HEADLINE

Semarak Puisi Malam Minggu (Edisi Ke-57)


SEMARAK PUISI MALAM MINGGU (edisi ke-57)


DARI REDAKSI
Kirimkan puisimu minimal 5 judul dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas dalam satu file ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Pada subjek e-mail ditulis SEMARAK PUISI MALAM MINGGU_edisi ke-58  (malam minggu selanjutnya). Redaksi akan memberi konfirmasi pd penulis yg karyanya dimuat. Bila dalam 1 bulan puisimu tidak dimuat maka puisi dinyatakan belum layak. (Mohon maaf sebelumnya laman ini belum dapat memberikan honorium). Salam segenab redaksi.

KARYA BERSAMA


PUISI PUISI ENDANG A

TERUNTUK MAYAKU

Dikau terbungkus rapih
dalam mata alam
pelayang caci, menabur duri. 

Sebuah rasa
di persendian malam
hadiri alamat
serta luka yang mengangga.

Lalu kisah sakit kau hanyutkan
dalam puisi
kau pendam bait
di antaranya. 

Jakarta, 17 Maret 2017.


CATATAN PUISI

Kemarin ....
Puisi ternisan
limbung
penuh darah kebencian. 

Di lorong kecil itu
menuai tawa keterpaksaan
dan aku membujuk rumput
untuk berdamai. 

Namun angin membawa lara
antara bait kesombongan 
dan kalimat sederhana
terkuliti oleh gubahanmu
hingga tak bernadi. 

Jakarta, 19 Maret 2017.


CATATAN KAKI

Ini tentang ringkasan 
di mana sebuah alamat mengudara
dan topeng hitam memasuki
dasar keresahan. 

Diam aku
dalam tubuh puisi
ada sedikit kecewa yang terkemas
beserta pil pil hidup
saling bertikai, mencari nalar. 

Sedang aku memangku luka
di atas sajadah
habisi tiap rintihan. 

Jakarta, 19 Maret 2017.


SAJAK AYAH

Tentang kepulangan tempo hari
di iringi hujan
pada gerbong itu
wajah sajak menghilang. 

Aku melongok dungu
menanti kereta 
penuh tatapan tajam
tiap rel ibu kota. 

Ya... tatapan yatim menanti 
sosok hadir penuhi tawa
hingga Fajar bertemu malam. 

Jakarta, 18 Maret 2017.


CATATAN YANG HILANG

Masih terjebak di sini
hatiku
sedang jurusan jalan lain arah
antara Jakarta - Tanggerang
macet oleh pola pikir. 

Berpura menyesakkan, terbilang mati resah
semakin merindu, bayangmu
antara pena dan lembar
penuh bait bait kosong
pahit, sepahit angan. 

Esok masih kembali kepada aroma obat
berbonus hujan suntik, ditemani Dokter cantik 
menjadi ampas kepenatan. 

Jakarta, 21 Maret 2017


DERMAGA NISAN

Ini tentang selembar jiwa yang hampa
pada lembar buritan
nyawa berbalas nyawa. 

Sedang Jakarta-Merak
berjarak urat nadi
putus antaranya. 

Jakarta, 18 Maret 2017.


SUJUDKU

Langkah linglung 
mencari pijakan. 

Lalu tersungkur 
pada selembar sajadah sunyi. 

Jakarta, 12 Maret 2017.


ANTARA PERSINGGAHAN

Di ujung sana, seutas senyum
melipat dalam cahaya Bulan. 

Datanglah menjemput malam
kukira antara persingahan adanya kita
dan aku pasti pulang
dalam wadah bingkisan siang
mencari puisi dalam perandaian. 

Lalu berkolaborasi
menepis jarak
mencatat perjalanan. 

Jakarta, 27 April 2016.


DI PELUPUK MATA SENJA

Harap harap kecemasan
tersirat dalam bulir bulir kelopak. 

Antara ruang penyekat
dan birama jantung
terbayang panggilan abadi. 

Di pelupuk mata
basah basah
menunggu alamat pulang. 

Jakarta, 18 Maret 27.


PEREMPUAN SUNYI

Hei, engkaukah perempuan itu? 

Yang terhanyut dalam logika alam, mengintip dari balik jendela, tentang pagi berembun, bersama warna warni kehidupan. 

Lantas, masihkah kau melihat rembulan? 

