HEADLINE

Puisi Anak Lampung Barat Edisi Ke-4 (Maret 2016)

PUISI PUISI KARYA ANAK LAMPUNG BARAT EDISI KE-4 RILIS MARET 2016

Pada edisi ini redaksi menampilkan karya-karya puisi dalam dua Kategori. Untuk kategori yang pertama menampilkan karya puisi yang sudah termasuk ke dalam karya sastra dan dihasilkan oleh penulis yang karyanya sudah pernah dipublikasikan di sejumlah media massa lokal, nasional, maupun buku-buku antologi sastra. Kemudian pada kategori kedua adalah menampilkan puisi karya penulis-penulis pemula. Pembagian kategori ini sama sekali tidak bermaksud untuk memberikan jarak antar generasi yang telah jadi maupun yang sedang dalam tahap belajar tetapi lebih dimaksudkan sebagai bagian dari pembinaan kami terhadap generasi penerus. Sebab dengan seperti ini, kita semua bisa semakin belajar, mengevaluasi diri tentang kelemahan kelemahan kita sehingga bisa melihat ke depan untuk sebuah pencerahan lebih lanjut. Salam Redaktur.

(Silahkan kirim karya puisi anda ke alamat e-mail: rhamsyahrh@gmail.com atau inbox keakun FB Riduan Hamsyah. Kami menerima naskah puisi dari semua lapisan masyarakat pecinta sastra baik di seputar Lampung maupun di luar Lampung)


Kategori Sastra

DARI BARAT JAWA KE SELATAN BORNEO
(Karya: Riduan Hamsyah)

Di seberang telepon kutangkap suaramu. Ada aroma sepi yang kau tutupi
dan rasa sakit yang sama sama kita nikmati
tetapi
sebagai orang yang pernah membuatku jadi lelaki, tentu aku paham benar bila
hatimu ketika itu sedang tergetar
meski hidup terlanjur berbalut kalimat yang pura pura tegar
dan engkau pula yang mengajariku sembunyi di balik lindap bola mata.

Musim-musim setelah itu.

Adakah kemudian engkau ragu ketika narasi itu kulunaskan?
Terguncang tubuh kita seketika meskipun nasib terlanjur dikuas cuaca.
Tetapi hidup tetaplah asin di kulit lidah, Ayah!
hingga tensi darahmu meledak ke ubun, memukul dinding-dinding ketegaranku
yang porak poranda.

Hai, engkau pergi, tetapi tak sempat memeras air mataku dengan santun
sebab aku tersenyum. Dan, sekali lagi sembunyi ke balik rasa lindap yang nikmat.

Jalan tol menuju bandara.

Selesai sudah engkau menghantar sekaligus menjemputku diam diam
dari barat Jawa hingga ke Selatan Borneo atau juga kecipak Barito
kukira adalah diri kita
dan tentu aku juga akan pulang, ketika hari selesai siang, dan telah
mencatat sesuatu.

Pandeglang, Banten 15 Januari 2016

Tentang Penulis: Riduan Hamsyah pernah meraih penghargaan dari Dewan Kesenian Cipasera Tangerang dalam sebuah sayembara menulis puisi, artikel dan cerita rakyat tingkat nasional. Sejumlah puisinya dipublikasikan di Majalah Sabili, Majalah online SULUH, Buletin sastra Bandung, Harian Satelit News, Lampung Post, Media Kalimantan, Radar Banjarmasin, Badak Post, Mutiara Banten, Dinamika News serta termuat pula dalam sejumlah buku antologi Antara lain TANAH PILIH (TSI JAMBI 2008), 142 PENYAIR NUSANTARA (KSSB BANJARBARU KALSEL 2007), dll



JALAN KEMBALI KE RUMAH
(Karya: Tyara Lambar)

Gerimis terpelanting menyenderi dan riuh embun di jendela kaca
mengajarkan rasa dingin
menyaksikan bait-bait lelap dalam perbincangan tanpa kata.

Hai, penyair!
Apakah engkau telah berhenti meraba setiap lipatan kegelisahan?
ketika jejak ini mengering dan namamu menjelma sekumpulan alamat
yang tak penting
di sebuah pemukiman tua yang hilang nama.

