatku." sedikit rayuan dari Alex.
" maass, apaan sich!" Tanpa sadar Anvesa mencubit pinggang Alex yang membuat mereka tertawa bersama dan tanpa mereka sadari beberapa pasang mata memperhatikan mereka.
 " uppsss,, Anvesa tersadar dan menghentikan tingkah dan tawanya dengan memberi sedikit isyarat menutup telunjuknya sendiri di bibirnya. Alex menyadari apa yang dilakukan Anvesa dan dia beranjak meninggalkan Anvesa dengan sedikit senyuman mengembang sa.  mbil berujar.
" Aku kerja dulu, ntar kita lanjut Ya." Alex berlalu sambil menjinjing perlatannya.
***
Semua prosesi adat berjalan dengan hikmad tak ada satu prosesipun yang tak terabadikan. Anvesa mengakui cara kerja Alex yang profesional. Ada kekaguman yang terpendam di dalam hatinya. Ada ketertarikan yang tak biasa ia sembunyikan dari kerlip matanya. 
Alex bisa merasakan apa yang Anvesa fikirkan, ia bisa melihat dari cara Anvesa memandang dan mengajaknya berbicara. Namun Alex tak bisa mengungkapkan pikiran dan perasaannya yang sedikit kacau.
Setelah semua prosesi selesai, acara hanya sampai jam 6 sore saja tidak sampai malam. Alex menemui Anvesa, dan mereka mengobrol di beranda atas. Itupun setelah Anvesa meminta izin dengan orang tuanya.
Sembari membawa nampan berisi 2 gelas  cappucino beserta cemilan ala kadarnya dan meletakkannya di meja sudut. Mempersilahkan Alex untuk duduk.
" mas, saya shalat dan ganti pakaian sebentar, agak risih klo mengobrol dg pakaian seperti ini. Biar agak santai, silahkan diminum dan kalo mas mau shalat itu ada sajadah di kamar depan silahkan shalat di sana." ujarnya sambil berlalu.
Setelah 15 menit Anvesa keluar dg pakaian yang santai, kulot putih gading blouse salem dan hijab pink. Kesederhanaan yang begitu anggun, memancarkan pesona yang begitu kuat. Ia melangkah menemui Alex yang sedari tadi sedikit gusar dengan apa yang ia rasakan meskipun ia telah melaksanakan kewajibannya.
" Maaf mas, lama menunggu." Ia memulai obrolan dan duduk di kursi sebelah Alex.
" hemm...aku pikir kamu pingsan di dalam, kok lama sekali." candanya mencairkan suasana.
" Eh,,mas bisa aja. Ayo mas sembari diminum dan makan kuenya."
" Iya,,kamu cantik banget hari ini ngalah- ngalahin pengantin. Sampai jadi pusat perhatian, melebihi pengantin." ujar Alex berolok.
" Udah donk mas memujinya, kupingku terbang sebelah tuh. Ntar siapa yang mau ambilin klo kupingnya terbang jauh. Mas juga keren penampilannya, liat aja tadi banyak cewek yg kesemsem ngeliatin mas." Anvesa membalas olokan Alex.
***
Obrolan yang semakin akrab dan semakin hangat, entah sudah berapa lama mereka mengobrol. Ada- ada saja masalah yang mereka bicarakan terkadang seperti berbisik-bisik yak jarang pula mereka terbahak bersama. Ada rasa kebahagian yang mampir di jiwa Anvesa, ia merasa nyaman dan tenang ketika dekat dengan Alex. Tapi siapa yang tau apakah Alex merasakan yang Anvesa rasakan. Hingga pada akhirnya, Alex perlahan menggenggam tangan Anvesa yang begitu putih dan lembut serasa tangan bayi. Anvesa merasa gugup dan sedikit refleks menarik tangannya namun tetap di genggam erat oleh Alex. Ia tau betul apa yang wanita di sampingnya ini rasakan bisa terlihat dari bibir dan tangannya yang sedikit bergetar dan terasa dingin. Ya, memang begitu Anvesa merasa demam seketika, nerfous entah sudah berapa lama ia tak mengenal laki-laki. Merasa trauma dengan kegagalan pernikahannya dahulu, lelaki yang ia cintai pergi entah kemana tiga bulan menjelang jari pernikahan mereka. Ah,,sudahlah Anvesa tak mau mengingat itu lagi, ia sudah mengubur kegelapan itu dalam-dalam dan takkan mengungkitnya lagi. Sekarang ada seorang pria di sampingnya terlihat begitu tulus dan teduh. Hanya dengan menatap matanya Saja sudah memberi ketenangan untuknya. Ia membalas erat genggaman Alex. Mereka saling betatap, hening hanya dengus nafas yang terdengar tak beraturan. Alex sedikit merenggangkan genggamannya untuk tak terkesan tegang, dengan sedikit mengatur pernafasan nya ia mulai berbicara dengan Anvesa.