Di suatu senja, beralamatkan keindahan, memancarkan cahaya, pada pori pori bumi yang mulai menipiskan lapisan ozon, dan berkurangnya oksigen. 

Kemudian menarik kesunyian dari hidupmu membuat kegaduhan dalam biji bola matamu
menari dan bernyanyi, menghentikan alur hidup pengasingan. 

Wahai perempuan sunyi, marilah kita tenggok bersama, bintang kejora yang mulai menyayanggimu. 

Jkt, 22 Maret 2017.

Tentang penulis : Endang A tinggal di Jln dukuh 5. Kramat Jati-Jakarta Timur. bergabung di Komsas Simalaba, mempublikasihkan karyanya di media online; www.wartalambar.com



PUISI PUISI Q ALSUNGKAWA


Kepadamu: Perempuan, yang mendenyutkan lintasan, bahkan terpilin roda gejolak.

Biji kelopak, yang hinggap di sekujur tubuh, wura wiri. Kemudian menghujam tanggul trotoar
dan decak kagum melahirkan kerumitan.

Engkau, aku. Kenapa tidak duduk sejenak
mengeja kemungkinan dari sudut malam?
Bisa saja saling mengingat aroma yang bungkam
melupakan segala bising
bahkan raut kota kota yang menyakiti luasnya jangkauan mata.

Kenapa tidak mencoba?
Singgah saja
akan kusajakkan mimpi-mimpimu yang belum usai engkau sepakati.

Lampung Barat, 19 Maret 2017.


GANG 99

Pada pucuk daun di sela putik,  sari yang kurawat. Tentang semilir yang mengudar perihmu.

Ya, betul! Sepercik, bukanlah yang terbaik
namun merawatnya hingga bersemi, sebagai tumbuhan hati.

Sebab kita-

bukanlah dusta!
Hanya meluruskan pemikiran, yang telah dibawa sesat seseorang.

Lampung Barat, 19 Maret 2017


HUMAIRAH

Tersipu. Aku ingin mengganti rautmu
menjadi Puisi.
Lalu kupajang di belalak mata
dan setiap kedipannya terus kubaca.

Hai, yang menyembunyikan senyuman. Usah engkau berkata tidak!
Aku ragu bila itu kebohongan. Sebab engkau puisi-puisiku, ujung pencarian, hingga kuhabiskan separuh punggung terbakar cahaya.

Kita yang mengemis pada Tuhan
Menyerahkan sekujur kesungguhan
atas apapun yang sepenuhnya, adalah milik-Nya.

Lalu-

ya, engkau Humairah, bisikan di sela sepuluh jari.
Diskusi di tubuh larut
keikhlasanmu yang kudoa.

Lampung Barat, 21 Maret 2017.


TANGKAI MALAM

Tidurlah. Di mana engkau telah berdamai dengan kantuk, di saat itu
di antara ribuan mimpi, yang tersisih oleh malam.

Maka-

rawatlah
sementara Ia memahami kerpercayaan
dan setelahnya
menanti pelukan yang selama ini, engkau peruntukan.

Lampung Barat, 12 Maret 2017.


EMPAT MATA

Dan larut benar engkau datang
jauh setelah mimpiku sesat.

Tetapi senyuman pagi ini bertabur gula
setelah dingin itu binasa. Dan aku mulai merapikan meja juga sepasang kursi
sebab kita akan bicarakan hati.

Empat mata saja
dengan menu seadanya, menikmati bahagia yang sederhana
juga menghubungkan segala ragu.

Hai, mari simpulkan dua pandangan
sehingga sepakat
setelah kita cuci hati, dari labirin kemarin
lalu menggambar lagi ruang bertaman.

Lampung Barat, 23 Maret 2017.

Tentang Penulis: Q Alsungkawa, bergiat di komunitas sastra di Lampung Barat (KOMSAS SIMALABA), ia mempulikasikan puisi-puisinya di media online www.wartalambar.com, Saibumi.com dan Lampungmediaonline.com 



PUISI PUISI BUNDA SWANTI


SURAT UNTUK  AYAH

Ayah ...
Rindu yang telah kau bangun dalam dinding hatiku, berhias sayang dari cawan cemburu hanguskan  jiwa

Aliran rasa coba kurenangi sendiri, dingin menyeret jauh ke muara, muara yang tiada batas 

Ayah ...
Masih terngiang sapamu lembut, tuturmu penuh canda 
Ingin selamanya nikmati 

Ayah ...
Senja kali ini kian merah
Menggantung begitu indah di sela bibir bumi, nda di situ menunggu

Titik bening merembes dari dua telaga, mengeja lembaran hari yang pernah kita cipta

Ayah ...
Kenang nda dalam hidupmu, walau cuma secuil rasamu padaku, tapi cukup bagiku sebagai bekal untuk mimpiku yang panjang.

