HEADLINE

Mendesak, Solusi Penanganan Eks Perambah TNBBS

Lemong, WL - Upaya penurunan perambah hutan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Wilayah II Kecamatan Lemong Kabupaten Lampung Barat (Lambar) secara persuasif, Senin-Jumat (3-7/10), melibatkan 650 petugas gabungan terdiri atas Brimob dan Sabhara Polda Lampung, Polres Lambar, Kodim 0422/LB, Polhut TNBBS dan TNWK, Satpol PP, plus pam swakarsa berlangsung lancar dan kondusif.

Namun demikian, ada banyak tanggapan yang menyertai langkah tersebut dari berbagai pihak yang berkompeten. Misalnya tanggapan dari anggota Komisi A DPRD Ulul Azmi, S.H. Menurutnya, sebagai elemen yang ada, pemerintah (bupati) dan DPRD, dituntut memperhatikan sisi kemanusiaannya. Seperti
diketahui, kata anggota Fraksi Partai Demokrat ini, di kawasan merah (terlarang) TNBBS memang tidak ada yng berhak memasukinya sesuai UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Artinya keberadaan kawasan tersebut dilindungi UU, karena itu tentu ada sanksi hukum yang mengawalnya ketika terjadi pelanggaran di dalamnya.

Persoalannya, diketahui masyarakat Lambar sebagian besar petani yang hanya diperbolehkan menggarap tak lebih dari 27% luas wilayahnya. Karena itu, tandas Ulul, ihwal penurunan perambah tersebut oleh pemerintah adalah sah menurut hukum dan ketentuan yang ada. “Tapi, apa pemerintah sudah ada solusinya. Sebab, sesuai amanat UUD ’45 pasal 33, apakah pemerintah sudah mengkajinya. Pertanyaannya, kenapa baru sekarang pemerintah bergiat menurunkan perambah jika konsepnya untuk kemakmuran rakyat,” ujar Ulul,
Selasa (4/10).

Lanjut Ulul, penurunan perambah itu bertolak belakang dengan korelasi penjabaran PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan yang sesuai fungsinya dikategorikan Hutan Konservasi (HK), Hutan Lindung (HL), dan Hutan Produksi (HP). Ulul berharap seiring upaya penurunan tersebut  pemerintah harus memikirkan solusi terbaiknya. “Jangan asal diturunkan. Itu menunjukkan arogansi kekuasaan terhadap rakyat kecil. Contohnya, kenapa tambang emas dan geothermal yang dikelola PT. Chevron di hutan kawasan di Suoh, dan cagar
alam di Tambling di Kecamatan Bengkunatbelimbing tidak dipermasalahkan. Di sini kan harus ada keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Intinya masyarakat harus dilindungi.”

Ulul juga mencoba merefleksikan pemikirannya soal dampak ikutan penurunan perambah yang notabene memiliki tanggungan menghidupi keluarganya, termasuk memikirkan anaknya yang bersekolah.

Memang, UU No. 41/1999 secara implisit (secara tegas) mengatakan bagi siapa saja yang masuk hutan dimaksud harus ditangkap. Tapi, Lambar sendiri faktanya lebih banyak kawasan hutan, hanya sekitar 27% yang bisa dikelola atau dibudidayakan, selebihnya merupakan kawasan hutan. Karena itu, urainya,
perlu ada kajian komprehensif dalam melihat Lambar secara utuh dengan tidak mengedepankan arogansi.

Anggota dewan lainnya, yang masih satu komisi dengan Ulul, Zeflin Erizal, S.H., M.H. juga mengomentari hal tersebut. Politisi PKB itu mengaku dilematis. Di satu sisi, kata politisi yang lama beracara (menjadi pengacara, red) tersebut aparat melaksanakan amanat UU, tapi di sisi juga harus ada pertimbangan kemanusiaannya juga. “Apalagi masalah ini ditangani langsung oleh pusat dan kabupaten hanya sekadar mendampingi. Setiap ganti
Menhut (Menteri Kehutanan, red) kebijakannya juga berubah. Secara kemanusiaan, penurunan perambah ini harus diusahakan ada solusi yang terbaik, misalnya menyediakan lahan sebagai sumber penghidupannya yang
baru.”

Kepala Wilayah II TNBBS—Pesisir Tengah hingga perbatasan Bengkulu—Edi, menjelaskan penurunan dilakukan secara persuasif. Sekadar diketahui, luas wilayah hutan TNBBS di Lemong 17.000Ha, 9.000Ha di antaranya atau sekitar 69% telah rusak dirambah oleh 2.000-an KK. Ini, kata dia, secara faktual
cukup menyedihkan karena setiap tahun areal kerusakan cenderung bertambah. Jika tak ditangan dini secara serius, tidak menutup kemungkinan sisa areal perawan 40% juga akan habis hanya dalam beberapa tahun ke depan. “Karena itu kita harus menjaga hutan dan menghutankan kembali kerusakan tersebut  seperti
sedia kala,” ujarnya.

Dikonfirmasi terpisah, Kadishut Lambar H. Fauzi, SIP menjelaskan ihwal proses penurunan tersebut telah diawali dengan rangkaian sosialisasi. Dalam sosialisasi tersebut, tegas Fauzi, Pemprov Lampung telah mengupayakan agar perambah mengikuti program nasional direlokasi atau dibedol ke daerah yang
bisa dibudidayakan. Lokasi dimaksud adalah di lokasi HTR di Provinsi Bengkulu. “Untuk ikut program tersebut, perambah harus didata melalui kecamatan. Tapi sampai sekarang upaya pendataan tidak berhasil karena perambah keberatan. Tapi kalau pendanaannya diambilkan dari APBD, Lambar tidak sanggup,” katanya.

Sementara itu Kapolres AKBP Harri Muharram Firmansyah, SIK mengatakan petugas gabungan telah melakukan operasi secara persuasif. “Sama sekali tidak ada kekerasan meski sebetulnya 100% bisa ditindak pidana. Kita tetap berdialog dan terus menerus melakukan sosialisasi. Di samping itu perambah cukup kooperatif.Pemkab juga mengakomodir keluhan perambah.” Demikian Harri. (aga)

Rabu, 05 Oktober 2011

Tidak ada komentar