" Ana, aku tak dapat membohongi perasaanku tentangmu. Ada ketertarikan untuk menjalani dan mengenal dirimu lebih dalam. Ada pesona yang tak dapat kutemui dari wanita lain, kau terlihat berbeda begitu teguh, tegar dan kuat. Sebab tanpa kau ketahui beberapa hari ini aku mencari informasi tentang dirimu, tentang kehidupan masa lalumu. Aku merasa prihatin akan itu, aku ingin kau mau berbagi masalah denganku jangan kau pendam sendiri. Aku siap tuk menjadi pendengar untukmu, dan akupun tau engkupun menaruh perasaan itu padaku, kau tak dapat mengelak aku bisa membaca dari sorot matamu. Apa kamu mau menjalin hubungan denganku?" pertanyaan yang mebuat Anvesa semakin terdiam dan tak mampu tuk menatap Alex. Sembari menarik nafas panjang ia beranikan tuk menjawab dan memandang wajah Alex meski dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
" Mas Memang benar, kita memang baru beberapa hari ini saling kenal. Tapi aku memang tertarik dengan mas, pribadi mas begitu teduh dan lembut. Tapi terus terang mas, aku belum begitu mengenalmu siapa dirimu, apa statusmu jadi ada sedikit keraguanku padamu. Aku takut mas sama seperti lelaki hidung belang lainnya, mengaku bujang ternyata pria beranak lima. Aku ga mau itu mas merusak rumah tangga orang hanya karna keegoisan semata. Gak akan berkah kehidupan seperti itu." kata-kata Anvesa tak pelak membuat Alex sedikit gugup namun dengan cepat ia menyembunyikannya.
" Mas tau dan paham kok dengan apa yang kamu rasakan, mas ngerti. Dan kejujuran dalam sebuah hubungan itu penting oleh sebab itu mas ingin jujur kepadamu tentang bagaimana kehidupan mas, bagaimana tentang keadaan dan perasaan mas. Mas selama ini merasa bahwa mas berada di jalan yang buntu, mas mengalami masalah yang menurut mas sulit dan membuat mas putus asa dan merasa frustasi. Namun setelah bertemu dan berbicara dengan kamu, mas merasa tenang nyaman. Sejenak mas melupakan masalah yang mas alami, mas merasa bahagia dekat kamu." Sekelumit pernyataan Alex yang begitu banyak menimbulkan teka teki buat Anvesa.
" Memang masalah apa yang mas hadapi?" Tanya Anvesa sembari mengernyitkan dahinya.
" Mas mau jujur, sebenarnya mas sudah menikah dan mempunyai seorang putri.tapi mas..." Belum selesai alex berbicara Anvesa langsung menarik tangannya yang masih dalam genggaman Alex dengan cepat. Seketika ia berdiri menjauhi dan membelakangi Alex, ada amarah menguasai dirinya. Bergemuruh di rongga dada, sedari tadi air membendung di anak mata kini tak mampu ia menahannya perlahan menetes setelah mendengar perkataan Alex. Rasa kagum yang selama ini dipendamnya sekarang berubah menjadi rasa benci, ia begitu kesal dengan Alex. Setega itu memperlakukannya. Dengan sedikit terbata- bata menahan tangis Anvesa berkata pada Alex tanpa sedikitpun ia berpaling ke arah Alex.
" Mas tega ya, memperlakukan aku seperti ini. Aku fikir mas berbeda dengan mereka, ternyata mas sama. Pembohong, laki-laki tak bertanggung jawab, mata keranjang. Aku kecewa dengan mas, aku kecewa." Anvesa berkata sambil sesenggukan.