Rokan Hilir, 18 Maret 2017


ABI

Bukan begini cara merindui,  hanya tergantung di ujung ranting berduri menjulang tinggi.

Sedang aku ada di sini, menatap penuh harap.

Harap kian senyap, menguar habiskan wangi.
Abi...
Bukan begitu mencintai, titipkan rasa pada yang empunya.
Jangan...
pada pelangi di birunya mega.

Rokan Hilir, 18 Maret 2017


SAJAK DARI SEBERANG

Biji-biji kata tersusun menjadi aksara, gubahan terhantar lewat titik titik embun. 
Menyejukkan perdu dan daun meranggas.

Seiring surya hangatkan bumi, menyembul dari mimpi terpenggal malam tadi.

Terlahir makna di balik atma, indah lukisan pesona.

Padamu sajak abadi, jangan sembunyi di balik jeruji 
hadirlah kunjungi mimpi.

Rokan Hilir, 17 Maret 2017.


TAMU ISTIMEWA

Hadirmu dengan cindera mata, dengan jejali kotak di hati, yang tak pernah bertanya apa aku siap menerima.

Rela, namun tiada ikhlas, ketika engkau begitu jumawa memasuki rumah.

Di setiap lorong terisi coretan, menggores tiap dindingnya.

Tergagu melihat pongahmu, sombong menghanguskan dan kian tergugu merasakan.

Kini hadirmu bagai siluman, tiada terlihat namun dapat dirasa dan dinikmati.

Pulanglah wahai tamuku, harap ini untuk dikau Jangan pernah kembali.

Rokan Hilir, 22 Maret 2017


LELAKI DI DADA KAPAL

Malam di tengah laut lepas
terombang ambing  gelombang

Serasa diri kerdil di hadapanNya, setumpuk dedoa dilantunkan perlahan

Wahai samudra, jadikan
ia sahabatmu  hantarlah sampai dermaga

Kutitip padamu selarik pesan jangan sentuh ia dengan amarah, tapi peluklah dengan kasihmu.

Rokan Hilir, 23 Maret 2017


AMNESIA

Segumpal daging terbungkus untaian kain percah, terjalin dengan ronce nan indah.

Belenggu menghampiri, menanam ribuan benih

Kupeluk lupa sekuat daya, jangan cegah lagi
Biarkan amnesia selamanya.

Rokan Hilir, 23 Maret 2017


Tentang Penulis: Bunda Swanti Seorang ibu rumah tangga, hobi membaca puisi. Tinggal di desa Bangko Lestari, Kecamatan Bangko Pusako, Kabupaten Rokan Hilir RIAU



PUISI PUISI NENI YULIANTI


CINTA DI UJUNG CINTA


Inilah desah hati perempuan
tentang cinta, yang mengharap rida Tuhan.
Singgah dan menetap
mengukir kertas putih
dengan tinta berwarna.
Yang terpungut, dari kisah perjalanan
dan terlahir di awal titik jumpa.

Benih disemai, di ladang buah sabar
lalu memetiknya di musim panen.

Ya--

rawatlah Ia dengan iman
selama napas masih memburu.

Sebab, alirannya terus mengalir
dari hulu ke hilir
hingga pulang kepada Tuhan.

Cirebon, 19 Maret 2017.


KAKAK TERCINTA
(Teruntuk Kak RA)

Adalah ia, yang membentangkan cinta di antara luasnya samudera, menabur kasih di ladang hati, dengan simpul senyum yang manis di bibir.

Dan---

butir embun puisi menetes pada dedaunan, memintal rasa rindu pada pelangi, penyejuk nada, pengusir sepi.

Ya---

bulir doa menghias di setiap helai napas. Kembali mengurai derai rindu kasih dua bersaudara yang terpisah jarak dan waktu.

Cirebon, 17 Maret 2017.


