HEADLINE

Menantikan Lahirnya Satrawan Sastrawan Lampung Barat

MENANTI LAHIRNYA SASTRAWAN SASTRAWAN LAMPUNG BARAT
Oleh: Riduan Hamsyah

Sepi. Wilayah ini dari kosa kota. Cuma orang-orang yang memeras keringat di ladang dan perkebunan kopi. Mengukur hidup dengan intensitas kerja hari ini, sedikit pun mereka belum pernah memprediksi hari lusa dan waktu waktu ketika berhenti musim penghujan. Ya, kehidupan yang ritmis serta dinamis, sementara kaum mudanya sebagaian melanglangbuana ke kota, membuat sejarah sendiri di kampus-kampus atau di balik tembok pabrik yang memaksa teriakan mesin-mesin perusahaan jauh di pulau jawa sana.

Ada segelintir orang yang tiba-tiba saja merindukan keramaian di wilayah ini: Lampung Bagian Barat, bukan keramain kapitalisme atau kemacetan yang menjadi penyakit kronis serupa di kawasan Jabodetabek yang menjalar dari jalan-jalan utama hingga ke pelosok gang. Keramaian yang dimaksudkan adalah intelektualitas serta intelegensi masyarakatnya yang sejauh ini hanya terjerat pada persoalan hedonisme. Kita merindukan ada sebuah denyut kebudayaan dan kesenian masyarakat yang  tumbuh di bumi Lampung Bagian Barat (bukan di batasai Cuma Kabupaten Lampung Barat saja). Meramaikan imajenasi anak anak muda, melandasi pola berpikir serta bertindak, sekaligus menguaskan warna warni keindahan sebagai daerah tradisi yang tentunya mesti memiliki karakteristik yang bisa dikenal oleh dunia.

Sungguh, selama ini Lampung Bagian Barat sangat tidak dikenal nilai nilai kebudayaannya oleh daerah lain. Bahkan tetangga kabupaten lain saja, ketika mendengar kata kata Lampung Barat, maka akan berkata bahwa Lampung Bagian Barat ini adalah “kopi”

Apakah Lampung Bagian Barat identic dengan perekebunan, ladang-ladang sayuran, dan hutan? Tidak adakah Sumber Daya Manusia (SDM) potensial di tengah Sumber Daya Alam (SDA)nya yang melimpah itu? Lalu ke mana bersembunyi genersi tua yang menyimpan kantung kantung sejarah masa silam yang lebam serta ke mana pula perginya generasi muda yang lahir dari hamparan tanah serta udara yang bersuhu dingin. Tidak ada geliat seni di sini. Belum ada tradisi budaya yang menghimpun kita dalam sebuah karakteristik yang kental.

Harus diakui bahwa komunitas masyarakat yang bermukim di Lampung Bagian barat adalah multi budaya serta suku yang komprehensiv. Sebuah keunikan, tentunya, karena semua masyarakat di dini sangat dewasa dalam menyikapi perbedaan suku yang membaur sejak lama. Keberagaman yang telah lama membentuk kongsi. Membentuk kebersamaan yang merupa sebagai sebuah kekuatan sosio kultural. Kita sebagai masyarakat di Lampung Bagian Barat, apa pun ras dan suku, mesti mulai menyadari eksistensi kita dalam pembangunan itu sendiri. Mesti ada pemahaman yang seringkali harus di sosialisasikan ke pada segenap lapisan bahwa arti pembangunan di sini bukan hanya dalam bentuk; rehab jembatan, jalan-jalan antar pekon, serta gedung sekolah saja. Tetapi pembangunan harus menyentuh nilai nilai humanisme, wawasan, intlektualitas masyarakatnya, kesenian, kebudayan bahkan yang lebih jauh dari pada itu.

Dari dasar pemikiran inilah kemudian segelintir anak muda kemudian tergabung dalam sebuah Silaturahmi Masyarakat Lampung Barat (SIMALABA) dan membentuk sebuah kantung kesenian bernama Komunitas Sastra (KOMSAS SIMALABA).