" Maafin mas, tapi mas jujur. Ada alasan yang membuat mas seperti ini." Alex sedikit membela diri, ia mendekati Anvesa dan berusaha menyentuh bahunya agar Anvesa melihatnya. Namun belum sempat tangannya menyentuh bahu Anvesa.
Anvesa berbalik sambil mengacungkan telunjuknya ke arah Alex.
" Cukup mas, jangan sentuh aku. Aku ga perlu penjelasan dari kamu, sekarang kamu pulang. Aku ga mau bicara lagi sama kamu. Soal project kita beberapa hari ini tolong selesaikan secara profesional. Aku akan bayar semuanya sesuai dengan perjanjian kita. Sekarang silahkan mas pulang, dan tinggalin aku sendiri." Emosi Anvesa begitu meluap dan tak terbendung.
" Ana, mas bisa jelaskan. Tolong dengarkan sebentar saja." Alex memohon.
" Nggak mas, aku mohon sama kamu tolong tinggalin aku sendiri. Aku mohon kamu pulang sebelum orang tuaku tau apa yang terjadi di sini." Anvesa memohon sembari menyeka air matanya menuju kamar dan meninggalkan Alex yang masih termangu di teras depan.
Alex tak menyangka jika kejadiannya bakal seperti ini. " Jikalau saja ana mau mendengarkan penjelasanku mungkin tak seperti ini." Alex sedikit bergumam sembari meninggalkan teras sebelum turun sejenak ia memandang kamar Anvesa. Ingin sekali ia mengetuk pintu kamar itu. " Tapi ah sudahlah, bukan waktu yang tepat tuk menjelaskan." Ia menuruni anak tangga dengan perasaan yang berkecamuk. Setelah berpamitan dengan keluarga Anvesa, ia menuju pelataran parkir menuju mobilnya dan berlalu pulang. Tak ada yang tau apa yang ada di fikirannya.
***
Sementara di kamar Anvesa kembali menangis dan membenamkan kepalanya di bantal, entah berapa lama ia menangis kemudian tertidur. Kemudian ia terbangun mendengar ponselnya berbunyi. Dengan matanya yang sembab ia melihat nomor siapa yang memanggil dan ternyata Alex. Anvesa men silent telponnya. Ia sedang malas berurusan dengan orang ini, jangankan tuk berbicara mendengar namanya saja ia sudah muak. Diliriknya smartphone miliknya masih saja orang itu terus memanggil, mungkin ada 15 panggilan tak terjawab dari Alex dan ada 3 pesan darinya. Yang bunyi pesan itu " tolong angkat telpon, aku mau jelasin". Tapi sedikitpun Anvesa menghiraukan pesan itu. Smartphonenya kemudian dinon aktifkan agar lelaki itu tak menghubunginya.
Anvesa melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 11.35 Wib.
" Astagfirullah, aku belum shalat isya." bergegas ia menuruni anak tangga menuju kamar mandi sambil celingukan agar tak ada yg melihatnya. Setelah berwudhu ia kembali naik dan melaksanakan shalat isya. Dan ia memohon agar selalu diberi kekuatan dan ketabahan serta keikhlasan. Ia kembali merebahkan tubuhnya berusaha tuk memejamkan mata yang sulit sekali tuk diajak berkompromi. Meski lelah sedikitpun ia tak dapat memicingkan matanya. Ingin sekali ia mengaktifkan ponselnya namun ia malas jika lelaki itu kembali menghubunginya. Dengan fikiran yang kacau Anvesa tertidur dan terbangun di pagi harinya dengan keadaan yang lebih baik. Ia bersikap biasa saja, meskipun ia tau mamanya mengetahui masalah yang terjadi semalam sebab mamanya tak sengaja mendengar perdebatan mereka ketika sang mama ingin mengajak makan. Namun mereka membiarkan saja, mereka yakin putrinya sudah sangat dewasa dan tau keputusan apa yang harus diambil. Semua berjalan seperti biasa, Anvesa berusaha melupakan kejadian itu meski setiap hari masih saja lelaki itu menelponnya. Tapi ia tak menggubrisnya, ia fokuskan dirinya pada pekerjaan.
 Mungkin sekitar 4 hari Alex masih terus saja menghubungi Anvesa, tapi tak berhasil. Sehingga ia pun mulai lelah dan berusaha tuk tidak menghubungi Anvesa. 