KALIMAT MENUNGGU

Adalah kekata yang bertengger di ujung penantian, menguliti arti dalam lipatan waktu, jenuh meremasi jeda kata Menunggu.

Sementara--

hawa dingin menusuk pori, sesimpul senyum tertahan di ruas rindu bermata biru, mematahkan tangkai malam yang beranjak pergi.

Ya--

hati resahkan nada sumbang. Kembali memintal rasa, pengusir sepi dalam kalimat menunggu.

Cirebon, 13 Maret 2017.


PEREMPUAN AIR MATA

Tidak ada guna mengaduh!
Pikirku di cabang jalan
merajuk manja, membelai mimpi.

Sekelumit rasa masih mengeja
yang terpungut dari kata lelah
sebab mengendap di kelopak
berderai air mata.

Dan lagi percuma mengaduh!
Ya, tangan ini mengurat nadi
dan punggung dipaksa menopang. Meski gontai, sebab aku Perempuan air mata.

Cirebon, 21 Maret 2017.


CINTA DI UJUNG WAY TEBU

Hai, pejuang sastra 
yang menyemai biji puisi di ladang Way Tebu.
Yang pandangannya terus ke depan, membaca catatan dari tulisan tinta hitam.

Sepercik rasa kau taburkan di hulu dada ini, ya, di sini, tentunya sebongkah cinta berkilau di antara padang tandus.

Dan--

wajah sajak tersipu, memilin rasa, singgah dan menetap. 
Kembali mengurai benang, setelah rumit di sisa hujan.

Cirebon, 23 Maret 2017.

Tentang Penulis : Neni Yulianti, bertempat tinggal di kota Cirebon, kegiatan bekerja di perusahaan swasta, menekuni dunia menulis puisi. Dan Rutin karya karyanya dipublikasikan di media online Warta Lambar



PUISI PUISI ROMY SASTRA


TAFAKURNYA SANG MUSYAFIR 

Telah aku kelilingi dunia, mencariMu 
Di berbagai persinggahan bertanya 
Di mana pintu istana maha kekasih berada 
Semua diam tak mengerti 

Bertanya kepada angin 
Sepoinya melenakan tubuh, mata terkantuk 
Debu-debu diterbangkan tutupi wajah ini
Di liang rongga ia memuji 

Bertanya kepada langit 
Jangan tatap dadaku, 
Bulan, bintang, matahari, mereka semua bersujud 
Merunduklah pintu langit ada dalam tafakur 

Bertanya kepada hamparan terbentang 
Pasrah tak menuntut jera jerih dan lelah 
Ia berbisik pada pasir-pasir terpijak 
Di tubuhmu pagar istana kekasih berada 

Bertanya kepada samudera 
Riak-riaknya melambai seperti bayangan 
Jangan menatap nun di kejauhan 
Telanjangilah jiwamu, selami kedalaman itu 

Terdiam sejenak merenungi diri 
Yang dicari sesungguhnya tak jauh 
Cukup bertanya pada rasa, mursyid 
Istana kekasih itu, pintunya ada pada kematian di dalam hidup 

HR RoS
Jakarta, 20/03/2017  


EMBRIO CINTA 

Desah cinta setetes darah hina berkoloni 
sukma kasih menyatu dalam garbah 
terbentuk bibit insani 
bertanya Hu pada embrio
"Kutitip amanahKU, ke dunia kelak.  
Adakah engkau sanggup memikul titah dunia sepanjang kematian,
sedangkan engkau embrio tercipta dari sabdaKU, 
dari kehidupan pertama dalam Qolam azali
Kutuntun dengan detail indahnya rahsi

Azali tergurat misteri 
di setiap detik-detik laju cipta 
lena seperti melayang dalam nebula 
segala serba ada tersenyum mesra  
berdialog belajar cinta bernapas Hu 
detak-detak memandu berjalan jauh 
tetap langkah itu di hadapan-Nya 

Hu bersabda pada ruh, 
siapa Rabbmu ya embrio? 
Engkaulah wahai kekasihku

Embrio lahir ke dunia alam kematian 
tersesat jalan negeri apa ini
tak lagi menemukan kedamaian 
yang ada kebisingan 
embrio mencoba tenang kembali 
pada adzan memandu asma-asma puji 
yang dikenal dari dalam rahim 
baru saja tertumpah lewat goa garbah 
embrio bergantung pada titah Ar-Rabbani 
dari suara merdu ayah bunda serasa merayu semu
ayah dan ibu memelukmu
Ar-Rabbani menuntun jalan embrio 
belajar bermusyafir pada dunia kematian 
mencari lembaran azali kembali
untuk bekal jalan pulang ke alam abadi ....

