HEADLINE

Editorial - Rabu, 19 Oktober 2011

Upaya menjadikan kebiasaan hidup sehat atau membudayakannya dalam kehidupan sehari-hari, nampaknya masih perlu perjuangan keras, termasuk di Kabupaten Lampung Barat (Lambar). Hal ini terbukti, sebagian besar masyarakat masih terbiasa buang air besar (BAB) sembarangan, termasuk di kali yang nota bene airnya juga dikonsumsi.

Itu karena ketersediaan fasilitas pendukungnya, seperti sumur dan prasarana mandi cuci kakus (MCK) lainnya masih minim. Ini disebabkan rendahnya pemahaman masyarakat tentang sanitasi lingkungan atau kesehatan itu sendiri, kurang maksimalnya upaya penyadaran berpola hidup sehat dari pemerintah, serta ketersediaan air bersih yang belum menjangkau keseluruhan.

Secara umum, bahkan di Indonesia, di antara negara-negara Asean lainnya, tertinggal terkait jangkauan akses penduduk untuk sektor air dan sanitasi ini. Malaysia memiliki 100% cakupan akses air dan 96% sanitasi. Tapi di Indonesia, jauh di bawah angka tersebut, masih beberapa strip berada di bawah Filipina dan Kamboja. Dampaknya, sekitar 70 juta penduduk Indonesia BAB sembarangan.

Imbasnya, per 100 ribu bayi lahir, 75 di antaranya meninggal balita akibat diare. 15 ribu anak meninggal per tahun akibat yang sama, lebih dari 423 kasus per 1.000 penduduk. Diare terjadi ketika perut terinfeksi mikroba yang dibawa tinja. Bahkan, penyakit demam tifus, kolera, hingga hepatitis A menghantui masyarakat akibat mikroba yang terbawa perilaku tidak sehat masyarakat tersebut.

Parahnya, bagi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (poverty line), sanitasi tidak menjadi prioritas utama. Persoalan sanitasi ini ternyata tak hanya di Indonesia. Lebih dari satu miliar orang di dunia tidak bisa mendapatkan air bersih dan sekitar 40% penduduk dunia tidak punya fasilitas untuk BAB. Satu miliar orang masih buang air besar di alam terbuka, termasuk di kali.

Dari jumlah itu, 81%-nya terjadi di negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Karenanya, pembangunan air dan sanitasi memerlukan perencanaan pemerintah dan partisipasi masyarakat. Masyarakat harus bisa melakukan perubahan untuk diri sendiri dan lingkungannya. Harus diingat, 94% kasus diare karena faktor lingkungan berupa konsumsi air yang tidak sehat dan sanitasi yang buruk.

Karena itu, di Lambar harus diupayakan masalah penanganan sanitasi lingkungan tersebut sejak dini. Di beberapa daerah yang terdapat aliran sungai, ada kecenderungan sebagian penduduknya melakukan aktivitas yang berhubungan dengan air di sana, termasuk BAB dan mengambil air untuk konsumsi. Persoalannya, jika ini tetap dilakukan tentu bahaya penyakit selalu mengancam.

Masalah kebersihan dan sanitasi lingkungan ini, harus diikuti pola hidup sehat yang juga mengedepankan estetika dan keindahan yang dimaksudkan tetap terlihat indah tanpa mengurangi makna luhur adat istiadat yang terpelihara. Belakangan di Lambar terdapat beberapa fasilitas MCK di sepanjang jalan nasional yang dibangun bersumber proyek pemerintah. Itu bagus dan sangat membantu.

Mengawal dan mengikuti program tersebut harus diimbangi dengan kesungguhan dan partisipasi aktif warganya. Memeliha dan merawat fasilitas yang ada menjadi hal yang wajib dilakukan. Tidak membuang sampah dan atau menumpuknya di pinggir jalan, merupakan salah satu dari upaya dimaksud. Terpenting adalah bagaimana bisa bersolek dan tampil lebih menarik tanpa kehilangan jatidiri.

Pada prasaran MCK itu, misalnya, harus ada alingan atau dinding penutup agar tidak tembus pandang ketika ada yang tengah beraktivitas di dalamnya, apakah itu mandi atau mencuci pakaian. Sebab, terkadang juga ada pemdangan yang tidak umum di tengah lingkungan masyarakat beradab yang memelihara adat istiadat dan sopan santun, mandi dengan (maaf) pakaian dalam tanpa alingan. (*)

Tidak ada komentar