Namun di hari ke sepuluh setelah kejadian itu, ia berusaha tuk menghubungi Anvesa tuk mengatakan project mereka sudah selesai.beberapa kali ia menelpon tapi tak ada jawaban, ia mengirimkan pesan tetap saja tak ada balasan. 
***
Keesokan harinya pada hari minggu menjelang siang ia menuju rumah Anvesa, sebab ia paham hari ini Anvesa tidak bekerja. Dipacunya mobil dengan kecepatan penuh. Setelah sampai di parkiran rumah Anvesa dengan sedikit ragu ia turun dari mobil dan menjinjing tas yang berisi album hasil fhoto acara tempo hari. Dengan mengetuk pintu secara perlahan ia bergumam " semoga Anvesa yang membuka pintu". Dan ternyata benar Anvesa yang membuka pintu, meski dengan sedikit kaget Anvesa mempersilahkan Alex masuk dan duduk di ruang tamu. Kemudian dia berlalu ke dapur dan kembali membawa nampan dengan segelas cappuccino.
" Minum mas," Ujar Anvesa sedikit kaku dan dingin.
" Ia, ini mas bawa hasil kemaren. Dan berharap puas dengan hasilnya, kalo semisal kurang puas potong 30% dech biayanya.." dengan sedikit terkekeh Alex berusaha mencarikan suasana.
" Ya nggak mas profesional aja, berapa yang kita sepakati segitulah yang saya bayar." Ujar Anvesa masih ada nada kekesalan dari pembicaraannya.
" Ana, mas tau kamu masih marah sama mas, aku minta maaf. Aku bisa jelasin ke kamu, istriku tak bisa mengurusku dia sibuk dengan kehidupan sosialitanya, sibuk dengan tema-temannya. Anakku terlalu sering tinggal dengan ibu mertuaku, jangankan aku anakku pun tak terlalu di perhatikan nya. Aku sudah berusaha menegurnya tapi dia tak pernah memperdulikannya. Bahkan dia malah balik menghardikku dengan kata-katanya yang cukup membuatku sakit. Aku sudah lelah dengan kehidupan rumah tanggaku yang seperti itu. Aku ingin mengakhiri semuanya, aku bisa bertanggung jawab dengan anakku." Ungkap Alex yang sedikit membuat Anvesa luluh.
" Maaf mas, memang kata- kata seperti apa yang membuat mas sakit?" Tanya Anvesa.
" Begini, dulu mas menikah masih dalam keadaan yang sulit harta yang mas punya hanya rumah peninggalan orang tua. Dan istri mas berasal dari keluarga berada tapi kami saling mencintai dan istri mas mau menerima mas apa adanya, namun setelah anak kami lahir berusia 1 tahun dan kehidupan kami perlahan mulai membaik dengan membangun rumah dan membeli kendaraan ini. Dia mulai berubah itupun semenjak kedatangan temannya dari kota. Istriku mulai berubah, jarang masak. Tak jarang aku pulang dalam keadaan lapar dan melihat meja makan kosong. Untung- untung ada nasi di rice choker dan ada stock mie instan. Ya sudah mas terima dan tidak mas tegur, mas berfikir mungkin juga dia perlu hiburan sebab lelah dengan rutinitas rumah. Tapi puncaknya satu bulan yang lalu ia pulang malam diantar oleh beberapa teman wanitanya sedang posisi anak dalam keadaan demam. Disitu aku marah besar dan ga terima dengan semua perubahan dia. Tapi yang apa yang aku dapat. " Mas fikir donk, kalo mas ga nikah dengan saya ga mungkin kehidupan mas sekarang seperti ini." Alex menirukan perkataan istrinya.
" Coba, apa mas salah bila sikap mas seperti itu. Mas tanya sama kamu? Salah juga kalo mas menaruh simpati pada wanita yang teduh sepertimu?" Pertanyaan bertubi yang harus dijawab Anvesa.