HR RoS
Jakarta, 27/09/2016


Tentang penulis: Lelaki berdarah Minang Sumatera Barat, Romy Sastra berdomicili di Pesing Koneng RT 8/2 No: 55, Kelurahan Kedoya Utara, Kecamatan, Kebon Jeruk-Jakarta Barat.



PUISI-PUISI NURIMAN N. BAYAN

SEBUAH PERTANYAAN

Berjuta kalimat telah tidur
di kolom kolom bergambar
bahkan suara ini, tak asing lagi direkam angin.

Dan di belasan musim kali ini
suara akbar pun kami lempari ke udara
dengan seribu kecemasan
bergentayangan di kaki Gamalama
tentang tanah, dan kotak kanak-kanak yang tergadai.

Tetapi, apakah sebuah bicara mesti dilepas
dengan membuang suara ke udara?
Sedangkan segerobak wajah makin cemas
dan sebingkai matahari telah terbit
di jalan jalan ini.

Kapan, kami mendapati kedamaian
jika berjumlah air mata, masih bertamaysa
pada asap yang terlanjur bergelembung
dari api yang selalu memberi hujan.

Atau, kecemasan ini, dibiarkan menjadi api
membakar nama diri
lalu terbang ke langit
dan bertanya kepada Tuhan
apa arti kemederkaan?

Ternate, 16 Februari 2017.


ADA APA DENGAN HUJAN

Aku mendapatinya setelah hujan
lalu ia meninggalkanku selepas hujan
hingga setiap hari, aku mengutuk kabut hitam.

Tetapi, setelah berulang kali
aku merobek belalak mata
dan melempar tanya ke langit
aku menemui, di sela-sela tawa.

Menari, dan menari
di atas kalimat
yang pernah pulang.

Namun seribu dilema, selalu kusimpan
di kantong ...
sebab kutahu, aku belum pantas menjadi malaikat.

Ternate, 17 Februari 2017


MENGETUK PINTU SUNYI

Tiada utuh dari mata ini
selain menutup pintu sepi
menghitung dekil-dekil perjalanan.

Tiada sempurna di jalan ini
selain kembali ...
meringkas kegetiran matahari.

Ya, tiada puisi yang lebih sunyi
selain pulang, mengetuk pintu sunyi.

Ternate, 20 Maret 2017.


SEPENGGAL LANGKAH

Hanya bisa menyimak
sepenggal langkah
membekas
di tanah di sebelah.

Sebab angin pemberontak
terlanjur mengibaratkan pintanya.

Ternate, 20 Maret 2017.


BALADA DAUN ANGIN

Apakah angin terlanjur sibuk
mengguncang daun
lalu berlahan
mematahkan reranting pohon.

Atau, daun diciptakan
tumbang di tiap-tiap waktu
tetapi, Tuhan Maha Adil.

Ternate, 18 Maret 2017.


ANGIN SERIBU PURA PURA

Setelah berhura-hura
di atas udara
angin pun berpura-pura.

Ya, ia berhura-hura meramu
sambil pura-pura
hingga lahir huru-hara.

Mungkin, sebelum ini
angin telah pandai
berpura-pura di depan Tuhan.

Ternate, 18 Maret 2017.


NEGERI PATAH HATI

Bukan hanya kata, berjalan tanpa kaki
tetapi hati telah patah berulang-ulang
tersebab angin, terlanjur menunggang api
hingga daun mesti banyak menelan air.

Lihat saja, ke selokan kota
ke pasar pasar, ke kolam basah
ke hutan-hutan, ke sawah-sawah
ah, pandangan tetap sama.

Ya, daun tetap jadi tumbal
bila angin masih saja patah hati.

Ternate, 18 Maret 2017.


HILANGNYA SEBUAH GAIRAH

Aku bergairah
melihat tubuhmu telanjang
di bibirmu ombak meloncat-loncat
dan namamu dibasuh, dengan berjuta kata agung
juga kelaminmu, samudra pelayaran
tempat kapal-kapal berlabu.

