HEADLINE

Editorial - Rabu, 26 Oktober 2011

Kalangan DPRD Kabupaten Lampung Barat (Lambar) akhirnya merespons keluhan masyarakat yang tersebar di 25 kecamatan wilayah paling barat Provinsi Lampung itu. Ke-40 orang pilihan representasi lebih dari 420 ribu warga Lambar itu, kini menggunakan hak inisiatif mengusulkan pentingnya penertiban sekaligus pengandangan hewan ternak yang diliarkan. Ini tentu merupakan langkah maju yang layak diapresiasi, meski sebetulnya pada tataran media upaya pengritisan tersebut telah dilakukan lebih dari setahun lalu.

Ada beberapa item atau pokok pikiran yang melatarbelakangi diusulkannya hak inisiatif tersebut. Diantaranya di lapangan ternyata jumah ternak yang diliarkan alias tidak diurus cenderung meningkat dan tesebar di seluruh kecamatan serta pekon-pekon. Karena itu, tidak diurusnya ternak tersebut lebih banyak mudhoratnya (hal-hal yang menimbulkan kesan tidak baik) daripada manfaat.

Dari segi keamanan, keberadaan ternak warga yang diliarkan berpotensi menstimulasi munculnya kriminalitas. Tukang maling atau garong melihat hal ini sebagai suatu peluang empuk dan karenanya aktivitas melawan hukum pun dilakukan. Tidak sedikit warga yang akhirnya juga melapor ke peratin dan atau polisi tentang ternaknya yang hilang atau raib diduga dimaling. Angka kriminalitas atau kejahatan disebabkan ternak yang diliarkan ini juga tak serta-merta hilang begitu saja meski beberapa diantaranya tertangkap.

Kemudian, dari sisi keamanan dan kenyamanan berkendara di jalan. Tidak sedikit penyebab kecelakaan lalulintas (lakalantas) karena adanya ternak atau binatang piaraan yang tidak diurus, diliarkan, dan tidak dikandangkan. Apakah itu sapi, kerbau, kambing, dan juga anjing. Dengan adanya upaya ini diharapkan angka lakalantas menurun drastis bahkan tidak ada sama sekali karena ternak atau binatang piaraanya diurus atau dikandangkan. Diakui atau tidak, teratat dan terdata atau tidak, angka lakalantas akibat hewan piaraan yang diliarkan ini cukup banyak.

Lalu, kerugian bagi petani sendiri yag diakibatkan tanamannya dirusak hewan piaraan ini, juga tidak sedikit. Bahkan di beberapa tempat terjadi aksi main hakim sendiri, dalam pengertian setiap ternak yang masuk ke lahan petani ditombak atau dilukai bahkan diracun. Ini menunjukkan bahwa sebetulnya petani sendiri cukup kewalahan mengatasi hal tersebut. Dan ketika ini disampaikan kepada pemilik ternak, bukannya permakluman atau kerusakan tanaman yang diganti, tapi malah tidak terima dan akhirnya berseteru. Ini merupakan contoh yang tidak sehat diakibatkan ternak yang diliarkan.

Dengan demikian, kalaupun nanti inisiatif dewan menertibkan atau mengandangkan hewan ternak atau piaraan ini akhirnya direspons positif pemerintah, tentu harus dijalankan, diawasi, dan dievaluasi secara periodik. Jangan sampai program bagus dan prorakyat tersebut hanya menjadi sebuah catatan yang dibingkai emas ditaruh di dalam etalase yang dikunci. Artinya sikap seperti itu tidak perlu, tapi yang lebih penting adalah mengaplikasikannya di lapangan. Petugas dinas terkait, seperti Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Dinas Kesehatan, juga harus sepenuh hati menjalankannya agar output yang dihasilkan betul-betul merupakan resume dari sebuah pergulatan pemikiran kolektif. Bagaimana mensinergikan sebuah ide emas, penerapannya di lapangan, pengawasannya di lapangan, dan kontinuitasnya. (*) 

Tidak ada komentar