HEADLINE

Cerpen Riduan Hamsyah "MENYAMBUT MANG SALMAN"


Cerpen Riduan Hamsyah
MENYAMBUT MANG SALMAN

Ia adalah orang kaya di kampung sebelah. Namanya SALMAN. Orang orang sering memanggilnya ‘Mang Salman’. Lelaki yang belum terlalu tua benar ini terkenal karena uangnya banyak. Bisnisnya maju dan punya cabang di mana mana. Ia juragan kayu manis, juragan tebu, juragan ‘emping melinjo’, penampung segala macam hasil bumi dari para petani, juga sekaligus tengkulak yang menguasai seluruh pasar. Ia juga punya pertambangan air ajaib di belakang rumahnya. Air yang jadi bahan rebutan orang orang dari mana saja dan harganya mahal. Konon air ajaib tersebut sangat aneh, bila dicipratkan sedikit saja pada sebongkah besi lalu dibacakan sedikit mantra-mantra maka sebongkah besi itu bisa hidup seperti manusia, bisa berenang atau mengapung di lautan. Bila dicipratkan pada sebongkah alumunium dan dibacakan mantra-mantra maka alumunium itu bisa terbang berhari-hari di udara. Sungguh air yang sangat ajaib. Konon pula air ini bisa berubah menjadi potongan-potongan emas, perhiasan, dan macam macam lainnya. Bahkan dengan bim-sala-bim ada-kada-bra ‘crut’ air itu berubah wujud merupa perempuan perempuan cantik yang bisa disunting sebagai istri simpanan. Bila mantranya dibaca tujuh kali sambil dibakarkan menyan maka air ini bisa berubah jadi biji-biji ketapel yang dipergunakan orang untuk saling menyerang dan berperang. Luar biasa. Benar benar hebat. Padahal air ajaib tersebut cuma berupa cairan encer yang warnanya tidak begitu beda dengan kencing kambing.

Khusus untuk air ajaib ini Mang Salman tidak menjualnya sembarangan. Ia sedikit pilih kasih. Pilih pilih konsumen pastinya. Hanya broker-broker kelas paus saja yang bisa membelinya, yang kelas jentik nyamuk minggir. Ini yang bikin Mang Salman jadi kaya raya “bisnis air super ajaib”. Sebagai Sang Juragan, pastinya ia juga orang hebat dan punya pengaruh yang sangat luas.

*****
Beberapa hari lalu kampung kami geger oleh sebuah berita bahwa orang kaya dari kampung sebelah itu akan berkunjung ke sini. Orang orang sibuk membicarakan ini. Mereka membahas sebuah topic yang serupa dalam setiap obrolan di mana mana. Di pos ronda, di acara pengajian, Majlis Ta’lim, di warung-warung, di pasar, di bengkel, di sawah, di ladang, di meja makan pokoknya di setiap ada kerumunan maka orang orang akan membahas Mang Salman, orang kaya dari kampung sebelah yang rencananya akan blusukan ke sini. Mantab.

Di tiang-tiang listrik sepanjang jalan penuh tempelan gambar lelaki berjanggut tersebut. Sebenarnya, wajahnya biasa saja. Seperti kebanyakan anak Adam pada umumnya. Tidak ada yang berlebih dan terlalu istimewa. Cuma perawakannya saja yang tinggi besar dan diprediksi tidak akan lincah gerakan tubuhnya bila diajak balab karung melawan kami masyarakat kampung ini yang sejak turun temurun sudah biasa hidup susah; memikul hasil panen padi di sawah meliuk liuk di atas galangan serta naik turun gunung, mancing di kali, atau mengikuti gerak cangkul yang menghantam tanah di ladang jagung. Dari gambar dan poster-poster yang ditempel orang di setiap tempat itu terlihat bila ternyata orang kaya ini sudah agak berumur, meski nampak awet muda, ditambah lagi posturnya yang bongsor serupa pohon sonokeling, agak bengkok dikit ke samping.

Kemudian Sang Ketua Kampung yang belum lama ini terpilih melalui sebuah proses demokrasi ala rakyat di wilayah kami angkat bicara dalam sebuah forum yang dihadiri oleh banyak orang penting;
”Wahai, para Pamong, pejabat-pejabatku sekalian! Mari kita persiapkan secara matang untuk penyambutan Mang Salman, yang rencananya akan datang seminggu lagi.”

  Maka dengan serentak orang orang penting serta para pejabat kepercayaan Ketua Kampung dalam forum yang eksekutif tersebut menjawab, “Siiaaaaap, Pak Ketua!”

“Kami menunggu perintah dan komando dari Pak Ketua selanjutnya,” Seorang yang berpenampilan elegan bicara dengan wajah yang patuh, sambil sedikit mencondogkan wajahnya ke arah benda kecil berfungsi sebagai pengeras suara yang telah tersedia di mejanya.