Aku makin bergairah
menyaksikan tubuhmu, ditidurkan pacul
dan dadamu, ditanami pohon-pohon.

Gairahku hilang
ketika
tubuhmu, ditidurkan exa, doser, dan loging
hingga kelapa menangis
pala menjerit, cengkeh bunuh diri
dan coklat mati rasa.

Ternate, 26 September 2016.


DI PEMATANGAN MALAM

Di pematangan malam ini
langit bisu
sedang anak sungai saling bertikai
laut menjadi tawar
dan udara menjadi asing.

Hanya gigil dan gumam tak berpaham
menjalar ke seluruh tubuh
juga jejak lalu, mendengkur
sambil memukul kedua tatapan ini.

Ternate, 21 Maret 2017.


SEKEDAR MEMASTIKAN

Lama sudah, kutinggalkan
sebab engkau, sering
menanam paku di kepala.

Tetapi pagi ini, aku belajar
menyeduhmu kembali
sekedar memastikan
apakah engkau tetap sama seperti dulu.

Pengupas malam malam panjang
demi membuka pintu fajar
di langit Halmahera.

Ternyata, engkau serupa
walau ngilu mengejamu.

Ternate, 06 Maret 2017.


LONCENG AIR MATA

Dengkurmu, memukul
langit Halmahera
memuntahkan hujan
tetapi kusimpan.

Sebab cintamu, belum bertulang
hingga tak paham, arti kata rindu.

Namun, jika inginmu mengenal rindu
simaklah, lonceng air mata
yang tumpah dari bayangku.

Ternate, 05 Maret 2017.


EMBUN PAGI DI PANGKUAN MAMA

Seiring usia berlanjut
biji-biji kalender pun patah
ketika kaki puisi mengawali
langkah ke ribuan asa
di langit kota.

Tetapi embun pagi tetap mentah
dari ingatan ini
tentang pangkuan
Sang Dewi berjuta kasih
di belahan dada Halmahera.

Sungguh, jika menyembahnya
satu keharusan Tuhan
biarlah aku merebah
di kakinya
meminta keringanan
berjumlah kelupa-lupaan.

Ternate, 01 Maret 2017.


DI LANGIT LANGIT HALMAHERA

Di langit-langit Halmahera
di kelak nanti
kita
kepala yang dimandatkan
tangan yang digenggam
kaki yang ditapak
pundak yang dititipkan.

Tetapinya kita
gunung yang diagungkan
sungai yang dipercayakan
air penyapu haus
api yang menghangatkan.

Tangga-tangga yang dinaiki
dayung yang menakodahi
cangkul yang memperladang.

Perpustakaan yang mencerdaskan
guru-guru yang mengajarkan
papan yang bertulisan
buku yang dibacakan
dan pena-pena yang menuliskan.

Ternate, 31 Agustus 2016


SIOKO MOROTAI

Pulau indah, tempat mengadu pada pasir dan laut
sudah kuduga tubuhmu dicacah
dengan obrolan panggung
yang melahirkan anak-anak angin.

Sioko Morotai
semoga kau tiba dengan selamat
di ujung pintu kebebasan penuh kebijaksanaan
dengan jamuan kasih setara
untuk kemaslahatan umat bangsa dan negara.

Sioko Morotai
tutuplah daun-daun dengan berani
bila telingamu diusik dengan janji
sudah cukup kau dikhianati
dengan visi-misi yang tak terpatri.

Sioko Morotai
ikatlah cucumu dengan besi berani
biar terhimpun dalam sajak Ilahi
karena angsa sedang merana
memuntahkan kata penuh nanah
dan mengantarmu pada tembok bencana.

Galela, Ternate, 31 Oktober 2016.

Kutipan:
(Sioko) adalah salah satu dialek/bahasa Galela yang berarti (aduh kasihan).



Pentang Penulis: Nuriman N. Bayan (Abi N. Bayan) tinggal di Supu, Kec. Loloda Utara, Kab. Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara. Abi N. Bayan, Penggiat seni tulis, Pembina Komunitas Parlamen Jalanan Maluku Utara (KPJ MALUT), dan tergabung di Gerakan Mahasiswa Pemerhati Sosial (GAMHAS-MU). mempublikasikan puisinya puisinya di media online www.Wartalambar.com.