Ah, mungkin, sudah waktunya ingatanmu mandi
gosok gigi
dan kembali mengembara
memeriksa rimba raya kata-kata

        Banten, Maret 2016

Tentang Penulis: Tyara Lambar, sejumlah puisinya pernah dimuat dalam sejumlah buku antologi antara lain NYANYIAN PULAU PULAU, sebuah antologi wanita penulis Indonesia, karyanya juga telah diterbitkan di sejumlah media massa lokal dan nasional. Ia juga pernah menjuarai beberapa kali lomba penulisan di Kalimantan. Tyara tercatat sebagai sastrawan di Provinsi Kalimantan Selatan



Kategori pemula

KENANG
(Karya: Fahlipi Putra)

ketika kau pergi dari mimpi,
kembang banyang memukulku dari taman atau terpelanting pada dinding hampa.
Ku kenang lagi, duhai kau yang membayang
Melarutkanku pada malam kabut, berbayang seribu rupa.

" prahara nafasmu yang berlabuh di balik telinga.
Bergelombang - gelombang seirama tari dan rerintih kecil , yang memahat mahkota di dada.
Dan seketika lenyap..
Hanyut pada desir yang mengalir.
Kembali kau bangkit dari hasrat yang belum tuntas, lalu bermain di pepucuk daun yang bergoyang, seirama angin yang mendayu.
Lalu menyapa kabut, angin malam.
Lalu kau jatuh dan lesu ".

Lalu kemudian tergugah..
Dari mimpi yang membasahi diri.
Tubuh usang, berbalut miang di kamar ini.
Lalu esok kau lambaikan tangan tanda berpisah.
Sebab diding terlalu kokoh untuk di ramba atau pintu - pintu terkunci.

Liwa 12 maret 2016

Tentang Penulis: Pahlifi Futra, Lahir di Baturaja Sumatera Selatan pada 13 November 1989. Saat ini tinggal di Simpang Serdang, Kota Liwa Lambar. Ia mematangkan serta terus mengasah bakat seni menulisnya sejak bergabung dalam Komunitas Sastra Simalaba



MENYAPA OMBAK
DI TEPI BADAI

(Karya: Sahhudi Yantono)

Engkau beri pilihan
antara janji dan ketentraman. aku cuma diam
dengn perih menghujam
O, sang penguasa yang menanam tiang tiang malam
kini Engkaupun menyaksikan, aku dalam bimbang
berharap pencerahan atau semangkuk kekuatan
hingga urat urat di tubuhku mengeras dihempas ombak
menyapa setiap badai di tepi hidup yang bertalu landai
Tuhan, aku ingin keteguhan ini mengitariku
saat bisikkan kehampaan melanda hingga memlemparkan tubuhku
pada lipatan khayalan
Cipta Gara, 11-03-2016


KEANGKUHAN YANG TERLUKIS DI SENYUM MANISMU
(Karya: Sahhudi Yantono)

Belumpun nafasku reda,masih tersengal
mengembang kempis didadaku penuh sesak
dengan penuh semangat
senyum polos penuh keikhlasan yang tersirat dibibirmu
engkau datang menghampiriku
menyapaku penuh kegirangan
sikapmu sungguh menggambarkan seolah engkau lupa
akan masa yang lalu
saat engkau tertunduk lesu
wajah mu merah menghitam menahan takut
tubuhmu bergetar menyaksikan sepotong rotan ditanganku
yang mungkin sesaat
ia akan berubah menjadi besi panas yang singgah ditanganmu membuat bekas tiada tara
namun kini kusaksikan
engkau datang menghampiriku
penuh keceriaan,seolah tiada hal yang telah terjadi
sikapmu mbuatku lesu tiada berdaya
senyummu telah meluluhkan keangkuhan hatiku
Hanya Seuntai Doa kecil dariku
untuk bekalmu di hari esok
moga engkau tumbuh menjadi panji panji yang kokoh
penuh pengetahuan n Amanah
Cipta-Gara,11-03-2016
 
Tentang Penulis: Sahhudi Yantono, Semakin intens menulis puisi serta terus mengasah bakat seni kata-katanya untuk mencapai predikat seorang pujangga. Ia kian termotivasi mendalami sastra sebab semakin merasakan kedinamisan hidup dalam berpuisi. Sahhudi Yantono tergabung bersama teman temannya dalam Komunitas Sastra Simalaba.


CATATAN SEORANG BAPAK DI SAAT HARI TUANYA
(Karya: Agung Widodo)


Seorang bapak kira-kira usia 65 tahunan duduk sendiri di sebuah lounge bandara menunggu pesawat yang akan menerbangkannya ke Jogja.

Kami bersebelahan hanya berjarak satu kursi kosong.

Beberapa menit kemudian ia menyapa saya.

