HEADLINE

Editorial - Selasa, 18 Oktober 2011

Kemarau yang tak kunjung berakhir membuat sebagian besar petani meradang, termasuk di Kabupaten Lampung Barat (Lambar). Betapa tidak, sebagian warga di Bumi Lambar Sai Betik tersebut menggantungkan mata pencahariannya dari bertani (dan berkebun). Namun ketika musim penghujan tak turun-turun, ini menjadi masalah besar bukan hanya bagi petani, tapi juga semua lapisan masyarakat.

Konsumen PDAM Limau Kunci di Liwa dan sekitarnya, misalnya, rela atau terpaksa harus menerima kenyataan digilir untuk mendapatkan jatah air. Sementara pihak PDAM beralasan sumber air yang ada mengecil, yang karenanya debitnya juga berkurang. Karena itu sistem distribusi berjalan tak normal dan diberlakuan sistem buka-tutup (bergantian/digilir). Belum lagi masalah teknis lainnya, seperti pemeliharaan jaringan.

Bagi petani, kekurangan air sama halnya dengan masalah besar juga. Sebab, untuk mengolah lahannya harus ada kecukupan air, terlebih sawah tadah hujan. Persoalannya, sejauh ini sebagian besar wilayah di Lambar belum turun hujan. Pernah memang beberapa kali hujan tapi belum mampu mengairi areal yang ada. Bahkan ada kecenderungan setelah hujan yang hanya beberapa kali itu turun debit yang ada semakin cepat menyusut.
Tak mengherankan ketika banyak areal yang kering kerontang tidak digarap karena kekurangan air.

Sementara, bagi petani, hasil sawah adalah faktor utama untuk menyambung hidup. Artinya, ketika sektor ini terganggu, bisa dipastikan akan merembet ke faktor atau hal lain yang berkaitan dengan sumber penghidupan itu sendiri.

Pihak lain yang juga merasa sangat terganggu dengan masalah kekurangan air ini, yakni ibu-ibu rumah tangga. Di daerah pesisir, akibat mengeringya sumur-sumur di rumah-rumah penduduk, dan hanya beberapa di antaranya yang masih ada airnya. Praktis ibu-bu rumah tangga terkonsentrasi di sana hanya untuk memenuhi kebutuhan mandi cuci kakus (MCK) dan memasak. Sebab hal tersebut merupakan kebutuhan yang mau tidak mau harus dipenuhi.

Di Pemangku Cahyanegeri Pekon Lintik Krui Selatan, misalnya, beberapa rumah di sekitar pustu di pekon itu juga terkonsentrasi di sebuah sumur yang masuk kompleks pustu yang masih ada airnya. Sebab, beberapa rumah di sekitarnya memang telah lama mengering. Biasanya, kalaupun kemarau atau musim panas, warga di sekitar pustu itu tak sampai menguras atau menggali lagi sumurnya.

Tapi kali ini, sebagian sumur warga di pekon itu kering. Sementara sungai di sekitarnya juga tidak ada. Dengan demikian fenomena kemarau ini harusnya juga menjadi perhatian semua pihak, utamnya pemerintah, untuk dicarikan jalan keluarnya. Terlebih menyangkut areal persawahan tadah hujan yang sangat-sangat kertergantungan dengan air. Biasanya sawah tadah hujan akan mengering setelah sekitar 12 hari tidak turun hujan. Sementara kemarau kali ini sudah berbulan-bulan.

Sedikit solusi yang ditawarkan adalah pembuatan sumur-sumur pantek atau sumur gali yang diharapkan sedikit mengatasi masalah kekeringan tersebut. Pasalnya, jika kekeringan ini melanda petani akan berdampak langsung pada areal persawahan—tanam padi—gagal panen—dan harga beras yang tinggi. Belum lagi dampak ikutan yang potensial sekali mengarah kriminal. Biasanya orang berbuat kriminal berawal dari perut.

Harus juga dicermati rusaknya hutan-hutan penyangga di sekitar pemukiman warga, menjadi salah satu pemicu kekurangan debit air ini. Sementara upaya pihak terkait belum tampak sama sekali. Misalnya upaya merehabilitasi puluhan hektare hutan di sekitar Batuketulis yang terbakar beberapa waktu lalu. Tidak hanya mengakibatkan berkurangnya debit atau sumber air, tapi kondisi seperti itu potensial sekali menjadi petaka ketika hujan turun karena menjadi banjir. (*)

Tidak ada komentar