PUISI PUISI MALA FEBRIYANI 

DEDOA UNTUKMU SAYANG 

Sayang, Allah lebih menyayangimu nak, tunggulah
kami jika bertemu di pintu SurgaMu.

Ayat demi ayat terpanjatkan,
di malam yang hujan ini, seakan
langit pun tahu kita mengirimu
ke liang lahat dengan air mata.

Namun-

kita ikhlas, hanya mampu kirim
doa dari jauh di ibu kota yang
tertawa hanya tante yang menunduk sedih menyesali,
kejuahan jarak ini.

Jakarta, 21 Maret 2017.


KEPERGIANMU 

Lihatlah sayang, setelah malam 
hujan kini pagi begitu cerah, 
seakan menjawab bahwa kamu 
tersenyum di atas sana.

Selamat jalan sayang, kepergianmu membuat tante
sadar bahwa kita tak selamanya 
berpijak pada bumi.

Melainkan, kita kan kembali 
di dalam tanah bersama cacing
cacing dan sebagainya.

Ingatlah sayang, di wajah sendu
ibumu tak pernah sekalipun doa
lepas dari bibirnya yang bergetar.

Jakarta, 21 Maret 2017


KETIKA IA BERPULANG

Ketika ia berpulang kepada sang Ilahi, tinggal kenangan wajah mungil 
yang begitu damai dan sempurna.

Sungguh, tak kusangka kala ia 
hadir kedunia harus berpulang kepada sang Ilahi.

Doa-doa di wajah sholeh tak lepas dalam Ayat-ayat yang berkumandang di gubuk itu untukmu sayang.

Binar keikhlasan yang begitu sendu, di wajah ibu-mu takkan membuat ia rapuh dan tak luput mendoakan mu sayang.

Tante bahagia, engkau telah mengecup udara dunia walau sekejap mata. 

Kutitipkan doa Pada-Mu Ya Allah, jaga dia di pintu Surga.

Jakarta, 21 Maret 2017.


DI PANGKUANMU 

Ya Rabb, hamba hanya insan 
biasa yang masih banyak dosa 
dan mengumpulkan biji-biji
amal baik perbuatan atau lisan.

Hanya kepada-Mu hamba meminta, pangku ia dalam
dekapmu Ya Allah.

Jakarta, 21 Maret 2017


MENATAP BATU NISAN

Perih, hanya mampu menatap
batu nisan dari jauh bahkan hanya
di layar ponsel.

Kecewa, dengan diriku yang jauh
dari mereka, andai jarak ini dekat
ingin kuberlari memelukmu dan 
menciumm-mu sekejap saja.

Akan tetapi-

hanya angan, karena aku pun 
hanya mampu berdoa dan menangis di sini menatapnya.

Jakarta, 21 Maret 2017.


TERSENYUMLAH 
Teruntuk : kakak.

Kak, lihatlah masih terlalu pagi
untuk kakak mengemas kesedihan di wajah cantikmu.

Tersenyumlah, sebab ia ingin 
melihat Ibunda nya yang tegar
dan tak lemah.

Jakarta, 21 Maret 2017.


MENTARI 

Kak, entah aku yang sedang sakit
sehingga penglihatanku buram, atau aku yang memang tak bisa 
melihat indah nya mentari.

Kenapa gelap kak?

Tidak sayang, mungkin kita
yang berkabut air mata di wajah
kita bahkan kakak tak melihat awan cerah dilangit.

Jakarta, 21 Maret 2017.


TETESAN HARAPAN

Bintang-bintang tabu
di bukit
sudut bumi terpencil yang tenang.

Sedangkan tawa mereka
pulang bermain dari sana
tetapi tak mampu juga
membuat wajah pucat itu cerah.

Sebab tetesan air mata
tak mau reda, dari sungai perbatasan.

Dan-

harapan, tak menjadi
hingga semangat mesti ditancapkan
bersama kaki yang terus mengejar jejak angan
walau mata tak mampu memandang.

Begitukah?

Tualang mengolah impian
kesabaran dan keikhlasan
harus menyatu
untuk sebuah angan-angan.

Jakarta, 21 Maret 2017.

Tentang penulis : Mala Febriyani tinggal di Klampok pasar bawang, banjaratma gg. Batara 2. Brebes, Jawa Tengah.

Tidak ada komentar