HEADLINE

Cerpen Nanda Dyani Amilla "BACKSTREET"



DARI REDAKSI
Kirimkan Cerpenmu dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas dalam satu file ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Redaksi akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 1 bulan  Cerpenmu tidak dimuat maka dinyatakan belum layak. (Mohon maaf sebelumnya laman ini belum dapat memberikan honorium). Salam segenab redaksi.



Cerpen Nanda Dyani Amilla
BACKSTREET
    
Ibarat menyimpan bakwan diam-diam, lambat laun akan tercium juga baunya. Begitu pula yang terjadi pada hubungan gue dan Eril. Setelah nyaris satu bulan berganti status dari teman menjadi pacar, akhirnya beberapa oknum-oknum super kepo mengetahui kebenarannya. Selain Eril yang kelewat jujur dan gampang terpancing, gue juga gak bisa menahan ini lebih lama lagi. Setelah gue pikir-pikir, hubungan gue dengan Eril kan nggak menyalahi aturan dan hak asasi manusia. Tidak juga termasuk ke dalam pelecehan seksual atau kekerasan pada anak. Meski kami masih tergolong anak-anak (unyu) tapi kami tidak akan melanggar norma yang berlaku.

Lantas, masalahnya apa? Meski wujudnya begitu kan, Eril tetaplah perempuan yang butuh kasih sayang dari seorang pria tampan macam gue. Semuanya bermula dari kecerobohan cewek papan ujian itu. Siang itu seusai pelajaran jam olahraga, gue menyeret Eril menuju kantin sekolah. Dehidrasi parah membuat gue kalap menghabiskan 3 gelas jus jeruk. Eril menatap gue jijik. Sementara gue menatapnya nggak peduli. Selesai menikmati jus jeruk dengan porsi berlebihan itu, kita berdua balik ke kelas.

Lihatlah, makhluk-makhluk di dalam kelas itu menatap gue dan Eril dengan tatapan menjijikkan. Ada yang senyum-senyum nggak jelas, ada yang melirik seperti mengejek, ada pula yang berani terbatuk-batuk dengan sengaja. Gue merasa ada yang tidak beres ketika kami pergi tadi. Hingga tiba-tiba, jawaban dari segala pertanyaan di kepala gue akhirnya muncul. Kinan berjalan ke depan dan mendekati Eril, menyerahkan sesuatu.

“Nih, Ril, hape lo yang gue pinjem tadi. Jangan tidur larut malam, ya, Cinta..” ledek Kinan. Seketika gue lihat wajah Eril merah padam.
Sial! Itu kan isi SMS gue tadi malem ke Eril. Makhluk-makhluk astral di kelas ini pasti sudah membajak hape Eril sejak gue dan Eril berada di kantin. Dasar Eril dodol, bisa-bisanya dia lupa meninggalkan hape tanpa membuat keyword rahasia!!!
Gue dan Eril masih mematung di depan kelas. Tidak bergerak sesenti pun. Malu banget rasanya.
“Aku tetep bilang kamu cantik kok, meski mereka bilang kamu gantenggg…” kudengar Wido ikut nyeletuk di balik mejanya.
“Kamu jangan cemburuan, dong! Aku bakal setia kok sama kamu…” kali ini suara Bianka memenuhi ruangan kelas.
Aaaarrgghhh!! Kenapa mereka hanya menyebut semua isi pesan yang gue kirimkan ke Eril? Kenapa isi SMS Eril sama sekali tidak mereka teriakkan di sini! Gue murka. Gue tarik tangan Eril ke luar kelas. Di luar, beberapa teman kelas sudah menyoraki dengan antusias, seperti sedang menyaksikan pertandingan bola Manchester United VS Arsenal. Ini benar-benar nggak lucu. Jatuh marwah gue sebagai cassanova di kelas.
Gue menarik tangan Eril ke tempat yang lumayan sepi. Di depan gudang sekolah. Letaknya di ujung koridor, dekat parkir kendaraan guru.
“Bikin malu tau, gak!” kata gue kesal pada Eril.
Eril melotot, “Kok lo jadi nyalahin gue?”
“Trus gue harus nyalahin siapa? Nenek buyut lo, gitu?”
Eril menginjak sepatu gue, “Salah elo lah! Siapa suruh isi pesannya romantis-romantis gitu!” dia melotot buas.
“Salah gue? Ini semua salah lo yang gak bisa jaga privasi sendiri! Hape aja pake dipinjemin ke temen! Gak dikunciin pake sandi lagi! Lo sengaja, ya?!” gue membombardir Eril dengan tuduhan itu.
“Lo pikir gue gak malu? Gue malu juga tau gak!! Emang ya, semua cowok di dunia itu sama aja! Egois!” Eril sengaja menekan kata egois di ujung kalimatnya.
“Iya! Cowok itu di mana-mana emang sama! Sama-sama makan nasi, sama-sama minum air, sama-sama bernapas pake oksigen! Lo baru boleh bilang beda, kalo cowok di dunia ini udah mulai makan besi, minum tajin, sama bernapas pake hidrogen! Ngerti?!” jelas gue gak mau kalah.

Eril terlihat geram, mukanya memerah, dia beranjak duduk di bangku panjang cokelat tua yang ada di depan gudang sekolah.