" Ya, saya bisa ngerti mas. Tapi ga secepat itu juga mas, saya berharap sich mas bisa menyelesaikan permasalahan mas dengan istri mas. Coba lihat anak mas, jangan hanya memikirkan ego masing- masing. Kasihan anak mas masih kecil masih butuh kasih sayang yang utuh dari kedua orang tua mas. Mas ga boleh gegabah ambil keputusan. Dan saya juga ga mau jadi menambah kisruh permasalahan rumah tangga mas, saya ga mau dianggap jadi kambing hitam antara perpisahan mas dan istri mas. Semoga mas bisa menyelesaikan masalah ini. Bukan saya ga menerima mas, tapi tolong selesaikan masalah mas dengan baik. Sekarang saya menganggap mas sebagai saudara saya, sebagai kakak saya hubungan kita hanya sebatas kakak adik. Saya harap mas mengerti meski sebenarnya ada rasa sakit di hati ini. Tapi saya ikhlas, lebih baik seperti ini dari pada saya jadi bahan cibiran karna dianggap merusak rumah tangga mas. Dan saya berdoa semoga  hubungan mas dan istri semakin baik. Perbanyaklah komunikasi antara mas dan istri. Jika mas punya masalah saya bisa menampung, anggap saja saya adik mas. Begitu juga nanti jika saya ada kesulitan saya akan minta bantuan mas." perkataan Anvesa yang membawa kesejukan dan meredam masalah yang dihadapi Alex.
" Baiklah, mas terima keputusanmu. Semoga tali silaturahmi ini tidak berhenti sampai di sini. Mas berharap suatu saat ada pangeran yang akan mempersuntingmu dan tidak akan menyia-nyiakanmu semoga kamu bisa hidup berbahagia dengan suami pilihanmu nanti." Ujar Alex dengan sedikit berat hati.
" Amin mas, Insya Allah." Anvesa mengaminkan 
" Ya sudah, maaf apa kamu bisa menemani mas makan siang ini?" tanya Alex penuh harap.
" Maaf mas aku ga bisa, ada lemburan dari kantor yang harus kuselesaikan. Mudah-mudahan lain kali kita makan siang bersama dengan istri dan anak mas." jawab Anvesa
" wah..mas ditolak nich ceritanya. Lagi..lagi ditolak, ya udah dech ga apa-apa ditolak adikku yang cantik ini." ujar Alex dengan sedikit bercanda. " Ya sudah mas pamit pulang, titip salam buat om dan tante ya." Alex melanjutkan.
" Iya mas, Insya Allah nanti aku sampaikan. Peluk cium buat gadis kecil." Senyum mengembang di bibir tipis Anvesa.
" Assalamualaikum," Pamitnya sembari berjabat tangan dengan Anvesa, jabatan yang begitu erat dan lama seakan tak ingin terlepaskan. Anvesa membalas jabatan tangannya dengan erat mereka saling berpandangan, dan tak dapat dipungkiri rasa itu masih melekat pada mereka.
 Alex berbisik " Boleh mas memelukmu sebentar saja,  mungkin ini pertemuan kita yang terakhir. Setelah ini mas gak akan mengganggu kehidupanmu lagi kecuali jika rumah tangga mas harus benar- benar kandas dan itupun jika kamu masih sendiri. Tapi mas masih berharap semua bisa baik- baik saja, baik kehidupanmu ataupun kehidupan mas. Boleh..?!" kembali Alex menegaskan.
Anvesa mengangguk mengiyakan dengan sedikit air mata yang berlinang, ia tak tau air mata kesedihan atau kebahagian. Mereka saling merangkul erat dengan lembut Alex mengelus kepala Anvesa yang berhijab, dan tanpa ia sadari Anvesa menangis sesenggukan di balik dadanya. Dengan sedikit heran Alex mengangkat dagu Anvesa sembari menghapus air matanya yang meleleh.
" Ada apa sayang, kamu ga suka mas perlakukan seperti ini. Mas mohon maaf, mas ga bermaksud melecehkan kamu. Mas sayang sama kamu ini hanya bukti bahwa mas begitu menyayangimu mas gak ingin kita berpisah." Ujar Alex.
" Aku ga tau mas, kenapa aku nangis. Rasanya begitu sakit, tapi sakit tentang apa akupun bingung. Terasa begitu perih serupa belati yang menikam jantung. Mungkin karna aku terlalu berharap dan takut kehilangan mas. Tapi aku ga boleh egois mas punya keluarga. Doakan saja agar aku kuat melewati semua ini." jawab Anvesa masih dengan kondisi menangis dan merangkul Alex.
