HEADLINE

Cerpen Riduan Hamsyah "CALON PENYAIR"


Cerpen Riduan Hamsyah
CALON PENYAIR

Sore hari. Sebuah pesan mengetuk layar ponsel. Panjang. Keseluruhan karakternya sekira untuk lima kali kirim. Belakangan, kebanyakan pesan-pesan selluler biasanya masuk via Whatshap, Line, bahkan surat elektronik. Sudah sangat jarang yang mengirim via es-em-es, apalagi untuk kalimat yang sangat panjang. Ini karena tuntutan gengsi, barangkali.

Belum tuntas benar membaca, nah, masuk lagi pesan yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Susul menyusul hingga memenuhi inbox. Hai, tak mungkin saya membaca keseluruhan, terlalu panjang dan bahasanya kacau balau. Tidak karuan dimana titik, dan tanda baca. Ada kalimat yang dikurung, diberi tanda tanya sepuluh biji, dibubuhi tanda seru lima belas biji, lalu titik-titik yang berderet serupa rel kereta api. Celakanya nomor ponsel si pengirim tidak ada dalam kontak telepon saya sehingga belum jelas ini dari siapa.

Saya berpikir ringkas saja. Ini sejenis penipuan. Atau apalah jenis modusnya yang jelas ujung-ujungnya minta pulsa atau minta transfer sejumlah uang. Lalu tanpa pertimbangan lebih jauh saya langsung menghapusnya. Klik, klik, musnahlah pesan-pesan itu.

****

Di suatu hari minggu. Seorang teman mengetuk pintu. Ia seorang yang mengaku sebagai seniman di kota ini. Bila sudah bicara seputar puisi atau prosa maka ia lah yang paling menguasainya. Ia hapal benar nama nama penyair atau cerpenis mulai dari angkatan balai pustaka, pujangga baru, angkatan 45, angkatan 66 hingga era puisi-puisi kontemporer. Berapi-api pula lelaki ini bila sudah bicara dunia kepenyairan. Usianya sekitar selisih sepuluh tahun di atas saya.

“Senang sekali menyimak SEMARAK PUISI MALAM MINGGU yang kau kelola itu, Bung!”
Ini gaya bicara yang khas dari teman saya yang mengaku sebagai seniman kawakan ini.

“Ah, Mamang, langsung bicara puisi. Mantab bener nih, saya berteman dengan penyair..”
Saya menyemangatinya. Kangen juga sudah lama tak mendengar kalimatnya yang bergejolak itu.

Orang ini sebenarnya agak aneh. Ia paham nama-nama penyair. Bahkan sepuluh karya Khairil Anwar ia sebutkan dengan lancar judul perjudul. Bahkan karya karya Rifa’i Apin, Sitor Situmorang sampai ke Rendra. Tetapi hingga hari ini saya belum pernah membaca tulisannya.

“Mengamati puisi puisi yang rutin kau muat di media online tersebut saya teringat benar waktu masih aktif mengasuh acara MALAM PUISI di sebuah radio swasta. Sekira tahun 90-an.”

“Iya, kah? Mamang pernah jadi penyiar radio juga rupanya?”

“Ha..ha..ha..! Dulu radio yang paling asyik buat menyiarkan puisi, Bung!”
Walaupun saya sedikit geli dipanggil BUNG, seperti Bung Karno saja, tetapi sebagai orang tua ia mesti dihargai. Dan, jujur, saya kangen pada teman saya ini bicara soal seni.

“Lanjut, Mang!”

“Nah, di radio itu saya ekspresikan seluruh energi seni saya. Saya membaca sajak-sajak Amir Hamzah, NYANYI SUNYI, Rendra SRENADA KELABU, KUNING, HIJAU, MERAH. Saya juga baca itu DANAU TOBA nya Sitor. Pokoknya selepas isya’ acara malam puisi sudah saya dengungkan. Berkumandang ke seluruh pelosok kampung, orang orang di kota ini pasti kenal nama saya SANG PENYAIR dan seniman.”

“Hebat, hebat. Luar biasa!”

“Awalnya semua orang meragukan saya. Mereka tidak yakin acara yang saya asuh tersebut bisa sukses dan banyak pemirsanya. Tetapi setahun berjalan siaran, saya banyak dapat kunjungan dari pecinta puisi, bahkan saya dapat pacar juga. He..he..he..”

Lelaki ini mulai bersemangat. Yang paling saya suka dari teman saya yang mengaku sebagai seniman ini adalah gaya bicaranya. Ia berhasil memukau saya dengan gaya bercerita serupa tengah membacakan sebuah sajak. Suaranya kadang dibuat berbisik bisik, serak, dengan bahasa tubuh, wajah dan gerakan tangan yang sangat deklamator. Kadang suaranya dibikin keras, lantang, tawa yang sesekali menggelegar membuat bangun anak bayi tetangga yang sedang tidur. Tidak aneh kalau tiba tiba saja ia berdiri mengacungkan jari telunjuk ke langit dengan muka seperti orang sedang membentak. Matanya terbelalak. Kadang melotot tajam. Dan seringkali ia mendekatkan wajah pada lawan bicara sambil salah satu tangannya di dongkrak di atas lutut.

Tetapi sampai hari ini saya belum berani menanyakan berapa judul buku puisi yang telah ia terbitkan dengan nomor ISBN resmi. Atau koran serta majalah mana saja yang telah mempublikkasikan puisi puisinya. Di tahun berapa. Hai, ada sedikit keraguan pada saya tentang dedikasi penyair ini, tetapi saya tak ingin salah bicara. Khawatir menyinggungnya.

“Karya kita bisa dimuat sama koran itu susah, Bung!”
Hai. Ini obrolan yang saya tunggu tunggu dari tadi.

