HEADLINE

Puisi Puisi Karya Riduan Hamsyah


PUISI PUISI KARYA RIDUAN HAMSYAH


KEPADAMU TUHAN

Ketika
tubuh ini pecah jadi banyak.

Engkau paham bila aku retak bahkan kadang terbakar
jadi keping
dengan rasa bersalah berserakan di jalan, tetapi aku musafir
yang getir
menggambar raut pelangi pada langit memuntahkan hujan.

Sejak kemarin ingin kusampaikan rasa dingin ini
ketika kelam
hilang timbul memagari cahaya. Sebab cuaca tak menentu.

Adakah rasa ganjen yang engkau ciptakan ini mesti
kubatalkan?
kembali pada rencana rencana semula kita sepakati
kembali pada kesejatian hidup dan bersuci
hai, aku ranting yang dihinggapi kupu kupu dan angin
mengguncang sekujur daun.

Tetapi sejak kemarin pula ingin
kusampaikan rasa sesak ini, meringkas hidup
dengan sebuah kalimat sederhana saja. Membunuh belalak mata
sedangkan hari masih siang
aku dalam dilema yang kronis serta hati kandas berulang ulang.

Ya. Aku mencari jalan. Agar gelisah ini menjadi damai.

Banten, 13 Agustus 2016



MENUNGGUMU DATANG

Malam benar engkau datang
dengan hati yang dipenuhi semak
sementara jejak hujan sore tadi
cuma menggiring rasa dingin ini ke perigi.

Aku juga sedang belajar menunggu
sedikit memaknai waktu, membersihkan jaring laba laba di ruang tamu
agar kita nyaman bicara dari hati ke hati
tidak terganggu rasa yang liar.

Hai, ada jembatan, di halaman kita
meski tak begitu luas
tapi cukup menghubungkan pintu dan jalan raya
tetapinya lagi
kita sedang belajar membasuh hati,

Agar bila larut itu datang
kita bisa menukar mimpi dengan tenang.

Banten, 12 Agustus 2016



LAIN WAKTU

Lama kita tak saling bicara, apa kabarmu, Uti?
semalam tidur larut
sedikit ada ingatan yang sulit kuhalau
meskipun kuharap benar tidak mengusikmu
dengan perasaan cinta yang berganti cemas.

Lain waktu. Diri kita merupa suatu
yang usang
walau sebenarnya hidup cuma akumulasi dari
ingatan itu sendiri.

Sudahlah, Uti. Usah kau ambil hati!
Wajahmu telah kuganti dengan secangkir puisi.

Banten, 11 Agustus 2016



MENUNGGU PURNAMA

Di manakah sesabit bulan? Malam ini aku
tidak menemukannya
sekedar
merumuskan kerinduan pada tahun tahun menggantung bingung
di balik denyar hasrat menggunung.

Bila begitu, di manakah pula punggung sebuah gunung?
tempat gelap ini tertelungkup dan burung burung
menyimpan kicaunya
sebab sebenarnya menuju pagi bukanlah lama.

Wahai, langit, yang hatinya masih
begitu sempit
memaknai realitas menurut pemahamannya sendiri.
Hemm, mungkin kita memang pernah bertengkar, bertukar kelakar tetapi
bagiku itu bukan pula sengketa
seusia burung burung menyimpan kicaunya saja
di punggung gunung tempat gulita ini terkurung
atau mungkin juga sesabit bulan
yang sedang menuju purnama.

Pandeglang, 31 Juli 2016



TUBUH KITA

Sesungguh tubuh kita ini
hanyalah
jembatan sajak, adik!
Maka rapikanlah jiwamu yang kebun kekata itu.

Percintaan kita terbelah pada jagad yang pendiam
dan tuhan terus saja menyaksikan
ketika manusia kita ini bertukar nama
bersenggama kemudian terkulai.

Retak. Benar benar retak tubuh kita, adik?
Sebab tak mungkin
dihindari lagi
waktu yang menyeret ke ranjang kecemasan
ketika kau rapikan gaunmu,
sedang aku berulang kali membukanya lagi.

Banten, 04 Agustus 2016



TANAH JUANG

Adakah kami bagian dari hilir
dari tanah ini, atau
badan yang tengah mengalir
jadi butir butir peluru yang tersimpan di masa lalu.

Tetapi kemerdekaan itu
adalah denyar bersautan
di republik yang belum selesai ini.

Banten, 10 Agustus 2016


Tentang Penulis: Riduan Hamsyah, menyukai sastra dan kesenian sejak masih dibangku sekolah dasar. Sejak itu telah menulis banyak pantun (jenis puisi lama) mengoleksi beberapa lukisan karya sendiri. Semasa kuliah juga aktif dalam seni musik dan deklamasi puisi. Pernah menjadi redaktur koran Dinamika News (Lampung) di awal awal berdiri bersama sastrawan Lampung Dahta Gautama dan banyak belajar mematang kalimat dari pujangga tersebut. Selanjutnya menemui sekaigus belajar dengan sejumlah sastrawan di Pulau Jawa. Sebagai kesan pertamanya di Jawa, meraih piagam penghargaan sebagai 10 nominator terbaik, diundang dalam event sayembara menulis Puisi, artikel dan cerita rakyat Cipasera tingkat nasional yang diselenggarakan Dewan Kesenian Tangerang tahun 2005 bersama penyair Husnul Huluqi, Iman Sembada, Ibnu PS Megananda, Karseno, Ahmadun Yosi Herpanda dan sejumlah nama pegiat sastra yang cukup ternama. R Hamsyah telah mempublikasikan puisi, Prosa dan Artikel di sejumlah Koran, Majalah, Media online dan sejumlah buku antologi nasional. Terbaru adalah buku antologi MEMBACA KARTINI dan lolos pada seleksi TIFA NUSANTARA 3 (sebuah event sastra nasional tahun 2016). R Hamsyah saat ini bekerja sebagai pegawai Dinkes Pandeglang-Banten dan menjadi redaktur sebuah majalah mingguan, redaktur sebuah media online serta mengasuh sebuah sekolah menulis dunia maya bernama KOMSAS SIMALABA


Tidak ada komentar