HEADLINE

Tajuk - 09 Agustus 2011

Ada pelajaran berharga atas sukses penangkapan M. Nazaruddin, mantan Bendahara Umum partai berkuasa saat ini, burunan paling dicari di Indonesia, dan juga ihwal tertangkapnya oknum salah seorang pejabat di Lampung Barat. Keduanya sama-sama tersangkut masalah fulus atau uang dengan segala sudut pandangnya.

Ini merupakan bukti awal bahwa di negeri ini masih ada sebetulnya praktik tak terpuji yang nyata-nyata mengangkangi semangat Orde Reformasi, yakni memupus habis matarantai korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dan anehyna, justru ini dilakukan oleh oknum yang semestinya menjadi teladan bagi rakyat banyak.

Karena itu, sebetulnya praktik kekirian tersebut harus dilawan, atau setidaknya coba dihilangkan melalui diri pribadi. Sebab, ketika pribadi-pribadi ini sudah masuk ke sebuah komunitas, semisal pengurus parpol, pejabat pemerintah atau anggota dewan, dimana padanya diberikan kesempatan dan juga kewenangan mengelolanya, potensial sekali melakukan penyimpangan.

Jika itu terjadi dan terbukti, berarti semboyan negara ini bersih terbebas dari KKN jauh panggang dari api, hanya semisal pepesan kosong. Sebab itu, hal yang perlu dicermati dan tentu ditelusuri adalah circle—lingkaran setan di sekitarnya. Misalnya, coba ditelusuri indikasi lain, seperti penerimaan honorer di beberapa dinas instansi yang ditegaskan kepolisian menyalahi aturan itu.

Sebab, ini sedikit beda dengan kasus Nazaruddin meskipun muaranya adalah sama: KKN. Bedanya, kalau Nazarudin, dia sempat menyanyikan lagu sumbang yang membuat merah kuping banyak orang (baca: pejabat) sebelum ditangkap. Sehingga, akibat nyanyian itu, sejumlah pejabat yang ditujupun merasa gerah.

Ternyata setelah ditelusuri, asal mula kasus Nazarudidin sendiri soal proyek, komisi serta fee, dan dia ketika itu masih menyandang predikat sebagai anggota DPR. Di Lambar sendiri, bukan tidak mungkin terdapat ‘Nazaruddin’ lain, berprofesi sebagai anggota dewan tapi juga berpraktek sebagai kontraktor. Anehnya, praktek terselubung ini lestari di Bumi Beguai Jejama  Sai Betik ini. Mengapa? (*)

Tidak ada komentar