“Nah, kisah bagus ni, Mang. Coba bagi pengalaman Mamang terkait lembar budaya di koran-koran terbitan ibu kota itu?”

“Hah, koran ibu kota..!?”

Obrolan tambah asyik.

“Hai, hai, hai..jangan mimpi kau, Bung, bisa dimuat koran ibu kota. Itu tempatnya orang orang elit. Saya sudah pernah bolak balik kantor pos selama sepuluh  tahun sapai somplak sepatu saya tetapi tak satupun itu naskah saya dimuat. Ini jempol saya sampai keriting karena kejepit mesin ketik. Tak, tuk, tak, tuk, saban hari. Sompret..!”
Ia membanting punggungnya ke sandaran kursi. Matanya menerawang pada masa silamnya dulu. Tiba tiba saya sedikit terharu, lagi lagi oleh bahasa tubuh dan wajahnya yang sangat pandai mengekspresikan kata kata.

“Tetapi setidaknya beberapa puisi Mamang pernah lolos ya?”

“Tidak.”

“Di koran ibu kota?”

“Iya. Tidak pernah”

“Di majalah?”

“Juga tidak.”

“Mungkin di koran lokal, barangkali?”

“Sama saja. Tidak pernah”

Saya diam. Dan mulai merasa tak enak.

“Tetapi saya seperti hidup kembali, Bung.” Raut mukanya kembali menyala.
“Saat ini kita tidak perlu jadi penulis sekaligus pengemis. Saya sudah haramkan naskah saya dikirim ke media ibu kota itu. Terserah tulisan saya mau dibaca orang atau tidak, pokoknya nulis terus, menulis dan terus menulis insha Allah suatu saat akan ada manfaatnya.” (ia mengutip Pramoedya Ananta Toer), “ Saat ini ada media sosial, media online, bisa diakses dengan daya jangku seluruh dunia. Karena itu teruskan meredakturi media online itu. Langkahmu sudah benar. Kau sudah memberi ruang untuk berekspresi banyak orang yang hampir putus asa dan nyaris memutuskan untuk berhenti berpuisi. Kau telah membantu calon calon penyair untuk tumbuh. Memberi ruang pada mereka yang tidak mendapat tempat di koran ibu kota sana. Kau sekaligus melakukan perlawanan terhadap dikotomi dalam berkarya, yang mana karya kaum berlabel saja yang dihargai. Lanjutkan. Jangan dengar segelintir orang picik yang sempat menuding kita ini pemungut sampah sebab ini adalah sebuah warna lain dari suatu gerakan dedikasi.” Saya tersipu dan sangat malu dengan dengan kalimat terakhir teman saya ini.

Tetapi mendapat tambahan semangat. Setidaknya untuk terus menjalin komunikasi dengan para peminat puisi di negeri ini. Terutama adik adik saya yang baru saja mengenal apa itu puisi. Pelan pelan saya berusaha menjelaskannya dengan bahasa saya yang dangkal, sebab saya paham benar bahwa saya bukan seorang penyair, bukan pula seorang seniman tulen. Tetapi saya berprinsip, bila calon calon penyair yang semakin ramai mengirim naskahnya ke redaksi yang saya kelola belakangan ini tidak diberi ruang serta dirawat maka mereka akan putus asa dan mati. Percumah negeri ini memiliki sastrawan sastrawan tersohor bila kelak tak punya penerus. Lalu siapa pula yang akan menggantikan mereka, apatah membaca karya-karya mereka lagi.

******

Sebuah pesan masuk ke ponsel saya. Panjang panjang. Bahkan sangat panjang. Sampai sepuluh pesan, kadang kadang. Sampai sampai saya bingung ini apa maksudnya. Saya sempatkan membaca secara acak: mirip betul sama ungkapan cinta dari seorang lelaki puber pada remaja perempuan pujaan hatinya.

“Hai....sang dewi...pujaan kakanda. Dengan berlinang air mata mengirim isi hati agar bunga yang mekar tak layu. Engkau sangat jelita di malam gulita. Terimalah aku jadi kekasihmu...dan seterusnya...”

Tiap kali pesan seperti ini masuk. Saya langsung menghapusnya. Sekali saja pernah saya balas, ‘Maaf ya, Dik. Sepertinya adik salah kirim. Saya bukan pacar adik yang bernama DEWI itu. Saya ini lelaki.’

Kemudian sebuah panggilan telepon langsung masuk. Saya ragu, tetapi ini pasti si pengirim es-em-es.

Saya angkat saja teleponnya,
“Hai, Bung, itu bukan buat pacar! Itu puisi puisi saya. Semoga layak dipublikasikan pada lembar SEMARAK PUISI MALAM MINGGU di media online yang kau redakturi. Salam sastra.”
Ya, tuhan, ternyata pesan-pesan es-em-es yang sering saya hapus tersebut adalah puisi. Dan, yang mengirim adalah  Si Mamang, teman saya yang mengaku sebagai seniman itu. Sungguh dia belum paham tata cara mengirim naskah yang benar. Setelah di zamannya gagal mengirim naskah-naskah via pos, lalu kini dia anggap cara yang ringkas dan modern adalah mengirim via es-em-es. Oks, selanjutnya, saya akan menghargai karya karyanya.

Cadasari, 04 Pebruari 2017

TENTANG PENULIS: Riduan Hamsyah, alamat Pekon Ciptagara, Kebun Tebu-Lampung Barat. Bekerja sebagai pegawai di Dinkes Pandeglang-Banten. Sedang mempersiapkan sebuah buku kumpulan puisi berbahasa Semende-Sumatera Selatan KITAB TUNGGU TUBANG.

Tidak ada komentar