Gue mengikuti, “Geser dikit!” kata gue melirik Eril.
Dia mencibir, lalu menggeser tempat duduknya. Kita berdiam cukup lama. Mungkin sama-sama berpikir mengapa semua sampai jadi serumit ini. Teman-teman sudah tahu kalau kita backstreet, dan sebentar lagi semua orang akan tahu perihal ini. Gue sudah siap dengan segala konsekuensi terburuknya. Tapi, tunggu.. kenapa gue harus takut? Eril kan tetaplah perempuan meskipun tomboy? Apa yang salah dari memacari gadis tomboy? Nggak ada larangannya, kan? Gak ada undang-undang yang mengaturnya, kan? So, what?
“Kita bilang aja kalau memang kita backstreet sejak satu bulan lalu,” kata gue akhirnya.
Eril menarik napas berat, “Mengumumkan itu nggak semudah membalikkan risoles di penggorengan!”
“Iya gue tahu. Kita juga lagi nggak ngomongin risoles!” bantah gue kesal.
“Terus gimana?”
“Ikut gue..”
Gue menarik tangan Eril kembali ke kelas begitu mendengar bel masuk. Gue akan membuktikan ke Eri bahwa sekarang gue udah siap lahir batin kalaupun harus jadi bahan ledekan teman-teman. Prinsip gue cuma satu, gue nggak boleh takut kalau gue gak salah. Selebihnya itu jadi urusan mereka.
* * *
Keriuhan kembali terjadi tatkala bel pulang sekolah berbunyi. Makhluk-makhluk astral di kelas kembali menggentayangi gue dan Eril dengan berbagai macam pertanyaan yang memuakkan. Sebagian ada yang cekikikan nggak jelas, sebagian lagi ada yang mendekat dan bertanya ini-itu layaknya reporter televisi nggak jadi. Gue ngelirik Eril dengan tatapan “Buruan keluar dari kelas”, sebelum keriuhan ini semakin menjadi.
Ketika Eril melewati pintu kelas, beberapa anak mencecarnya dengan kalimat sinis, “Kemarin Zen, sekarang Arash. Ditolak Zen, nemplok ke Arash,” tawa cewek-cewek paling sosialita di kelas.
Eril meliriknya sekilas. Gue bisa melihat ekspresi marah dari wajah Eril. Sebelum terjadi pertumpahan darah, gue segera menarik tangan Eril agar menjauh dari kelompok sosialita kurang perhatian itu. Tidak ada gunanya juga meladeni manusia semacam itu. Sebaik apa pun yang kita perbuat, akan tetap ada yang tidak suka. Dan sepertinya, mulai hari ini Eril harus belajar banyak soal itu.
Eril menghempaskan tangan gue kasar, “Gak usah sok ngebelain gue!”
Gue meliriknya sekilas, “Gue gak belain lo, kok. Cuma gak mau aja mereka lo jadikan samsak tinju lo,”
Eril mendengus kesal.
“Udahlah.. gue tahu lo orang paling keras yang pernah gue temui. Tapi gue gak mau gara-gara sikap keras lo itu, lo malah jadi gak bisa mengendalikan diri. Gue tahu lo kesel, tapi inget, setiap perbuatan jahat nggak harus selalu kita balas jahat,” gue menasehati cewek papan ujian itu.
“Cinta itu masalah hati, Ril. Pertumbuhannya selalu mengikuti arus nurani. Persis kayak teka-teki. Jadi, bukan salah lo kalo sekarang lo jatuh cinta sama gue, atau gue yang jatuh cinta sama lo. Hidup ini terlalu singkat kalau kita dengerin omongan orang,”
Eril mulai tenang. Napasnya yang naik-turun bergemuruh karena marah, kelihatannya sudah sedikit membaik. Iramanya sudah normal kembali.
“Kok lo bijak, sih?” tanyanya heran, menatap gue sekilas.
“Pertanyaan macam apa itu?” gue mengernyit.
Eril tertawa, “Kata-kata lo itu, udah kayak guru yang mengonseling muridnya. Atau kayak dosen yang nguliahin mahasiswinya!” cibirnya lucu.
 “Harusnya lo terharu atau tersipu, lantas bilang ‘duhh, pacarku ini sweet banget, deh!’ bukan malah ngeledekin gue!” 
 Dia terkikik, “Mau banget dibilang gitu?” Eril ngelirik gue dengan tatapan menjijikkan. Gue mau muntah.
“Lo tahu, Ril.. banyak di dunia ini yang nggak memiliki penjelasan pasti, sama seperti perasaan gue ke elo,”
“Ngegombal nih?” tanyanya, menaikkan sebelah alisnya.
Gue menjitak kepalanya gemas. Bakal percuma kalau ngomong bernada serius ke cewek papan ujian ini, nggak akan direspon serius. Eril selalu menduga kalau gue cuma gombal dan omong kosong belaka. Selalu susah buat percaya sama orang.
“Eh, siang ini temenin gue ke mall, ya. Mau beli gel rambut. Yang lama udah abis,” katanya santai.
Gue ternganga mendengar kalimatnya. Ternyata dia lebih maskulin dari yang gue kira.



Tentang Penulis :
Perempuan yang menyebut dirinya ‘pluviophile’ ini lahir di Medan, 16 Oktober 1996. Memiliki nama lengkap; Nanda Dyani Amilla. Beberapa karya cerpen, puisi, maupun esai nya pernah terbit menghiasi media lokal maupun nasional. Februari 2017 lalu, ia baru saja menerbitkan novel perdananya berjudul Kejebak Friendzone yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka. Saat ini tercatat sebagai mahasiswi aktif di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) dan bernaung di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, semester 6. Penulis yang menyukai bau tanah saat hujan ini tinggal di Jl. Serayu 3 Dusun V, Medan-Sumatera Utara. Ia berstatus  Mahasiswi Semester VI, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP UMSU.



Tidak ada komentar