“Bagus kalo begitu. Lalu, apakah aspek keamanan darat, laut, udara sudah kita persiapkan segala sesuatunya? Sudahkan para personil keaman melakukan koordinasi dengan seluruh jajarannya untuk mengantisipasi segala bentuk potensi ancaman yang bisa mengganggu jalannya kunjungan tamu terhormat kita ini?”

Seorang yang lain, dengan Bahasa tubuh agak sedikit terkejut, membetulkan posisi pengeras suara, lalu bicara dengan penampilan yang berusaha dibikin tenang,

“Siap, Ketua!”

“Jelaskan?!”

“Pak Ketua, saya dan jajaran saya sebenarnya tidak begitu serius mempersiapkan aspek keamanan untuk tamu kita yang akan datang sebentar lagi ini.”

“Lah, Kenapa? Kok bisa demikian?” Ketua kaget bukan main dengan pernyataan pejabatnya yang berlagak plamboyan satu ini. Tak terkecuali semua peserta forum yang berisi orang-orang penting di kampung kami ini. Semua pasang mata beralih ke yang empunya kata-kata. Suasana sempat hening dalam hitungan detik. Sebelum kemudian,

“Sekali lagi maaf, Pak Ketua, atas sikap saya ini.”

“Jangan bertele-tele, segera anda jelaskan apa alasannya!”

“Begini, Ketua. Tamu yang akan datang ke kampung kita ini hampir bisa dipastikan tidak memiliki musuh di sini. Secara kultur sejarah maupun kedekatan emosional kita sudah terjalin sejak lama. Tidak ada sejarah apapun yang pernah mencatat orang ini pernah bersengketa atau berselisih pendapat dengan kita, baik secara politik, diplomatik, idiologi, geopolotik serta berbagai aspek masyarakat kampung kita dengan kampung sebelah sangatlah harmonis dan seiring sejalan. Jadi, itu alasannya kenapa saya dan seluruh jajaran saya tidak terlalu merisaukan terhadap potensi gangguan bagi tamu kita yang terhormat ini.”

Sang Ketua Kampung diam. Entah apa yang direnungkannya.
“Tetapi kita tetap harus memberlakukan Ring berlapis. Segala ancaman harus tetap diwaspadai secara maksimal sebab kita tidak ingin sejarah yang telah terukir dengan baik justru tercoreng saat ini. Apa kata dunia?”

“Oh, tentu, Ketua! Kalo itu sudah pasti kita lakukan. Semua kenyamanan dan ketentraman tamu yang datang ke kampung kita tetap akan kita jaga, meski tidak seketat pengamanan tamu-tamu dari kampung yang lain, khusus tamu yang ini saya tidak terlalu khawatir. Untuk apa kita menggelontorkan biaya pengamanan yang terlalu besar untuk mengamankan orang yang memang sudah aman. Jadi pengamanannya biasa-biasa saja, Pak Ketua. Dana untuk membiayai keamanan bisa kita alokasikan pada aspek yang lain, misalnya menyiapkan menu makanan yang mewah sebab ini orang kaya raya, tentu makannya pun tidak mau sembarangan.”

Semua anggota forum manggut-manggut. Cukup bisa menerima alasan yang dikemukanan oleh pejabat yang barusan bicara. Kecuali, seorang yang kemudian gentian bicara.

“Saya tidak setuju, Pak Ketua.”

Semua pasang mata berpindah arah.
“Jelaskan alasanmu?!”

“Begini, Ketua. Secara hubungan diplomatic kita tidak punya sejarah buruk dengan kampung sebelah. Tetapi jangan lupakan bahwa ada ratusan masyarakat kita pernah menjadi pembantu rumah tangga di sana.”

Semua terdiam.
“Lalu apa hubungannya dengan aspek keamanan?” Sang Ketua serius menanggapi, “Saya paham kemana arah bicara anda. Memang benar ada sejumlah masyarakat kampung kita yang bekerja di kampung sebelah, kemudian mereka mendapat perlakuan yang kurang layak semacam penganiayaan, bahkan ada yang terjerat hukum adat di sana. Dihukum mati. Saya paham itu. Tetapi itu hanya segelintir kecil saja, dan, semuanya sudah diselesaikan secara arif, bijaksana, damai dan penuh rasa kekeluargaan. Jangan pernah kita berpandangan picik serta menarasikan segala sesuatu dari sudut sempit sebab lihatlah ada ratusan masyarakat kita yang pulang dari kampungnya Mang Salman dengan membawa keberhasilan. Bawa uang banyak. Bisa beli sawah. Bangun rumah serta buka usah di sini. Jangan karena nila setitik lalu rusak susu sebelanga. Paham anda!” Nampaknya Ketua Kampung tidak terlalu simpatik dengan pejabatnya yang bertingkah mengungkapkan persoalan (yang menurutnya) tidak begitu penting di forum terhormat ini.

“Bukan begitu, Pak Ketua, sama sekali bukan ke arah tersebut pembicaraan saya, tetapi saya punya penjelasan lain.”

