HEADLINE

Editorial

KELUHAN masyarakat dan juga elemen yang ada di Kabupaten Lampung Barat (Lambar) akan kualitas proyek fisik, hampir bisa

dipastikan selalu ada setiap tahun. Apakah proyek dengan sumber pendanaan berasal dari Pemerintah Pusat, provinsi, maupun

kabupaten, sebetulnya bukanlah item yang mesti dipersoalkan secara serius, tapi lebih kepada hasil atau kualitas

pekerjaannya. Karena itu, upaya pengkritisan tersebut seringkali terlontar lewat media massa cetak agar diperhatikan pihak

terkait pada tahun-tahun mendatang.
Sayangnya, cara kritis seperti itu belumlah maksimal. Buktinya masih saja ada pengerjaan proyek fisik yang tidak seperti

diharapkan, kualitas bagus, rapi, dan maksimal. Indikasi yang paling sering mengemuka, mulai dari volume dan komposisi yang

kurang sampai pekerjaan yang mengabaikan potensi lokal, seperti mempekerjakan (baca: memberdayakan) potensi lokal. Padahal,

seperti masa sekarang ini bagi masyarakat lokal pekerjaan semacam itu sangat dibutuhkan. Tentu yang dimaksud bukan tenaga

ahli tapi pekerjaan kasarnya atau hanya sekadar tukang/pekerja di lapangan.
Bagi proyek yang bersumber APBD provinsi maupun pusat, terkesan bahwa di Lambar hanya dijadikan semacam kelinci percobaan.

Proyek dikerjakan tidak seperti yang diharapkan. Proyek tersebut rusak hanya beberapa minggu saja setelah rampung

dikerjakan. Komunitas orang-orang kritis yang mempersepsikan hal itu sebagai proyek permanen. Kenapa permanen, karena hampir

bisa dipastikan selalu ada setiap tahun. Jika proyek itu dikerjakan tahun ini, maka tahun depan ada lagi walaupun bukan

proyek multi years (bergulir) yang memang ada setiap tahun atau berkelanjutan.
Kesan tersebut timbul karena, jika dikerjakan serius dengan hasil maksimal, seharusnya tahun berikutnya proyek pada item dan

lokasi yang sama tidak dikerjakan lagi. Sehingga proyeksi dana yang diperuntukkan bisa dialihkan ke proyek lain dan lebih

bermanfaat. Selain penghematan anggaran, juga akan terjadi pemerataan pembangunan di Kabupaten Konservasi itu. Sebab, di

Lambar, ada kecenderungan penumpukan proyek fisik pada daerah atau lokasi tertentu, sementara di daerah lain yang kondisinya

juga sangat memerlukan, justru tidak ada.
Ini sekaligus evaluasi sekaligus kritik bagi pihak terkait agar lebih memainkan perannya secara proporsional. Bagi kalangan

dewan yang terbagi dalan lima Daerah Pemilihan (DP), misalnya, harus lebih mampu mencermati keadaan ini agar tidak terjadi

penumpukan sebagaimana tengara dimaksud. Bagi pemerintah, dalam hal ini dinas terkait, harus lebih cermat menempatkan proyek

yang betul-betul masuk sekala prioritas bahkan emergency. Itu agar tidak terjadi ketimpangan dan permasalahan sosial. Sebab,

rumus sederhana permasalahan adalah tidak adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan.
Contoh sederhananya, jika kelompok masyarakat atau komunitas tertentu mendesak pemerintah membangun jalan, tentu yang harus

dibangun adalah jalan dan bukan prasarana lain. Dengan demikian, pemerintah juga berarti memperhatikan rumusan buttom up,

bukan sebaliknya memaksakan formulasi top down. Semua aspirasi yang mengemuka berasal dari masyarakat. Pembangunan yang ada

juga didasarkan aspirasi dimaksud, dan bukan sebaliknya memaksakan sebuah program yang sesunguhnya kurang tepat. Itu tidak

mubazir, tapi belum tepat sehingga kurang bermanfaat. Sehingga tidak heran kalau di Lambar terdapat sejumlah bangunan

(fisik) yang terlantar. (*)

Tidak ada komentar