HEADLINE

Pendidikan Karakter untuk (Si)Apa?

Berbagai kebobrokan  yang dipertunjukkan oleh bangsa ini membuat hati kita menjadi miris. Bahkan hampir seluruh sendi kehidupan sudah terinfeksi virus yang menggerogoti nilai-nilai luhur bangsa. Berbagai fenomena muncul di negeri ini, seperti maraknya korupsi, tawuran antarwarga, antarmaha peserta didik, dan antaretnis, menjadi hal yang lumrah.

Beranjak dari fakta tersebut maka menjadi urgen ketika pemerintah menyusun kebijakan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai karakter melalui jalur pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal diharapkan mampu meningkatkan perannya dalam pembentukkan kepribadian peserta didik melalui intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

Keluarnya kebijakan tentang pendidikan karakter yang diamanahkan Inpres No.1/2010 sudah tepat dalam upaya melahirkan peserta didik yang berkarakter. Kebijakan ini sebenarnya bukan suatu hal baru, namun upaya mempertegas dan memperjelas arah pengembangan pendidikan kita dan merupakan inisiatif pemerintah dalam mengantisipasi permasalahan bangsa kita.

Dalam Inpres No. 1/2010 pada bagian Prioritas 2: Pendidikan, bahwa hal ini merupakan bagian dari penguatan metodologi dan kurikulum yang diwujudkan dalam tindakan berupa penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter
bangsa. Ukuran keberhasilan pendidikan jangan hanya dilihat dari nilai saja, akan tetapi sejauh mana setiap individu peserta didik memiliki karakter yang unggul.

Hal ini sejalan dengan visi pendidikan kita, yaitu terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa  untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Sehingga dimasa yang akan datang dihasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetetif (insan paripurna/insan kamil).

Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.

Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and Emotional Development) , Olah Pikir (Intellectual Development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and Kinestetic Development), dan Olah Rasa dan
Karsa (Affective and Creativity Development).

Pendidikan karakter merupakan salah satu jawaban terhadap beragam persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat, di dengar dan dirasakan, yang mana banyak persoalan yang muncul yang diindentifikasi bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral terhadap peserta didiknya.

Hal ini tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan insan cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat. Seperti yang dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya). Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).

Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Menyikapi kebijakan pendidikan karakter, tentunya bukan hal yang mudah. Kita tidak bisa menanggapinya secara reaktif lalu mencari jalan keluar singkat untuk mewujudkannya. Membentuk peserta didik yang berkarakter bukan semudah membalikkan telapak tangan. Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus dan
refleksi mendalam untuk membuat rentetan keputusan moral yang harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata sehingga menjadi hal yang praktis dan reflektif. Diperlukan waktu yang panjang untuk membuat semua itu menjadi habits (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang, berkembang dalam kehidupan bermasyarakat dan berwarga Negara, yang pada akhirnya menjadi kultur bangsa yang bermartabat.

Di sisi lain, pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pemangku kepentingan dalam pendidikan, baik pihak keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membangun kembali kemitraan dan jejaring pendidikan yang kelihatannya mulai terputus diantara ketiga stakeholders terdekat dalam lingkungan sekolah yaitu; guru, keluarga dan masyarakat.

Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara stakeholder lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan. Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan yang kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah yang memperkuat siklus pembentukan tersebut.

Sebagaimana diungkapkan Philips bahwa keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips, 2000). Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat
luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter.

Menurut Qurais Shihab (1996;321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya,  mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Maknanya bahwa  seluruh kejadian dalam masyarakat baik  atau buruk akan membentuk karakter masyarakat lainnya tak terkecuali masyarakat
sekolah. Bagaimana implementasi pendidikan karakter di sekolah?

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk merealisasikan pendidikan karakter di sekolah. Konsep karakter tidak cukup dijadikan sebagai suatu poin dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu. Sekolah harus menjadikan pendidikan karakter sebagai sebuah tatanan nilai yang berkembang dengan baik di sekolah yang diwujudkan dalam  berbagai contoh keteladanan dan seruan nyata yang ditunjukkan oleh warga sekolah.

Pelaksanaan pendidikan karakter bisa dilakukan melalui berbagai macam cara, seperti melalui mata pelajaran khusus, integrasi pendidikan dalam setiap mata pelajaran, atau pendekatan integral yang mempergunakan ruang-ruang pendidikan yang tersedia dalam keseluruhan dinamika pendidikan di sekolah.

Apapun metodologi yang dipilih, setiap pendekatan pengembangan pendidikan karakter akan memiliki konsekuensi berkaitan dengan kesiapan tenaga guru, prioritas nilai, kesamaan visi antara anggota komunitas sekolah tentang pendidikan karakter, struktur dan sistem pembelajaran, dan kebijakan sekolah.

Pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tanpa tiga basis itu, program pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi wacana semata. Pertama, desain
pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan peserta didik sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran.

Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan peserta didik yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman.

Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri peserta didik. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran.

Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas (pemerintah). Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama.

Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Untuk desain yang ketiga ini,  menghendaki adanya gerakan moral bersama masyarakat dan pemerintah, untuk menunjukkan perilaku jujur, tanggung jawab, kerja keras, disiplin,  peduli sesama, dan punya integritas yang tinggi membentuk karakater peserta didik.

Kesimpulannya, pendidikan karakter di sekolah sudah sewajarnya direncanakan dengan matang dengan dukungan semua pihak di sekolah dengan menekankan pada pembentukan karakter peserta didik melalui desain pendidikan yang tepat sesuai dengan kondisi kontekstual masing-masing sekolah.

Wallahu a’lam bishawab.

Oleh : Wibowo
(Guru SMPN 1 Waytenong/Ketua Tim Pengembangan Kurikulum Lambar/Ketua Dewan Pendidikan Lampung Barat)

Tidak ada komentar