“Dik hendak ke Jogja juga?”
“Saya ke Blitar via Malang, Pak.
Bapak ke Jogja?”
“Iya.”
“Bapak sendiri?”
“Iya.” Senyumnya datar.

Menghela napas panjang. “Dik kerja dimana?”
“Saya serabutan, Pak,” sahut saya sekenanya.
“Serabutan tapi mapan, ya?” Ia tersenyum. “Kalau saya mapan tapi
jiwanya serabutan."
Saya tertegun. “Kok begitu, Pak?”

Ia pun mengisahkan, istrinya telah meninggal setahun lalu. Dia memiliki dua orang anak yang sudah besar-besar. Yang sulung sudah mapan bekerja. Di Amsterdam. Di sebuah perusahaan farmasi terkemuka dunia. Yang bungsu, masih kuliah S2 di USA.

Ketika ia berkisah tentang rumahnya yang mentereng di kawasan elit Pondok Indah Jakarta, yang hanya dihuni olehnya seorang, dikawani seorang satpam, 2 orang pembantu dan seorang sopir pribadinya, ia menyeka airmata di kelopak matanya dengan tisue.

“Dik jangan sampai mengalami hidup seperti saya ya. Semua yang saya kejar dari masa muda, kini hanyalah kesia-siaan. Tiada guna sama sekali dalam keadaan seperti ini. Saya tak tahu harus berbuat apa lagi. Tapi saya sadar, semua ini akibat kesalahan saya yang selalu memburu duit, duit, dan duit, sampai lalai mendidik anak tentang agama, ibadah, silaturrahmi dan berbakti pada orang tua.Hal yang paling menyesakkan dada saya ialah saat istri saya menjelang meninggal dunia karena sakit kanker rahim yang dideritanya, anak kami yang sulung hanya berkirim SMS tak bisa pulang mendampingi akhir hayat mamanya gara-gara harus meeting dengan koleganya dari Swedia.
Sibuk.
Iya, sibuk sekali….

Sementara anak bungsu saya mengabari via BBM bahwa ia sedang mid - test di kampusnya sehingga tidak bisa pulang...

"Bapak, Bapak yang sabar ya….”Tidak ada kalimat lain yang bisa saya ucapkan selain itu.

Ia tersenyum kecut. “Sabar sudah saya jadikan lautan terdalam dan terluas untuk membuang segala sesal saya dik...
Meski telat, saya telah menginsafi satu hal yang paling berharga dalam hidup manusia, yakni sangkan paraning dumadi. Bukan materi sebanyak apa pun. Tetapi, dari mana dan hendak ke mana kita akhirnya. Saya yakin, hanya dari Allah dan kepada-Nya kita kembali.Di luar itu, semua semu. Tidak hakiki...Adik bisa menjadikan saya contoh kegagalan hidup manusia yang merana di masa tuanya…."

Ia mengelus bahu saya –saya tiba-tiba teringat abah saya. Di pesawat, seusai take off, saya melempar pandangan ke luar jendela, ke kabut-kabut yang berserak bergulung-gulung, bertimbun-timbun bagaipermadani putih.

Semua manusia sungguh semata hanya sedang menunggu giliran dijemput maut. Manusia sama sekali tiada nilainya, tiada harganya, tiada pengaruhnya bagi jagat raya ini. Sangat nisbi, naif, dhaif, fana, sumir, kerdil, sebutir debu, senoktah hikayat...

Subhaanaka...
Laa ilaaha illaa Anta ini kuntu minazh-zhaalimiin.
Maha suci Engkau, Tuhanku….
Bimbing diri ini agar tidak tersesat dlm menjalani hidup dan kehidupan ini.
Di luar itu, semua semu. Tidak hakiki...
Mari kita siapkan bekal tuk perjalanan jauh kita.

Tentang Penulis: Agung Widodo, adalah mahasiswa IAIN Raden Intan Bandar Lampung, Karyanya di atas sebenarnya tidak termasuk kategori puisi tetapi lebih mendekati kea rah Cerpen. Sebagai pemula ia masih berusaha menemukan intonasi dan bentuk dalam puisinya. Agung juga merupakan anggota dari Komunitas Sastra Simalaba.