“Cepat paparkan secara rinci penjelasanmu!”

“Saudara saudara sekalian yang hadir di forum terhormat ini. Terutama Pak Ketua Kampung yang sangat saya hormati. Saya hanya ingin menyampaikan kondisi dari masyarakat kita belakangan Ini. Masyarakat kita begitu gampang untuk menggelar demonstrasi, aksi masa begitu gampang dipicu dengan segala persoalan yang sepele sekalipun, apatah lagi bila itu menyangkut masalah hajat hidup orang banyak serta label sebuah harga diri. Tanpa pikir panjang dan pemahaman yang panjang pula orang orang akan turun ke jalan menyuarakan segala kepentingan yang menyangkut rasa tidak nyaman, rasa tidak enak, bahkan sentimen pribadi sekalipun. Inilah yang saya sedikit cemaskan dengan kedatangan Mang Salman ke kampung kita. Ia bisa saja aman dari aspek ancaman bagi keselamatan dirinya dan seluruh rombongannya tetapi belum tentu aman dari ancaman demonstrasi yang bisa saja digelar secara tiba-tiba oleh masyarakat kampung ini.

“Lebih diperjelas lagi kalimat anda itu. Langsung ke poinnya saja.” Ketua mulai sedikit penasaran.

“Pak Ketua, dan semua saudara saudara yang hadir di ruangan ini. Tahukah kita bahwa sejumlah kaum hawa dari kampung kita yang bekerja di kampung sebelah ratusan jumlahnya. Sebagian besar dari mereka pulang dengan membawa uang. Tetapi ratusan pula diantaranya para tenaga kerja, yang sebagian besar adalah kaum hawa tersebut, pulang membawa anak. Mereka pergi merantau seorang diri, tetapi pulangnya gendong bayi. Celakanya, kita tidak pernah melihat ayah dari bayi bayi tersebut.”

Semua yang hadir di forum tersebut tersentak kaget. Wajah ketua kampung mulai pucat.
“Apakah kita tidak menyadari bila anak anak tersebut kini telah tumbuh menjadi besar, meremaja, bahkan mendewasa menjadi bagian dari kita. Pernahkah anda berpikir bahwa ada sekelompok orang yang sejak jauh-jauh hari telah menunggu kedatangan Mang Salman, untuk melancarkan aksi demonstrasi secara besar-besaran. Pernahkah kita berpikir mereka kemudian mengajak sanak keluarga, ibu, paman, bibi, nenek, kakek dan tetangga-tetangga mereka. Mereka akan menuntut kepada Mang Salman untuk bertanggung jawab atas pelecehan terhadap perempuan-perempuan di kampung kita. Mang Salman bisa saja menjadi objek penting yang akan dikejar kejar massa agar menjelaskan sekaligus mempertanggung jawabkan siapa ayah mereka yang sebenarnya. Demikian, Pak Ketua.”

Semua orang di forum itu diam seribu Bahasa. Sang Ketua, yang dikenal pandai bicara dengan gayanya yang khas dan ‘merakyat’ tersebut seperti hilang akal. Tak mampu lagi bicara serta menyampaikan diplomasi ala leader kelas kakapnya. Hingga hari kedatangan Mang Salman tiba para pejabat penting dan seluruh masyarakat di kampung kami mencemaskan adanya sebuah aksi demonstrasi secara besar besaran menuntut hal yang prinsip terkait harga diri kepada orang nomor satu dari kampung sebelah tersebut. Kami membayangkan, alangkah panik Sang Juragan air ajaib tersebut seandainya orang berbondong-bondong datang untuk menanyakan siapa ayah mereka? Dimana ayah mereka? Sedang apa ayah mereka? Dan seterusnya. Ahai, Sang Juragan bisa saja kena serangan jantung mendadak, dan ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan hubungan diplomatik kedua kampung.

Tetapi sangat beruntung kecemasan kami tidak terbukti. Dari kedatangannya hingga pulang, Mang Salman dan rombongan, Aman di wilayah kunjungannya ini. Saya pribadi menyimpulkan, mungkin masyarakat kampung kami memang adalah rumpun masyarakat yang sudah terbiasa ikhlas menerima nasib. Dan, berdamai dengan masa silam pada masing masing diri, meski kadangkala itu terasa sedikit pahit tetapi kami berupaya untuk menelannya.

Serang-Banten, 04 Maret 2017
 
Tentang Penulis: Riduan Hamsyah, lahir di Lampung Barat pada 10 Oktober 1981. Alumni Poltekkes Jurusan Kesling Lampung tahun 2003. Bekerja sebagai Pegawai di bagian Keuangan Dinkes Pandeglang-Banten. Riduan Hamsyah saat ini tengah menyiapkan buku terbarunya berjudul PENGHUNI RUMAH TOKO dan KITAB TUNGGUTUBANG.

Tidak ada komentar