HEADLINE

Prosa Riduan Hamsyah - Ia Yang Menaruh Bunga Di Atas Meja

PROSA RIDUAN HAMSYAH
IA YANG MENARUH BUNGA DI ATAS MEJA

Di ruang kerjaku. Ia, entah siapa, menaruh setangkai bunga. Hari masih pagi ketika embun bangun kesiangan menggelantung di tepi tepi daun ditabrak cahaya yang masih muda dan desau angin kemarau walau tiga hari lalu datang hujan. Ia, entah siapa, menaruh sekuntum bunga berbalut kantung motiv bening di sudut meja tanpa meninggalkan sepucuk pesan, atau kartu nama tempat jati diri pengirimnya bersemayam sehingga guratan wajah itu bisa kuramal dalam tafsir kemungkinan yang latah dalam imajenasi segala rupa.

Di ruang kerjaku. Sosok itu, menyentuhku, dengan sentuhan lembut sekali. Selembut embun yang menjuntai di tepi daun menahan waktu yang memaksa gugur ke tanah. Enyah. Dan, seperti sebuah narasi kehilangan tak sebutirpun sejarah terjamah ketika sebuah kepergian berjalan diam diam tanpa gerak kekata yang semesti mengalir di lidah menjadi jembatan yang meng-ombak di penjuru dada, tentunya tak sebutirpun sejarah terjamah ketika kedatangan juga melesat diam diam sehingga rasa sunyi yang tetiba saja menjadi runcing.

Ilustrasi : Bunga Diatas Meja (google)
Tetapi ia, entah siapa, menaruh setangkai bunga. Ketika kunyalakan lampu dan sepasang bola mata ragu, di sini, di pagi ini, sejatinya aku tertegun menopang rasa yang sebelumnya atau mungkin telah begitu lama tidak aku rasakan. Membiarkan sekujur diri berjalan mencari muasal meraba segala bentuk kemungkinan agar apa yang terjadi pagi ini tidak merupa sebuah kegelisahan. Hai, tetapi tetaplah ia sebuah kegelisahan yang setelahnya berangkat dalam pemikiranku yang sesak oleh tanda tanya besar tak berjawab berkesudahan semantara pagi mulai meninggi menempeleng butir butir embun di tepi daun melemparnya ke tanah meninggalkan rasa sunyi menjalar meningkapi sekujur perasaan dan entah siapa yang bikin ini? Membuat lidah latah dan terpatah patah menyebut itu dan ini menyebut segala muasal dan mungkin juga sebuah perasaan yang bengal.

Lalu. Sekuntum bunga itu. Aku menyentuhnya dengan perasaan yang belum selesai. Memikirkan muasal, ia, entah siapa, yang lebih dulu membuka pintu ruangan ini menyalakan lampu menatap sekujur tempat di mana diriku berdiam sepanjang hari kerja dan itu mungkin sangat dipahaminya dengan pemahaman yang entah seberapa jauh sebab aku selalu gagal merenangi orang orang yang merenangiku bahkan hingga ke hulu jauh menempuh sesuatu yang mungkin saja lupa aku sembunyikan. Tetapinya lagi, di tanganku, kini terguncang sekuntum bunga mengusik sesuatu yang aku sembunyikan bahkan paling dalam berdiam merasakan segala rupa menjalar menarik sekujur imajenasiku pada pantasi tak bersebab. Adakah seorang perempuan? Yang mengamatiku diam diam dari balik masker wajahnya yang sipit atau tengah mengcaukan pertahananku sebagai lelaki yang telah kubangun sejak lama, tentunya sejak pertama kali aku memahami diriku sebagai lelaki yang pernah meniduri setiap lekuk perasaan membaringkan banyak nama dalam sejarah yang kuceritakan tentang hidup semestinya diringkas, disederhanakan, sebelum dinikmati sebentuk pelukan kekasih yang retak di penghujung perpisahan. Hai, hai, adakah ia perempuan sunyi mencoba bermain pelan pelan dengan segala rupa kekata lama yang sejatinya tidak kuucapkan kembali setelah menahun waktu berlayar ke hulu, meninggalkan jejak di beberapa potong bait puisi walaupun aku belum juga layak disebut penyajak.

Kemudian dering ponsel mengalihkan perhatianku pada sekuntum bunga yang sejak tadi kupandangi,

"Hallo..!"

Lalu

"Tut, tut, tut.."

Terputus

Tetapi aku paham ini hanya suara yang biasa, kemudian beberapa pesan singkat, menyesaki layar ponsel;
"Lagi ngapain?"
"Kok, telponnya terputus,"
"Lagi sibuk ya?"
"Jangan lupa sarapan! Oh, ya, udah gajian belum?"

Hai, hai aku merapikan kursi, menyimpan kembali ponsel dan duduk sejenak sebelum memulai file-file di layar komputer yang menunggu disetubuhi. Kata orang, duduk sejenak saat ruang dada ini sesak adalah meletak-kan tubuh pada posisi paling rilex, mengatur persiapan hidup agar lebih khitmad dan bisa dinikmati. Ya, pelajaran yang terus menerus aku ulang sepanjang waktu adalah bagaimana menikmati hidup, menterjemahkannya dalam pemikiran ringkas agar lebih sederhana serta bisa diterima hati. Sebab kita sering kali abai merasakan kehadiran sesuatu yang sederhana pada diri kita, kita sering kali tidak menggubris betapa lembutnya bulan sabit malam tadi kita lupa meluangkan sepersekian menit waktu untuk sekedar memeriksa matahari pagi dengan sinarnya yang muda tumbuh di seberang jendela, lalu tersenyum pada embun sebagai ucapan salam. Sungguh kita selalu gagal menikmati hidup sementara kita selalu mengigau ingin meraih kebahagiaan. Sungguh naif. Bahkan kadang kala sepotong makanan dan secangkir teh hangat cuma numpang lewat di tenggorokan kita gagal menikmati semua itu sebagai proses yang nikmat kita dibutakan oleh kesibukan berkelahi dengan pemikiran sendiri dengan rasa egois kita dengan setiap tempat di sekujur tubuh kita yang taburi keinginan membadai.