SAAT SEMUA BERTASBIH
(Karya: Fera Rofiqoh A)

Saat nurani bertasbih
Alam bertasbih
Semesta bertasbih
Nafaspun bertasbih
Semua melantunkan senandungMU

Ciptamu adalah kasihMU
Tegur sapaMU adalah kasihMU
PeringatanMU adalah kasihMU
AzabMU pun adalah kasihMU

Semua menarikan keagunganMU
jangan biarkan rindu padaMU pupus
Tak ingin hati ini kering tanpaMU
tetaplah didalam rasa ini
Bersinarlah didalam jiwa ini
Tuntunlah setiap nafas ini
Hanya padaMU sujud ini

Sumberjaya 10 maret 2016

Tentang Penulis: Fera Rofiqoh Andalasari lahir di sumber jaya 16 januari 1989. Saat ini bekerja sebagai Staff di SMPN 3 SUMBERJAYA. Alumni UNIVERSITAS KADIRI ini tinggal Desa talang ogan  RT 02 RW 10 Kec sumberjaya lampung barat. Fera antusias belajar Sastra bersama teman temannya di Komunitas Sastra Simalaba untuk meramaikan jagad kesusastraan di Lampung Barat sebab selama dunia sastra di Lampung Barat belum terdengar dengungnya di kancah nasional.


SURGA DI TELAPAK KAKI IBU
(Karya: Penhy Jayanti)
Ibu,,,
Aku tak ingn mlihat mu menangs,
Aku tak ingn mlihat mu sdih,
Aku tak ingn mlhat mu mrsakan sakit,
Aku tak ingn mlihat mu kcewa,
Ibu,,,
Aku ingn menghpus air mata mu,
Aku ingn membuat snang hati mu,
Aku ingn mwujud kan keinginan mu,
Aku ingn membuat bngga diri mu,
Ibu,,,
Izinkan aku memluk mu,
Izinkan aku mencium kning mu,
Izinkan aku brsujud dan mencium telapak kaki mu,
Sbgai tanda aku cinta kpda mu dan surga bagi ku,


Ibu,,,
Walaupun itu brat bagi ku,
Akan ku lakukan untuk mu,
Sbagai tanda wujud dan bakti ku pada mu,
Mencuci dan mencium kaki mu untuk surga ku,,,

        Edisi 08-03-2016 waktu hari ujan

Tentang Penulis: Penhy Jayanti tinggal di Padang Dalom, Liwa Lampung Barat. Ia tergabung dalam Komunitas Sastra Simalaba dan semakin intens menulis puisi serta bercita cita untuk menjadi panyair nasional yang karyanya dibaca di seluruh dunia.



PUISI UNTUK KITA
(Karya: Kibal Kibul)


Kita. Kita adalah lelaki-lelaki tua
Wanita-wanita tua sisa-sisa pesona mungkin masih ada
Dibalut keriput yang mulai kentara
Senyum indah mungkin masih tersisa.
Canda ceria juga masih ada
Musik-musik jadul jadi teman setia
Sekolah bahkan kuliah pun kita bersama
Namun jalan hidup berbeda-beda
Menjelang renta , Tuhan mempertemukan kita
sambil mengenang masa muda yang pernah ada
Mari kita nikmati masa ini bersama Sebelum satu demi satu kita tiada
Sebelum yang nyata ini menjadi fana

Terima kasih saudara ku di masa muda
dan Terima kasih saudara ku di masa tua..
Yang saling memaafkan dan mengerti arti persahabatan di usia senja..
Semoga tetap sehat , sejahtera dan bahagia..
Bersama Keluarga Tercinta.
Aamiin aamiin.
            
Liwa, 08.03.2016

Tentang Penulis: Kibal Kibul, tinggal di Lampung Barat dan sedang dalam tahap belajar mengenal puisi.


AKU ANAK PETANI
(Karya Eldan Sugara)

Aku anak petani yang hidup di bawah
Kaki gunung pesagi
Kami hidup dengan sederhana
Hidup susah bagiku itu biasa.

Alangkah mulia hati ayah dan ibuku
Yang setia mencari nafkah

Gunung pesagi menjulang tinggi
Pemandangan indah
Dan kicau burung burung merdu.

Bagaikan ombak, rasa kagumku tak henti padamu

        Gunung Pesagi, Maret 2016

Tentang Penulis: Eldan Sugara tinggal di kawasan gunung Pesagi Lampung Barat serta berprofesi sebagai petani. Ia juga tergabung dan belajar menulis karya sastra dalam komunitas Sastra Simalaba.


Kirimkan Puisi puisi anda ke alamat e-mail: rhamsyahrh@gmail.com atau inbox ke akun feacebook Riduan Hamsyah.

Tidak ada komentar