Sekilas Tentang Kesusastraan di Lampung Bagian Barat
Sejauh ini, kancah kesusastraan nasional tidak pernah menemukan ada penulis atau sastrawan yang berasal dari Lampung Bagian Barat. Jagat kesusastraan tanah air memang diramaikan oleh sejumlah nama sastrawan yang berasal dari Provinsi Lampung, di antara nama tersebut ada Isbedy Setiawan ZS, Iswadi Pratama, Jimmy Maruli Alpian, Inggit Putria Marga, Dahta Gautama, Alex R Nainggolan, M Arman AZ serta sejumlah nama yang tidak mungkin disebutkan semuanya termsuk juga generasi terbaru hasil kaderisasi atau pembinaan dari kantung-kantung kesenian di Lampung. Dan, sangat jarang kita menemukan sejumlah nama yang berasal dari bumi penghasil kopi ini.

Lalu dari manakah kita memulai titik itu. Sejumlah anak muda dengan semangat perubahan dan dengan dilandasi keinginan untuk mewarnai Lampung Bagian Barat ini dengan tradisi Kesenian serta kebudayaan membentuk sebuah Komunita Sastra (Komsas) Simalaba. Setidaknya dalam kurun waktu dua bulan lebih ini mereka berproses serta mulai mempublikasikan sejumlah karya puisi serta artikel di sejumlah media cetak dan media onlie. Saya meramalkan di bumi penghasil kopi ini beberapa tahun ke depan akan ada sejumlah nama yang menghiasi kancah kesusastraan tanah air. Dalam catatan saya ada sejumlah nama antara Lain: Imuzt Prageza, Pahlipi Futra, Sahhudi Yantono, Agung Widodo, Yulyanti, Tian Yanti, Oki Sandra, Aries, Wanti Okdavia, Fheira, Penhy Jayanti, Naz Elhadzaq, Tyara, dll yang semoga terus konsisten untuk mewarnai kesusastraan tanah air di kemudian hari.

Kaum pemula ini mesti diberi ruang untuk berproses dan bertumbuh menjadi besar. Sangat memungkinkan bila suatu saat nanti di Lampung Bagian Barat ini akan muncul penulis penulis handal yang melenggang hingga ke pentas dunia. Sejumlah nama yang kini intens mempublikasikan karyanya melalui media online ini menghasilkan karya yang secara kategori memang masih sangat jauh bila hendak disebut karya sastra. Tetapi setidaknya sebuah perlawanan telah dikumandangkan dari sudut ini terhadap pola dinasti yang dianut oleh Koran-koran Jakarta yang sangat tidak toleran terhadap kaum pemula. Termasuk juga sejumlah nama sastrawan di Lampung yang namanya telah menasional tetapi (maaf) sangat acuh terhadap generasi penerus yang kembangkempis sekedar untuk mencari ruang publikasi. Kita sangat memaklumi, mereka semua, para tetua sedang terlena dengan kesuksesan yang dengan susah payah telah mereka reguk dalam sebuah cangkir keberhasilan karya mencapai pengakuan Koran Jakarya yang sombong. Oleh sebab itu, di sejumlah anak muda di Bagian Paling Barat Provinsi Lampung ini bangkit dan membangun karakter sendiri serta membuat ruang publikasi sendiri. Ini bukan sebuah wujud keprustasian atau sentiment dalam sastra tetapi ini lebih tepat bila dikatakan sebuah deklarasi kemerdekaan berkarya tenpa referendum. Berkarya dan akan terus berkarya, tanpa harus mengemis untuk sekedar mendapatkan sebuah predikat dan sebuah pengakuan dari Jakarta dan Kota Bandar Lampung.

(Tetang Penulis: Riduan Hamsyah berasal dari Ciptagara, Kecamatan Kebontebu, Lampung Barat. Alumni Poltekkes Lampung tahun 2003 serta SMAN 1 Sumberjaya tahun 2000. Pernah bekerja sebagai jurnalis serta redaktur di sejumlah majalah lokal. Saat ini bekerja sebagai pegawai di bagian keuangan Pemda Kabupaten Pandeglang-Provinsi Banten. Riduan Hamsyah masih tetap aktive menulis untuk sejumlah media masa).

Tidak ada komentar