" Iya adikku, apa yang kau rasakan itu juga mas rasakan. Mas tidak bohong begitu sulit tuk meninggalkanmu. Semoga kau bahagia adikku." sembari ia mengecup kening Anvesa dengan lembut dan melepas rangkulannya. Cukup memberi ketenangan buat Anvesa.
" jangan menangis lagi sayang, senyum jangan bersedih. Mas akan selalu ada untuk adik tersayang ini." Alex kembali menghapus air mata Anvesa dan menarik kedua ujung bibir Anvesa dengan telunjuk agar tersenyum. Anvesa mencoba tersenyum dengan sedikit paksaan.
" Nah, begitu donk. Kan jadi cantik adik mas kalo senyum." goda Alex. " Baiklah, mas pamit jaga dirimu baik- baik ya. Kalo butuh bantuan segera hubungi mas, 1x 24 jam mas siap membantu. Apa sich yang nggak untuk adik tersayang ini." sembari ia menoel hidung Anvesa yang dibalas Anvesa dengan kekehan dan cubitan kecil di pinggang Alex yang membuat Alex sedikit menyeringai kesakitan. Mereka terlihat begitu akrab, tidak terlihat seperti sepasang kekasih. Ya, mereka memang bukan sepasang kekasih tapi seperti kakak dan adik. Mungkin usia mereka yang tak terkait jauh, dan kondisi dari Anvesa yang anak sulung dan Alex si anak tunggal. Alex berpamitan meninggalkan Anvesa yang masih menyunggingkan senyum dengan sisa- sisa air mata di sudut matanya.
***
Setelah kejadian itu, Anvesa mencoba melupakan semua yang pernah terjadi antara dia dan Alex. Dia mengganti semua kontak CDMAnya, agar Alex tak dapat menghubunginya. Meski sekarang mereka hanya sebatas kakak dan adik tapi Anvesa tidak mau terlalu larut dalam suasana. 
Dan dia meninggalkan tanah kelahirannya, resign dari pekerjaannya dan memilih untuk merantau dan mengadu nasib di negeri orang. Kebetulan ada adik ibunya yang bekerja dan tinggal di sana. Setelah sekian bulan ia pergi dan ia tak pernah lagi mendengar kabar tentang Alex meski sebenarnya ia masih menyimpan kontak Alex. Tapi yang terakhir ia dengar kabar dari mamanya, Alex sering berkunjung ke rumah orang tuanya baik sendiri ataupun bertiga dengan anak istrinya. Rupanya mereka telah berbaikan dan kembali hidup rukun. Alex dan istrinya sering menanyakan keberadaan Anvesa, namun mamanya tak pernah memberi tahu, sebab itu permintaan Anvesa.
" Aku turut bahagia mas, mendengar kau telah hidup bahagia. Biarlah ku sendiri di sini menikmati sepi, menikmati cinta yang telah kau tanam. menikmati belenggu rindu meski hanya berbalas luka. Tapi aku tetap ikhlas, meski entah sampai kapan aku bisa melupakanmu." gumam Anvesa sembari memandang jingga yang di ufuk barat, sungging senyum terlihat jelas di raut wajahnya.
Begitulah pepatah berkata " Cinta tak harus memiliki"  bahagia melihat orang yang dicintai hidup bahagia sudah cukup membuktikan arti cinta.
Begitu juga dengan kisah Anvesa yang mau berbesar hati melepas orang yang ia cintai meski itu berat dan dengan proses.
" Jangan pernah bosan menebar kebaikan, meski terkadang disalahgunakan orang sekitar"

TAMAT


Tentang Penulis:
Yulyani Farida, lahir dan besar di Lambar, ia menekuni puisi di Sekolah menulis Komsas Simalaba. Komsas Simalaba adalah sebuah wadah berkesenian para pemuda di Kabupaten Lampung Barat. Terbentuknya Komunitas ini sekaligus menandai bangkaitnya sastra kaum petani yang cukup produktife menghasilkan karya. Yulyani F, Sejumlah karyanya telah dipublikasikan di media www.wartalambar.com dan saibumi.com juga tergabung dalam buku antologi EMBUN PAGI LERENG PESAGI.

Tidak ada komentar