Di ruang kerja. Sejatinya aku terjebak. Sebuah pengelanaan sudut lain pikiran yang tak henti hentinya menghitung warna di layar digital. Tetapi kukira pula hidup mesti kerab diterjemahkan ke banyak sisi. Senada decak cicak yang kelayapan hingga jauh waktu pada plafon berdebu. Memerangkap suara nyamuk. Dengan begini setidaknya hidup telah disederhanakan.

SUARA PINTU DIKETUK. Seorang perempuan masuk. Dan, tak segera berkata.

"Silahkan duduk..."
Senyum yang dipaksakan.

"Iya, terimakasih"

Hening

"Ada yang bisa saya bantu?"

Ia menatapku. Tatapan yang agak aneh, memang.
"Emmmm, terimakasih sebelumnya, telah meluangkan waktu buat saya..!"

Memutar posisi tasnya dari samping ke atas pangkuan. Membuka saku. Mengeluarkan sesuatu. Secarik kertas yang telah beberapa kali dibaca kemudian dilipat lipat menjadi delapan lipatan, ia membuka lipatan tersebut, tertegun sejenanak sebelum kembali mengangkat wajahnya.
"Saya dari Persatuan Perawat Gigi untuk cabang wilayah kota ini!"

"Oke. Apa yang bisa saya bantu, mbak?"

Menatapku. Sudut matanya seperti di kejar sesuatu yang terburu buru.
"Sebagai pengurus PPGI tentu saya akan sering sekali berkomunikasi dengan anda. Terutama yang berkaitan dengan finansial. Seperti yang anda ketahui, organisasi serta program program kami mungkin tidak akan bisa berjalan maksimal tanpa adanya loyalitas dari anda sebagai seorang bendahara di institusi yang besar ini."

"Iya, saya sangat paham itu. Lalu?"

"Ada sejumlah rekomendasi yang kami butuhkan dari anda. Tentu ini bersifat teknis."

"Saya akan selalu membantu. Tentunya kita bekerja dalam ranah profesional. Silahkan selesaikan rekapitulasi angka secara keseluruhan kemudian semua hak anda akan saya alokasikan sesuai ketentuan."

Ia tersenyum
"Terimakasih, Kami sangat terbantu dengan sikap anda yang konsisten ini. Termasuk kepedulian anda untuk mengoreksi kami."

SUARA PINTU kembali diketuk. Beberapa orang kemudian masuk. Tiga lelaki, dua perempuan, dan kukira orang orang ini datang dari luar kota tetapi pasti ada kepentingan lain. 

Ia gelisah. Mungkin agak terganggu dengan sejumlah orang yang juga telah mengisi daftar antrian. Padahal hari masih begitu pagi.

"Sepertinya ada tamu lain yang mesti anda layani. Terimakasih banyak telah memberikan waktu buat saya. Anda sangat efektif dan saya sangat mengagumi hal tersebut."

Tersenyum. Perempuan itu kemudian enyah dari hadapanku.

Ya, hidup, tempat berlalu lalang banyak orang di seberang bola mata. Menampilkan gambar gambar yang terkadang agak aneh.

Biji biji kalender berguguran. Jatuh. Berangkat ke keranjang sampah ingatan yang kadang kala meloloskan beberapa hal yang abai dari pemahamanku. Sungguh ruang kerja ini menyerangku setiap waktu. Setiap saat. Dan hari hari berganti. Berkeliling di ruang sempit ruang tempat sebuah celah pintu menempel di situ dengan sejumlah orang lalu lalang keluar masuk membawa pikiran mereka sendiri sendiri. Sebuah pikiran yang tak jarang di antaranya terlihat aneh.

DAN YANG PALING ANEH ketika di hari lain. Ketika udara di kota ini belum dihangatkan oleh cahya siang yang benderang. Di meja kerjaku, entah siapa, menaruh sekuntum bunga. Dan dering ponsel.

"Hallo..!"

Lalu

"Tut, tut, tut.."

Terputus

Aku tak lagi paham ini suara siapa, kemudian beberapa pesan singkat, menyesaki layar ponsel;

'"Lagi ngapain?"
"Kok, telponnya terputus,"
"Lagi sibuk ya?"

Bukan suara yang biasa kukenal

"Maaf tadi saya lebih dulu masuk ke ruang kerjamu beberapa belas menit sebelum kau datang. Bukan untuk menemuimu terkait urusan organisasi profesi atau program kerja. Tetapi sekedar merapikan sekuntum bunga di meja kerjamu mengganti bunga bunga kemarin yang telah layu. Semoga engkau bisa memahamiku lebih jauh sebab kita akan banyak sekali berkomunikasi.."

PROSA RIDUAN HAMSYAH
Pandeglang, 16 Juli 2016

Tentang penulis: R. Hamsyah, menulis puisi dan telah dipublikasikan di sejumlah media cetak, media online dan sejumlah buku antologi bersama. Yang terbaru adalah buku ANTOLOGI MEMBACA KARTINI (2016, diterbitkan oleh Q Publisher dan Komunitas Jobawi.) Saat ini R Hamsyah mengasuh sekolah menulis dunia maya di KOMSAS SIMALABA

Tidak ada komentar