HEADLINE

Cerpen Maulidan Rahman Siregar "AKU MENCINTAIMU"


DARI REDAKSI
Kirimkan Cerpenmu dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas dalam satu file ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Redaksi akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 1 bulan  Cerpenmu tidak dimuat maka dinyatakan belum layak. (Mohon maaf sebelumnya laman ini belum dapat memberikan honorium). Salam segenab redaksi.


Cerpen Maulidan Rahman Siregar
AKU MENCINTAIMU

Aku mencintaimu tanpa karena. Tanpa kata tapi. Kata-kata tak mampu melukismu, cahaya kalah terang dari matamu. Suaramu lebih sexy dari penyanyi barat yang ketimur-timuran. Maka, izinkan aku mengucap salam. Mengetuk pintu, tok, tok, tok, dan menyerahkan segala penat kehadapanmu. Serta, rebahkan aku, buat aku mabuk. Tuangkan segelas teh, sayangku. Buka apa saja. Kaus kaki, ikat pinggang, celana goyang. Cadar penghalang rambut, mukenah Australi, dan segala rahasia. Duduk di sampingku, kita akan membahas, kenapa aku mencintaimu, dan kenapa aku selalu begitu.

Aku mencintaimu dengan satu cara, yaitu dengan cara mencintaimu. Tidak ada hal atau cara lain. Aku mencintaimu ketika aku memancing, berzikir, aku mencintaimu ketika aku mengganti celana, menonton siaran tunda pertandingan bola, menonton kartun anak-anak, membaca cerpen remaja, cerita dewasa, dan lima belas ribu alasan lainnya. Aku mencintaimu ketika membawa buah-buahan untuk si sakit. Aku mencintaimu ketika mengunduh lagu. Dan lain-lain. 

Aku mencintaimu, ada masalah? Pagi-pagi aku tulis ini; aku mencintaimu. Malam-malam, tidak. Aku banyak merenung, mengapa aku mencintaimu. Parahnya, ketika merenung, aku masih mencintaimu. Sial. Ada yang hilang, siang. Kenapa siang hilang, karena aku sibuk. Sibuk mencitaimu. 

Aku mencintaimu, ada masalah? Aku mencintaimu sampai besok, jika besok kau belum mencintaiku, itu tidak penting, aku kira, besok masih besok, dan akan selalu begitu, kamu boleh bilang aku gila, atau yang lebih parah dari itu, terserah, sebab, dari dulu aku begitu. Maafkan aku, karena mungkin aku egois, tak punya urat, sebab, kamu juga begitu, tak malu bila menolakku melulu. 

“Apa masih ada yang belum kau sebut, Abang?” 

“Aku hanya mampu itu, Adik. Maaf.” 

Akan aku lakukan apapun. Beli buku-buku keluaran terbaru meski aku tak mengerti itu, meminjam uang di Bank, ke Mesjid jalan kaki, berdoa di belakang shaf orang lain, melihat orang selfie, dan lain hal. Apapun, asal aku boleh mencintaimu. Aku akan lakukan apapun, untuk dapat mencintaimu. Jangan tinggalkan aku, aku tak mau kau pergi, aku kesepian jika kamu di luar negeri. Aku kehilangan ketika aku di langit, kau di bumi. Aku rindu, ketika kau naik haji. Aku mencintaimu, kumohon, ini akan menjadi cerpen yang menyakitkan, atau puisi yang payah, jika kau menolakku. Aku laki-laki, kau perempuan. Lalu apalagi?

“Abang, dalam cerpen, seorang tokoh harus bisa keluar dari tempat yang dapat membuat si tokoh tersebut dianggap tak penting. Seorang tokoh harus bisa keluar dari pikiran penulisnya, jika tidak, cerpennya akan menjadi terlalu panjang, dan pembaca bosan. Misalnya, ketika kau mencintaiku, cukup ceritakan satu kali saja, jangan berulang-ulang, pembaca sastra sekarang sudah banyak yang pintar.” 

“Tetapi aku mencintaimu, dan sangat-sangat mencintaimu.”

 “Apa Abang kira pembaca butuh itu?” 

“Maaf, Adik. Maaf, aku mencintaimu.” 

“Sudahlah, Abang. Aku mau ke sekolah, banyak hal yang akan kuceritakan kepada murid-murid, dan aku kira, mereka tak butuh cerita, seperti cerita Abang. Tulislah yang baik-baik, bagaimana seorang polisi berhasil menangkap teroris tanpa melukai teroris tersebut, misalnya.” 

Pada hari ini, tak kuturut ayah ke kota. Sebab, aku mencintaimu. Aku kira, itu adalah satu-satunya alasan kenapa kau (juga) harus mencintaiku. Tapi nyatanya, kau tidak. Oh.

Mencintaimu layaknya suatu kewajiban, tapi aku sadar, aku lalai. Aku lalai, aku lalai, aku lalai. Lalai, lalai, lalai, oh. Aku bahkan tak mampu lagi melanjutkan ini. Kadang, memang begitu. Cerita yang mestinya selesai pada bab dua, karena penasaran, kau baca juga bab tujuh belasnya, dan kau menyesal, karena cerita itu memang harus selesai pada bab dua.

Baiklah, kekasihku, Manisku. Jika aku belum bisa mencintaimu hari ini, aku harap, besok masih besok, karena besok, adalah waktu yang paling tepat untuk mencintaimu. Jaga dirimu, baik-baik di sana. Titip salam rindu pada Tuhan. Aku yakin, kau pasti bertemuNya di sana.

Maafkan aku tadi, karena telah menggunakan handphone-mu untuk membalas pesan-pesanku. Sebab, sejak kecelakaan itu, hanya itu yang tertinggal. Hanya itu yang bisa menggantikan dirimu sekarang. Baik-baik di surga. Tunggu aku!

Aku mencintaimu, Manisku.


2017

Tentang Penulis: Maulidan Rahman Siregar, lahir di Padang, 03 Februari 1991. Tinggal dan bekerja di Padangpariaman. Tulisannya dimuat berbagai media cetak dan media online. Ia juga meredakturi sebuah majalah puisi.







Tidak ada komentar