HEADLINE

Semarak Puisi Malam Minggu (Edisi Ke-45)




DARI REDAKSI
Kirimkan puisimu minimal 5 judul dilengkapi dengan biodata diri dan foto bebas ke e-mail: riduanhamsyah@gmail.com. Puisi, biodata, foto bebas dalam satu file. Tidak boleh terpisah. Pada subjek e-mail ditulis SEMARAK PUISI MALAM MINGGU_edisi ke-46


Terhitung mulai Bulan Januari 2017 setiap puisi yang dimuat Warta Lambar akan kami rangkum dan kami terbitkan menjadi buku antologi puisi bersama dalam setiap triwulan, maka dalam setahun kami akan menerbitkan 4 buku. Selanjutnya buku-buku ini berhak dimiliki oleh setiap penulis dan pembaca Warta Lambar di manapun berada sebagai bukti dokumentasi karya serta penghargaan kami yang sangat tinggi kepada para penulis agar karya-karyanya terkemas dengan baik. (Salam kreatife)



SEMARAK PUISI MALAM MINGGU (edisi ke-45)


PUISI PUISI AAN HIDAYAT

DINDING DOA 

Melangkah tanpa arah, terdiam di ruang hampa. 

Takdirkah ini! 

berjalan sendiri meniti jejak di tengah lautan pilu 
tanpa kompas arah kuberjalan. 

Meski ribuan kilo meter kutelusuri, 
dari kampung ke kota,
namun puing-puing pun tak kutemui. 

Hanya dinding doa tempatku bersandar, tubuh terkulai lemah di atas ranjang pilu tempat berbaring segala rasa. 

Berharap esok mentari bersinar dan langkah ini tak tersesat jalan pulang. 

(Lampung Barat, 22 Desember 2016)


AIR MATAKU 

Kemana langkah hendak kukayuh, mencari arah ikuti hati. 

Kucoba mencari jejak di antara gundukan batu, di belantara hidup yang tertutup rerimbun pilu. 

Peluhku tak berseka, meski air mata genangi tempat berpijak. 

Duhai ibu, di mana kiranya engkau?
wahai ayah, tidakkah kau dengar ratap dan tangisku.

Kepada langit kubertanya, kepada bumi kumengadu, namun semua diam seribu bahasa. 

Kemana hendak kubertanya, sedangkan jejak itu kian memudar tertimbun debu duka nasibku. 

(Lampung Barat, 22 Desember 2016)


UNTUKMU JUWITA

Wajah itu terlukis dalam sanubari,
penuhi rongga takjub lubuk kalbu yang kini  sunyi.

Bening bola mata penuh syahdu,
membelai sukma namun pancarkan rona sendu.

Sungguhlah naif  diri ini, 
tersudut dalam pesona
namun kandas terpaku dalam kelu. 

Duhai juwita...
kau terbingkai kaca sang takdir. 

Rindu ini kan bersamamu
meski raga terhalang dinding kaca.

Kan kubungkus lipatan ini
dalam pelukan bisu. 

(Lampung Barat, 20 Desember 2016)


MISTERI ALAM

Hari ini masih seperti kemarin, kurasakan gelisah, senang, juga terkadang kecewa. 

Tanpa kusadari sang hari mulai beranjak menuju senja, melipat cerita kedalam misteri dingin sang malam. 

Ada denyar nanar bersembunyi di balik gelap, menggali sunyi alam mimpi.

Entah mengapa, malam ini kegelisahan 
selimuti tidurku, tentang bencana yang 
setiap saat hampiri tempat berpijak.

Hemm ... mungkin di atas sajadah malam, 
segala renung tumpah, jiwa pasrah, hati berlari menuju harapan.

(Lampung Barat, 23 Desember 2016)


DALAM HENING  

Dingin malam berselimut misteri.
Kucoba tidurkan segala asa dalam  letih yang tak sempat rebah. 

Dalam hening, sukma merayu raga tuk
memanggil rasa demi warna baru dunia,
namun hening kian merangkul erat sang jiwa. 

Ada ragu tenggelam di kelap senja tadi, air telagapun menari narasikan rindu nan tak kunjung bersua. 

Lalu kabut  seusai hujan hampiri diamku, berteman secawan kenangan sedikit hangatkan imajiku. 

(Lampung Barat, 24 Desember 2016)


PERTIKAIAN

Di saat Ego dan Kesombongan jiwa berkuasa di lubuk nafsu.

Maka nantikanlah kehancuran
'kan membelai tidur mu.

Rasa malu,  juga kebenaran
taklagi nampak
membungkus jejak langkah hari.

Tidakkah hati mengurai rasa
alam fitrah makna sang raga. 

Hai hai. 
Biarlah padam bara itu
tak guna semu kau janjikan,
karena mentari akan setia. 

(Lampung Barat, 20 Desember 2016)

Tentang penulis:
Aan Hidayat adalah seorang wiraswasta mebel di pekon Gunung Sugih Liwa, dia juga intens mencurahkan kegelisahan hatinya melalui puisi dan tergabung dalam sekolah menulis sastra dunia maya KOMSAS SIMALABA.



PUISI PUISI YENNI DA

TIGA PULUH DESEMBER

Hari ini sepuluh tahun yang lalu
dalam kesakitan kodrat wanita
melepas beban semakin berat
menyambut kelahiran bidadari yang dinanti.

Tak diperhitungkan nyawa yang sepenggal
napas sudah di ujung desahan
saat sulungku memeluk
" Mama,adik perempuan " itu kata terindah.

Gadis mungil,
adalah doa di Padang Arafah
saat esok Idul Qurban
dan pelepas dahaga barisan jamaah.

Kuingin ia bak air surga
sejuk lagi menyejukkan
setia shaleha bak buah hati Sang Rasulullah,
kelahiran yang indah di penghujung tahun,Aisya Salsabilla.

(Way Tenong, Lampung Barat, 30 Desember 2016)


JANGAN KEMBALI MASA LALU

Telah lama hilang
tak lagi kukangen  inginkan sua
hadir kembali mengusikku
berkelebat indah di nuansaku.

Kembali pada setangkai mawar
dan hasrat malu-malu
yang tersimpan dalam buku harian
terkuak lagi mengingatkan.

Oh,jangan datang
sebab aku takut terulang
manakala rayu masa lalu
menghanyutkan akal sehatku.

Segala telah sirna
bahkan ingin kukubur
menjadi kisah terindah
yang abadi namun tak hendak kuulangi.

(Way Tenong, Lampung Barat, 30 Desember 2016)


NAMAMU

Ada disini 
di relung hati
yang tak mungkin kujelaskan.

Kau terindah
bukan kebohongan
namun sejatinya rasa 
yang mungkin tak terlukiskan.

Kucatat,
satu selamanya
pada sketsa hidup
yang penuh makna.

Nama yang membuat nyawa
dan itu namamu.

(Way Tenong, Lampung Barat, 30 Desember 2016)

Tentang Penulis:
Yenni Da, tinggal di pekon Mutar Alam kec Way Tenong Lampung Barat. Tergabung di  KOMSAS SIMALABA. Beberapa karya puisi telah dimuat di Warta Lambar.


Tidak ada komentar